Aku menatap dalam kearah diriku sendiri dalam cermin. Kamu cantik, Callista, aku berbicara
pelan.
Kamu cantik, kamu
cantik, kamu cantik, kamu cantik, Callista! Aku memaki bayangan diriku
dalam cermin.
***
“Kamu dimana?”
“Kostan.”
“Mau jalan?”
“Lagi
nggak mau, aku pengen sendirian dulu. Gapapa kan?”
“Kabarin lagi aku nanti kalau kamu berubah pikiran.”
“Oke..”
Bima
memutuskan sambungan telepon. Aku masih berkutat dengan diriku. Semua orang
bisa menerimaku. Semuanya menganggapku sempurna tanpa tahu ‘aku yang
sebenarnya’. Semua orang ingin dekat denganku. Hampir semua orang di kampus
begitu. Mendambakan seorang yang cantik, pintar, baik, dan murah hati dari
luar. Semua gelap akan penampilan luar, padahal tidak tahu apa isi di dalam.
Hampir semua orang menilai watak dari luarnya, tanpa ingin tahu bagaimana
hatinya. Karena yang terpenting dari segalanya adalah hati yang cantik, bukan
hanya fisik.
Aku
benci diriku sendiri. Hina.
Aku
tidak bisa menerima diriku sendiri, bahkan aku rela menukarkan fisik yang
kupunya demi fisik baru yang bersih, yang masih bisa kubanggakan.
***
“Sayang,
bisa nemenin aku malem ini?”
“Bukankah
biasanya memang seperti itu?”
“Baiklah,
809.”
“Tunggu
setengah jam lagi, aku masih harus membereskan bajingan kotor disana.”
“Terserah
kau saja.”
Aku
menyisir rambut panjangku secara perlahan, dengan lembut dan hati-hati.
“Ayo!”
“Tunggu..”
“Kau
selalu saja seperti itu setiap permulaan.”
“Bisakah
kau bersabar sedikit?”
“Ya,
maumu saja.”
***
Aku
berlari kecil saat keluar dari kamar 809. Terburu-buru karena ini sudah hampir
subuh. Bajingan tua itu memang keparat!
Hati kecilku selalu berkata seperti itu tiap kali habis ‘dipakai’.
Kalian
mengerti? Ya.. aku selalu membenci diriku sendiri karena aku bukanlah wanita
biasa, bukan wanita masih bisa dibanggakan. Aku tidak memiliki harga seperti
wanita belum menikah pada umumnya. Aku selalu dihargai yang selalu berakhir
uang yang jumlahnya lumayan besar selalu masuk di rekeningku dari para
pelangganku setiap malam. Aku bukan wanita yang memiliki harga lagi. Aku kotor
yang lebih kotor daripada sampah dan lebih hina daripada nafsu hewan.
Aku
selalu menangis menyesali semuanya. Aku selalu melihat diriku ‘telanjang’ walau
aku berpakaian. Aku jijik melihat diriku sendiri di dalam cermin. Aku selalu
malas bercermin lama-lama, karena mual akan diriku sendiri.
Aku
masih ingat jelas pertama kali aku merantau ke kota untuk mengenyam pendidikan
lebih tinggi di salah satu perguruan tinggi negeri, karena di kampungku tidak
ada satupun perguruan tinggi yang benar-benar bagus. Karena alasan orang tua
yang hanya lulusan SD dan adik-adikku yang masih kecil dan balita, serta otakku
yang terbilang cerdas, ibu dan bapakku mendukungku ketika aku ingin kuliah di
kota. Walaupun sebenarnya, dalam hati kecil mereka tidak tega membebani aku
dalam kerasnya kehidupan. Namun aku tetap keukeuh
atas pilihanku yang sudah matang tersebut.
Sebelum
akhirnya aku pergi meninggalkan rumah reotku di kampung, Aldi, Kayla, Rizky,
Arum, dan Mika memelukiku dengan penuh kasih sayang seakan berbicara ‘Kak..
tolong jangan tinggalkan kami, tolong bilang kalau kakak tidak akan pergi lama
dan segera kembali’. Kami menangis bersama.
“Aldi,
kamu mau kan jagain adik-adik untuk kakak? Belajar yang rajin dan tolong jaga
ibu sama bapak. Kak Callista janji bakal cepet pulang dan main lagi sama
kalian.” Aku berbisik kepada anak kedua yang tidak lain adalah adikku yang
berumur 9 tahun.
Dengan
lantang dia berbisik balik, “Aldi janji. Tapi, kak Callista juga harus janji
bakal sehat terus dan jadi anak baik disana.”
“Iya,
dek. Kak Ista janji.”
Itu
percakapan kami yang terakhir. Ibu dan bapakku hanya menangis sangat haru
disaat detik-detik terakhir akan pergi meninggalkan mereka.
Sekitar
23 jam perjalanan dari kampungku menuju kota. Aku menaiki bis. Dengan bekal
makanan sedikit dan uang yang seadanya, aku nekad. Hanya dengan mengucap bismillah-lah aku bertekad dengan
matang. Karena salah satu targetku adalah kuliah sambil bekerja agar aku bisa
mengirimi orang tuaku uang setiap bulan, maka aku tidak terlalu memusingkan
berapa banyak uang yang kubawa, yang memang sangat sedikit.
Aku
kira mencari pekerjaan itu mudah dengan otak yang lumayan sepertiku. Ternyata,
perkotaan lebih kejam daripada yang ku kira, semua butuh uang sebagai
pelancarnya.
Aku
menyewa rumah sederhana dengan biaya 3,5 juta setahun, belum lagi biaya kuliah
yang sangat tinggi, dan makan sehari-hariku serta ongkos.
Aku
berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan yang akan menggajiku
tinggi hingga dapat membayar biaya kost, kuliah, makan, ongkos, serta mengirimi
uang untuk orang tuaku di kampong. Aku bingung.
Singkat
cerita, kala itu malam. Aku berjalan-jalan sambil memikirkan bagaimana nasipku
selanjutnya. Kuliah tidak lagi ku pikirkan karena tinggal hitungan hari aku
akan ospek dan berkelana dengan jurusan yang kupilih.
“Neng..
kok malem-malem gini jalan sendirian?”
“Tidak
apa-apa bu.”
“Sedang
mencari angin ya?”
“Orang
baru ya?”
“Kebetulan
iya bu.”
“Sedang
mencari pekerjaan?”
“Darimana
ibu tau?”
“Wah,
sudah banyak orang baru yang saya temukan sedang bingung bagaimana nasipnya
hidup dalam kejamnya perkotaan. Kalau boleh saya sarankan, neng mau bekerja
dengan saya?”
“Apa
ibu serius? Bekerja apa saja saya mau, asal saya bisa mendapatkan uang banyak.”
“Mari
ikut saya.”
Kami
berjalan beriringan, sambil mengobrol ringan tentang asal-usulku sebelum aku
memutuskan untuk merantau ke kota. Ibu ini terlihat sangat baik dan ramah.
Kami
sampai di tempat kost yang tidak jauh dari tempat kami bertemu tadi. Plang
depan kost-an yang cukup luas ini memberi tanda ‘Kost Khusus Wanita. CP:
08134234xxxx’.
“Nah,
silahkan masuk..”
5
menit menunggu, rombongan penghuni kost-an khusus wanita ini member sapa yang
manis untukku. Sebagian besar memang anak muda. Namun, ada beberapa yang terlihat
sudah seperti ibu-ibu.
15
menit aku diajak bicara dalam ruangan kost-an ini. Aku ditawari pekerjaan
sebagai ‘pemuas nafsu’, awalnya memang aku sama sekali tidak mengerti apa yang
sedang mereka bicarakan. Club, om-om, pemuas, bayaran yang besar per-malam, dan
lain-lain. Hingga akhirnya kata-kata ‘kupu-kupu malam’ terlontar dari salah
satu wanita muda yang ku ketahui namanya Asih. Aku mulai mengaitkan apa yang
sedang mereka bicarakan. Aku mulai mengerti.
Aku
sempat memutuskan untuk tidak menerima tawaran tersebut, namun keadaan sudah
merenggut keputusan muliaku untuk berkata ‘tidak, terimakasih’ yang akhirnya
menjadi ‘baiklah, akan kupikirkan’.
Sejak
saat itu kehidupan putihku mulai abu-abu hingga menjadi hitam. Semuanya
terbalik dari apa yang dikatakan semua orang padaku bahwa aku cantik. Ya..
secara fisik memang, tetapi aku tidaklah secantik yang mereka pikirkan.
Ibaratnya, aku adalah kertas putih, tetapi sebenarnya sudah dinodai tinta hitam
yang kututupi dengan tipe-X. Maka,
aku tetap terlihat ‘putih’ dihadapan mereka, padahal sebenarnya aku masih lebih
kotor dari sampah busuk yang didiamkan terlalu lama.
***
“Callista..”
“Ya?”
“Happy
2nd Anniversary,” katanya berseri-seri sambil menyodorkan se-bucket
mawar putih yang memang jadi favoritku.
“Iya,
terimakasih Bima..”
“Cuma
segitu doang? Nggak mau make a wish
barengan nih?”
“Semoga
hubungan ini tidak memiliki akhir dan akan terus berjalan seperti air
mengalir..” aku berkata lirih.
“Yap!”
“Mau
kado apa?”
“Cinta
kamu!” dia tertawa keras, seperti memang benar-benar ada yang lucu padahal
menurutku tidak. Wajahku tetap dan memang selalu datar.
“Yayaya..”
“Aku
ada jam kuliah, aku pergi dulu ya..”
“Study hard, hun!”
Dia
hanya tersenyum dan berlalu dengan agak berlari karena mungkin jam kuliahnya
sudah hampir dimulai.
Aku
menatap kosong kearah 6 tangkai bunga mawar putih pemberian Bima. Cantik, pikirku.
***
Serapat-rapatnya kita menyembunyikan
bangkai, tetap akan tercium bau busuknya, itu yang selalu orang bilang. Aku
berdiam diri lagi didepan cermin. Memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi
jika semua orang mengetahui bahwa aku adalah seorang ‘pemuas nafsu’ pria-pria
berengsek yang liar dan tidak pernah merasa puas. Hatiku bergejolak perih,
seperti ada yang menyiramkan bensin dan menyulutkan api. Aku takut. Takut
semuanya, pasti, cepat atau lambat, akan terbongkar. Aku memikirkan orang tuaku
yang akan menanggung malu, adik-adikku yang tidak mengakuiku lagi sebagai
kakaknya, dan Bima yang jijik menatapku dan akan membenciku, serta seisi kampus
yang mencemoohku dengan kata-kata hinaan yang paling tajam.
“Dasar pelacur!”, “Wanita penggoda!”,
“Luarnya cantik, tetapi sayang wanita kotor..”. Kalimat-kalimat hinaan itu
tiba-tiba saja memenuhi pikiranku. Suaranya besar dan memenuhi indera
pendengaranku. Aku menutup kedua telingaku. Aku jatuh ke lantai, terduduk dan
menangis sejadinya. Aku tidak akan pernah siap…
***
“Callista..”
“Ada
apa?”
“Layani
pria di 497.”
“Baik,
ma’am.”
Aku
bergegas menaiki tangga café ini
menuju kamar nomor 497. Disini memang surganya bangsat-bangsat liar dan
kelaparan akan belaian! Aku jijik ketika berada disini. Wajah pria-pria itu
seakan seperti buaya-buaya yang selalu meneteskan air liurnya.
“Permisi?”
“Dari
tante Susi?”
“Ya..
kiriman dari wanita tua itu.”
“Baiklah,
silahkan masuk.”
Aku
selalu mual ketika harus melayani pelanggan-pelanggan ini. Maka dari itu, aku
sering menyisir rambutku terlebih dahulu, menghilangkan rasa gugup dan mual
serta jijik.
Aku
masuk dengan enggan. Rupanya pria itu sedang di kamar kecil.
“Tunggulah
sebentar..” katanya pelan.
Rasa
takut dan jijikku mulai menyelimuti. Inilah yang selalu kurasakan. Detak
jantung tak beraturan, membenci diri sendiri, dan masih banyak rasa aneh yang
selalu menyertaiku.
Aku
mulai menyisir rambutku dengan lembut dan perlahan seperti yang selalu
kulakukan.
“Ayo..”
“Tunggu..”
kataku pelan.
Aku
menoleh kebelakang. Deg!
“Callista?”
“Ti..ti..tian..”
aku kaget, sangat kaget.
“Kamu…”
kalimatnya tertahan, dengan perasaan yang sepertinya campuran antara shock, tidak percaya, dan beberapa
tatapan dan mimik wajah yang tidak kumengerti apa artinya.
***
“Aku tidak menyangka sebuntu itukah jalan
pikiranmu. Aku benar-benar sakit hati mengetahui ini, lebih sakit hati daripada
melihatmu berpacaran dengan Bima! Kau tahu, sudah 2 tahun terakhir aku
mendambakanmu, memuja setiap apapun yang kau lakukan. Aku tidak tau harus apa
aku sekarang. Sebenarnya, aku ke kamar kecil tadi ingin menghilangkan rasa
gugupku, karena ini kali pertama aku mencoba nekad ke ‘dunia hitam’. Dan aku
merasa, aku tidak akan pernah mencoba nekad lagi! Kau.. wanita bejat!”
kata-kata itu tidak pernah hilang dalam otakku, suaranya yang keras selalu
terdengar dan berulang-ulang semakin menyakiti hatiku. Aku benar-benar seperti
ditelanjangi keadaan. Aku malu, aku sakit hati, sekaligus jijik pada diriku
sendiri.
***
Aku
memikirkannya matang-matang. Dan setelah
ini terserah apa yang akan terjadi, yang penting aku akan segera meloncat dari
‘lubang hitam’ itu, batinku.
Setengah
jam sebelum acara akan dimulai, aku dibasahi oleh keringat dingin yang
terus-menerus mengalir dari pori-pori tubuhku.
Dan
ketika saatnya tiba aku seperti agak sempoyongan, tetapi aku harus melakukan
ini, karena aku sudah bertekad sebelumnya.
“Baiklah
teman-teman, saya mengundang kalian untuk berkumpul di aula ini dengan tujuan
yang mungkin akan membuat kalian mual dan jijik. Jadi, bagi siapa saja yang
tidak tahan muntah bisa menyiapkan kantong plastik.”
Orang-orang
dihadapanku langsung saling bertatapan bingung.
“Baiklah,
ada beberapa hal yang akan saya akui tentang diri saya. Saya Callista. Nama saya
bisa dalam bahasa Yunani diartikan sebagai wanita yang cantik luar dan dalam.
Mungkin, dimata kalian saya adalah sosok wanita yang cantik, baik, pintar, dan
serba ada dengan kehidupan sempura. Namun, semuanya adalah hasil dari
penampilan fisik saya yang terlihat. Tetapi, siapa yang tahu Callista yang
kalian anggap sempurna adalah ‘wanita pemuas nafsu’ di salah satu cafe yang lumayan dekat dari kampus
kita.
Saya
tidak mengada-ngada. Saya mengakui ini karena saya belum siap jika kalian tau
sebelum saya yang memberitahunya. Tapi, ada satu orang yang sudah tau bahwa
saya adalah ‘wanita kotor’. Tian. Saya tidak mampu menahan nyeri dihati saya
ketika dia memberi saya tatapan jijik dan benci. Saya tidak mau semua orang
yang saya kenal akan memperlakukan sampah walaupun saya memang pantas
diperlakukan lebih hina daripada sampah.
Saya hanya
ingin meminta maaf kepada kalian semua, terutama Bima pacar saya. Dia adalah
pria yang baik. Yang menjaga saya bukan malah merusak saya walaupun saya memang
sudah ‘rusak’.
Jika
diantara kalian ada ingin membenci atau jijik dengan saya bahkan mual dan ingin
muntah, seperti intruksi saya sebelum saya menceritakan ini, kalian boleh
muntah. Sekian dan terimakasih atas perhatian kalian.”
Aku
langsung lari menuju toilet dan langsung menangis sejadi-jadinya disana.
Setelah
ini aku akan memutuskan untuk pulang ke kampung karena kebetulan ujian sudah
selesai dan minggu tenang akan segera berakhir, jadi bisa meninggalkan kota
untuk sementara.
***
“Kak
Callista!”
“Arum..”
aku memeluknya erat, “Kemana yang lain?”
“Ada
didalam. Kami semua rindu kakak..” ia hampir menitihkan air matanya, namun
dengan cepat menyekanya.
“Ayo
kita susul mereka.” Aku menggandeng tangan kecil adik mungilku itu.
Keadaan
rumah masih reot, masih sama seperti yang dulu.
Aku
masuk.
Ibu
dan bapakku langsung bersamaan kaget sekaligus senang dengan kedatangan
dadakanku. Karena, biasanya aku akan mengabarkan apapun yang ingin ku lakukan
kepada mereka lewat surat, tetapi kali ini mengejutkan mereka.
Inilah
tempat tinggal yang kurindukan. Rumah reot dengan penuh lubang dimana-mana.
Isinya, orang-orangnya membuatku benar-benar tenang, karena mereka semua masih
utuh.
Memang
benar apa kata orang, keluarga adalah
satu-satunya tempat yang akan selalu bisa menerimamu, ketika dunia tidak.
Setelah bertahun-tahun dilanda homesick,
akhirnya aku kembali kesini lagi. Bersama kehangatannya yang selalu ku rindukan
ketika berada di kota. Disini, seakan dunia menerimaku kembali. Aku tidak
merasa aku ‘telanjang’ lagi.
***
Saat
malam, 2 jam kuhabiskan untuk menceritakan segalanya kepada keluarga hangatku. Mereka
terharu terlebih kedua orang tuaku yang sudah mengeluarkan berjuta-juta titik
air mata, tetapi tetap menerimaku.
***
“Ibu,
Callistanya ada?”
“Ada.
Siapa ya?”
“Saya
Bima.”
“Tunggu
sebentar ibu panggilkan..” ibuku masuk dan segera berteriak pelan, “Ista..”
“Iya
bu?”
“Ada
temanmu diluar.”
Aku
kaget dan buru-buru keluar untuk memastikan siapa yang datang. Mataku
terbelalak, “Bima?”
“Hai..”
“Kamu..”
“Ya.
Aku dan semua anak dikampus nyariin kamu sehabis pengakuan itu, tapi nggak
ketemu. Kami semua sayang kamu. Dan kami salut akan kejujuran kamu. Dan satu
lagi yang paling terpenting, nggak ada yang muntah sehabis kamu ninggalin
panggung. Semuanya seneng kamu mau jujur, dan Tian titip minta maaf.”
“Terimakasih..”
aku menjatuhkan air mataku sedikit, tetapi lama-lama banyak.
Bima
memelukku hangat, “Kami menghargai kenapa kamu menjadi seperti itu, kami
memaklumi. Kami malah akan benci jika kamu tidak jujur. Toh, semua orang memang
nggak ada yang sempurna. Toh, semua manusia pernah lebih mulia dari malaikat
dan pernah lebih hina dari hewan.”
“Terimakasih
banyak..”
“Ya.
Tetaplah seperti Callista yang ku kenal, dan setelah lulus will you marry me?” dia melepaskan pelukannya.
Aku
menyeka air mataku yang menguasai hampir seluruh pipiku, “Yep, I will..” aku tersenyum. “Umm.. tapi kamu nggak malu?”
“Kenapa
harus malu?” dia tersenyum.
Kami
tersenyum.
Dia
mengajak orang tua dan adik-adikku berkenalan. Lalu, kami tertawa bersama dalam
gubuk reotku.
***
Tuhan
selalu punya jalan untuk hamba-Nya yang tersesat sekalipun. Tinggal gimana kita
nyari jalan itu dan berani ngambil resiko sekaligus mengorbankan sesuatu untuk
sesuatu yang lain yang jadi pilihan kita, seperti pengertian biaya peluang (opportunity cost) dalam ekonomi.
***
Nilai
moral / amanat: Menurut kalian apa? Hehehe.. ambil hikmahnya deh ya kaya yang
ditulis di paragraf terakhir. Dan ini serius bukan pengalaman pribadi atau
kisah orang lain, ini pure fiksi-_-
Semoga kalian suka:')
0 comments:
Post a Comment