Jan 6, 2013

: )

          Aku melihat bayangan seorang wanita dalam cermin kamarku. Rambutnya panjang tergerai. Pakaiannya yang ia pakai adalah pakaian rumah biasa. Alisnya menyatu hitam pekat dan tebal. Hidungnya panjang dan tinggi (mancung). Wajahnya campuran antara Belanda dan Arab. Bibirnya merah. Dan dagunya agak panjang. Ada bulu-bulu halus yang tumbuh disekitar bawah hidungnya, diatas bibirnya; kumis tipis yang untung saja tidak terlalu terlihat dari jarak yang jauh. Kulitnya sawo matang. Dan matanya, cokelat terang. Sekilas, memang terlihat sempurna. Kakinya mulus. Badannya tegap dan jenjang pula. Ada rona merah muda dikedua pipinya ketika ia merasa malu. Wajahnya memang baby face. Namun.. bukankah di dunia ini tidak ada yang sempurna?

          Aku menatap dalam kearah diriku sendiri dalam cermin. Kamu cantik, Callista, aku berbicara pelan.
          Kamu cantik, kamu cantik, kamu cantik, kamu cantik, Callista! Aku memaki bayangan diriku dalam cermin.


***

          “Kamu dimana?
          “Kostan.”
          “Mau jalan?
          “Lagi nggak mau, aku pengen sendirian dulu. Gapapa kan?”
          “Kabarin lagi aku nanti kalau kamu berubah pikiran.
          “Oke..”
          Bima memutuskan sambungan telepon. Aku masih berkutat dengan diriku. Semua orang bisa menerimaku. Semuanya menganggapku sempurna tanpa tahu ‘aku yang sebenarnya’. Semua orang ingin dekat denganku. Hampir semua orang di kampus begitu. Mendambakan seorang yang cantik, pintar, baik, dan murah hati dari luar. Semua gelap akan penampilan luar, padahal tidak tahu apa isi di dalam. Hampir semua orang menilai watak dari luarnya, tanpa ingin tahu bagaimana hatinya. Karena yang terpenting dari segalanya adalah hati yang cantik, bukan hanya fisik.
          Aku benci diriku sendiri. Hina.
          Aku tidak bisa menerima diriku sendiri, bahkan aku rela menukarkan fisik yang kupunya demi fisik baru yang bersih, yang masih bisa kubanggakan.


***
          “Sayang, bisa nemenin aku malem ini?”
          “Bukankah biasanya memang seperti itu?”
          “Baiklah, 809.”
          “Tunggu setengah jam lagi, aku masih harus membereskan bajingan kotor disana.”
          “Terserah kau saja.”
         
          Aku menyisir rambut panjangku secara perlahan, dengan lembut dan hati-hati.
          “Ayo!”
          “Tunggu..”
          “Kau selalu saja seperti itu setiap permulaan.”
          “Bisakah kau bersabar sedikit?”
          “Ya, maumu saja.”


***

          Aku berlari kecil saat keluar dari kamar 809. Terburu-buru karena ini sudah hampir subuh. Bajingan tua itu memang keparat! Hati kecilku selalu berkata seperti itu tiap kali habis ‘dipakai’.
          Kalian mengerti? Ya.. aku selalu membenci diriku sendiri karena aku bukanlah wanita biasa, bukan wanita masih bisa dibanggakan. Aku tidak memiliki harga seperti wanita belum menikah pada umumnya. Aku selalu dihargai yang selalu berakhir uang yang jumlahnya lumayan besar selalu masuk di rekeningku dari para pelangganku setiap malam. Aku bukan wanita yang memiliki harga lagi. Aku kotor yang lebih kotor daripada sampah dan lebih hina daripada nafsu hewan.
          Aku selalu menangis menyesali semuanya. Aku selalu melihat diriku ‘telanjang’ walau aku berpakaian. Aku jijik melihat diriku sendiri di dalam cermin. Aku selalu malas bercermin lama-lama, karena mual akan diriku sendiri.
          Aku masih ingat jelas pertama kali aku merantau ke kota untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi di salah satu perguruan tinggi negeri, karena di kampungku tidak ada satupun perguruan tinggi yang benar-benar bagus. Karena alasan orang tua yang hanya lulusan SD dan adik-adikku yang masih kecil dan balita, serta otakku yang terbilang cerdas, ibu dan bapakku mendukungku ketika aku ingin kuliah di kota. Walaupun sebenarnya, dalam hati kecil mereka tidak tega membebani aku dalam kerasnya kehidupan. Namun aku tetap keukeuh atas pilihanku yang sudah matang tersebut.
          Sebelum akhirnya aku pergi meninggalkan rumah reotku di kampung, Aldi, Kayla, Rizky, Arum, dan Mika memelukiku dengan penuh kasih sayang seakan berbicara ‘Kak.. tolong jangan tinggalkan kami, tolong bilang kalau kakak tidak akan pergi lama dan segera kembali’. Kami menangis bersama.
          “Aldi, kamu mau kan jagain adik-adik untuk kakak? Belajar yang rajin dan tolong jaga ibu sama bapak. Kak Callista janji bakal cepet pulang dan main lagi sama kalian.” Aku berbisik kepada anak kedua yang tidak lain adalah adikku yang berumur 9 tahun.
          Dengan lantang dia berbisik balik, “Aldi janji. Tapi, kak Callista juga harus janji bakal sehat terus dan jadi anak baik disana.”
          “Iya, dek. Kak Ista janji.”
          Itu percakapan kami yang terakhir. Ibu dan bapakku hanya menangis sangat haru disaat detik-detik terakhir akan pergi meninggalkan mereka.
          Sekitar 23 jam perjalanan dari kampungku menuju kota. Aku menaiki bis. Dengan bekal makanan sedikit dan uang yang seadanya, aku nekad. Hanya dengan mengucap bismillah-lah aku bertekad dengan matang. Karena salah satu targetku adalah kuliah sambil bekerja agar aku bisa mengirimi orang tuaku uang setiap bulan, maka aku tidak terlalu memusingkan berapa banyak uang yang kubawa, yang memang sangat sedikit.
          Aku kira mencari pekerjaan itu mudah dengan otak yang lumayan sepertiku. Ternyata, perkotaan lebih kejam daripada yang ku kira, semua butuh uang sebagai pelancarnya.
          Aku menyewa rumah sederhana dengan biaya 3,5 juta setahun, belum lagi biaya kuliah yang sangat tinggi, dan makan sehari-hariku serta ongkos.
          Aku berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan yang akan menggajiku tinggi hingga dapat membayar biaya kost, kuliah, makan, ongkos, serta mengirimi uang untuk orang tuaku di kampong. Aku bingung.
          Singkat cerita, kala itu malam. Aku berjalan-jalan sambil memikirkan bagaimana nasipku selanjutnya. Kuliah tidak lagi ku pikirkan karena tinggal hitungan hari aku akan ospek dan berkelana dengan jurusan yang kupilih.
          “Neng.. kok malem-malem gini jalan sendirian?”
          “Tidak apa-apa bu.”
          “Sedang mencari angin ya?”
          “Orang baru ya?”
          “Kebetulan iya bu.”
          “Sedang mencari pekerjaan?”
          “Darimana ibu tau?”
          “Wah, sudah banyak orang baru yang saya temukan sedang bingung bagaimana nasipnya hidup dalam kejamnya perkotaan. Kalau boleh saya sarankan, neng mau bekerja dengan saya?”
          “Apa ibu serius? Bekerja apa saja saya mau, asal saya bisa mendapatkan uang banyak.”
          “Mari ikut saya.”
          Kami berjalan beriringan, sambil mengobrol ringan tentang asal-usulku sebelum aku memutuskan untuk merantau ke kota. Ibu ini terlihat sangat baik dan ramah.
          Kami sampai di tempat kost yang tidak jauh dari tempat kami bertemu tadi. Plang depan kost-an yang cukup luas ini memberi tanda ‘Kost Khusus Wanita. CP: 08134234xxxx’.
          “Nah, silahkan masuk..”
          5 menit menunggu, rombongan penghuni kost-an khusus wanita ini member sapa yang manis untukku. Sebagian besar memang anak muda. Namun, ada beberapa yang terlihat sudah seperti ibu-ibu.
          15 menit aku diajak bicara dalam ruangan kost-an ini. Aku ditawari pekerjaan sebagai ‘pemuas nafsu’, awalnya memang aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Club, om-om, pemuas, bayaran yang besar per-malam, dan lain-lain. Hingga akhirnya kata-kata ‘kupu-kupu malam’ terlontar dari salah satu wanita muda yang ku ketahui namanya Asih. Aku mulai mengaitkan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku mulai mengerti.
          Aku sempat memutuskan untuk tidak menerima tawaran tersebut, namun keadaan sudah merenggut keputusan muliaku untuk berkata ‘tidak, terimakasih’ yang akhirnya menjadi ‘baiklah, akan kupikirkan’.
          Sejak saat itu kehidupan putihku mulai abu-abu hingga menjadi hitam. Semuanya terbalik dari apa yang dikatakan semua orang padaku bahwa aku cantik. Ya.. secara fisik memang, tetapi aku tidaklah secantik yang mereka pikirkan. Ibaratnya, aku adalah kertas putih, tetapi sebenarnya sudah dinodai tinta hitam yang kututupi dengan tipe-X. Maka, aku tetap terlihat ‘putih’ dihadapan mereka, padahal sebenarnya aku masih lebih kotor dari sampah busuk yang didiamkan terlalu lama. 


***

          “Callista..”
          “Ya?”
          “Happy 2nd Anniversary,” katanya berseri-seri sambil menyodorkan se-bucket mawar putih yang memang jadi favoritku.
          “Iya, terimakasih Bima..”
          “Cuma segitu doang? Nggak mau make a wish barengan nih?”
          “Semoga hubungan ini tidak memiliki akhir dan akan terus berjalan seperti air mengalir..” aku berkata lirih.
          “Yap!”
          “Mau kado apa?”
          “Cinta kamu!” dia tertawa keras, seperti memang benar-benar ada yang lucu padahal menurutku tidak. Wajahku tetap dan memang selalu datar.
          “Yayaya..”
          “Aku ada jam kuliah, aku pergi dulu ya..”
          “Study hard, hun!
          Dia hanya tersenyum dan berlalu dengan agak berlari karena mungkin jam kuliahnya sudah hampir dimulai.
          Aku menatap kosong kearah 6 tangkai bunga mawar putih pemberian Bima. Cantik, pikirku.


***
       
          Serapat-rapatnya kita menyembunyikan bangkai, tetap akan tercium bau busuknya, itu yang selalu orang bilang. Aku berdiam diri lagi didepan cermin. Memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi jika semua orang mengetahui bahwa aku adalah seorang ‘pemuas nafsu’ pria-pria berengsek yang liar dan tidak pernah merasa puas. Hatiku bergejolak perih, seperti ada yang menyiramkan bensin dan menyulutkan api. Aku takut. Takut semuanya, pasti, cepat atau lambat, akan terbongkar. Aku memikirkan orang tuaku yang akan menanggung malu, adik-adikku yang tidak mengakuiku lagi sebagai kakaknya, dan Bima yang jijik menatapku dan akan membenciku, serta seisi kampus yang mencemoohku dengan kata-kata hinaan yang paling tajam.
          “Dasar pelacur!”, “Wanita penggoda!”, “Luarnya cantik, tetapi sayang wanita kotor..”. Kalimat-kalimat hinaan itu tiba-tiba saja memenuhi pikiranku. Suaranya besar dan memenuhi indera pendengaranku. Aku menutup kedua telingaku. Aku jatuh ke lantai, terduduk dan menangis sejadinya. Aku tidak akan pernah siap…


***

          “Callista..”
          “Ada apa?”
          “Layani pria di 497.”
          “Baik, ma’am.”

          Aku bergegas menaiki tangga café ini menuju kamar nomor 497. Disini memang surganya bangsat-bangsat liar dan kelaparan akan belaian! Aku jijik ketika berada disini. Wajah pria-pria itu seakan seperti buaya-buaya yang selalu meneteskan air liurnya.

          “Permisi?”
          “Dari tante Susi?”
          “Ya.. kiriman dari wanita tua itu.”
          “Baiklah, silahkan masuk.”
          Aku selalu mual ketika harus melayani pelanggan-pelanggan ini. Maka dari itu, aku sering menyisir rambutku terlebih dahulu, menghilangkan rasa gugup dan mual serta jijik.

          Aku masuk dengan enggan. Rupanya pria itu sedang di kamar kecil.
          “Tunggulah sebentar..” katanya pelan.
          Rasa takut dan jijikku mulai menyelimuti. Inilah yang selalu kurasakan. Detak jantung tak beraturan, membenci diri sendiri, dan masih banyak rasa aneh yang selalu menyertaiku.
          Aku mulai menyisir rambutku dengan lembut dan perlahan seperti yang selalu kulakukan.
          “Ayo..”
          “Tunggu..” kataku pelan.
          Aku menoleh kebelakang. Deg!
          “Callista?”
          “Ti..ti..tian..” aku kaget, sangat kaget.
          “Kamu…” kalimatnya tertahan, dengan perasaan yang sepertinya campuran antara shock, tidak percaya, dan beberapa tatapan dan mimik wajah yang tidak kumengerti apa artinya.
          
***

          “Aku tidak menyangka sebuntu itukah jalan pikiranmu. Aku benar-benar sakit hati mengetahui ini, lebih sakit hati daripada melihatmu berpacaran dengan Bima! Kau tahu, sudah 2 tahun terakhir aku mendambakanmu, memuja setiap apapun yang kau lakukan. Aku tidak tau harus apa aku sekarang. Sebenarnya, aku ke kamar kecil tadi ingin menghilangkan rasa gugupku, karena ini kali pertama aku mencoba nekad ke ‘dunia hitam’. Dan aku merasa, aku tidak akan pernah mencoba nekad lagi! Kau.. wanita bejat!” kata-kata itu tidak pernah hilang dalam otakku, suaranya yang keras selalu terdengar dan berulang-ulang semakin menyakiti hatiku. Aku benar-benar seperti ditelanjangi keadaan. Aku malu, aku sakit hati, sekaligus jijik pada diriku sendiri.


*** 

          Aku memikirkannya matang-matang. Dan setelah ini terserah apa yang akan terjadi, yang penting aku akan segera meloncat dari ‘lubang hitam’ itu, batinku.

          Setengah jam sebelum acara akan dimulai, aku dibasahi oleh keringat dingin yang terus-menerus mengalir dari pori-pori tubuhku.
          Dan ketika saatnya tiba aku seperti agak sempoyongan, tetapi aku harus melakukan ini, karena aku sudah bertekad sebelumnya.
          “Baiklah teman-teman, saya mengundang kalian untuk berkumpul di aula ini dengan tujuan yang mungkin akan membuat kalian mual dan jijik. Jadi, bagi siapa saja yang tidak tahan muntah bisa menyiapkan kantong plastik.”
          Orang-orang dihadapanku langsung saling bertatapan bingung.
          “Baiklah, ada beberapa hal yang akan saya akui tentang diri saya. Saya Callista. Nama saya bisa dalam bahasa Yunani diartikan sebagai wanita yang cantik luar dan dalam. Mungkin, dimata kalian saya adalah sosok wanita yang cantik, baik, pintar, dan serba ada dengan kehidupan sempura. Namun, semuanya adalah hasil dari penampilan fisik saya yang terlihat. Tetapi, siapa yang tahu Callista yang kalian anggap sempurna adalah ‘wanita pemuas nafsu’ di salah satu cafe yang lumayan dekat dari kampus kita.
          Saya tidak mengada-ngada. Saya mengakui ini karena saya belum siap jika kalian tau sebelum saya yang memberitahunya. Tapi, ada satu orang yang sudah tau bahwa saya adalah ‘wanita kotor’. Tian. Saya tidak mampu menahan nyeri dihati saya ketika dia memberi saya tatapan jijik dan benci. Saya tidak mau semua orang yang saya kenal akan memperlakukan sampah walaupun saya memang pantas diperlakukan lebih hina daripada sampah.
          Saya hanya ingin meminta maaf kepada kalian semua, terutama Bima pacar saya. Dia adalah pria yang baik. Yang menjaga saya bukan malah merusak saya walaupun saya memang sudah ‘rusak’.
          Jika diantara kalian ada ingin membenci atau jijik dengan saya bahkan mual dan ingin muntah, seperti intruksi saya sebelum saya menceritakan ini, kalian boleh muntah. Sekian dan terimakasih atas perhatian kalian.”
          Aku langsung lari menuju toilet dan langsung menangis sejadi-jadinya disana.
          Setelah ini aku akan memutuskan untuk pulang ke kampung karena kebetulan ujian sudah selesai dan minggu tenang akan segera berakhir, jadi bisa meninggalkan kota untuk sementara.

***

          “Kak Callista!”
          “Arum..” aku memeluknya erat, “Kemana yang lain?”
          “Ada didalam. Kami semua rindu kakak..” ia hampir menitihkan air matanya, namun dengan cepat menyekanya.
          “Ayo kita susul mereka.” Aku menggandeng tangan kecil adik mungilku itu.
         
          Keadaan rumah masih reot, masih sama seperti yang dulu.
          Aku masuk.
          Ibu dan bapakku langsung bersamaan kaget sekaligus senang dengan kedatangan dadakanku. Karena, biasanya aku akan mengabarkan apapun yang ingin ku lakukan kepada mereka lewat surat, tetapi kali ini mengejutkan mereka.
          Inilah tempat tinggal yang kurindukan. Rumah reot dengan penuh lubang dimana-mana. Isinya, orang-orangnya membuatku benar-benar tenang, karena mereka semua masih utuh.
          Memang benar apa kata orang, keluarga adalah satu-satunya tempat yang akan selalu bisa menerimamu, ketika dunia tidak. Setelah bertahun-tahun dilanda homesick, akhirnya aku kembali kesini lagi. Bersama kehangatannya yang selalu ku rindukan ketika berada di kota. Disini, seakan dunia menerimaku kembali. Aku tidak merasa aku ‘telanjang’ lagi.

***

          Saat malam, 2 jam kuhabiskan untuk menceritakan segalanya kepada keluarga hangatku. Mereka terharu terlebih kedua orang tuaku yang sudah mengeluarkan berjuta-juta titik air mata, tetapi tetap menerimaku.


***

          “Ibu, Callistanya ada?”
          “Ada. Siapa ya?”
          “Saya Bima.”
          “Tunggu sebentar ibu panggilkan..” ibuku masuk dan segera berteriak pelan, “Ista..”
          “Iya bu?”
          “Ada temanmu diluar.”
          Aku kaget dan buru-buru keluar untuk memastikan siapa yang datang. Mataku terbelalak, “Bima?”
          “Hai..”
          “Kamu..”
          “Ya. Aku dan semua anak dikampus nyariin kamu sehabis pengakuan itu, tapi nggak ketemu. Kami semua sayang kamu. Dan kami salut akan kejujuran kamu. Dan satu lagi yang paling terpenting, nggak ada yang muntah sehabis kamu ninggalin panggung. Semuanya seneng kamu mau jujur, dan Tian titip minta maaf.”
          “Terimakasih..” aku menjatuhkan air mataku sedikit, tetapi lama-lama banyak.
          Bima memelukku hangat, “Kami menghargai kenapa kamu menjadi seperti itu, kami memaklumi. Kami malah akan benci jika kamu tidak jujur. Toh, semua orang memang nggak ada yang sempurna. Toh, semua manusia pernah lebih mulia dari malaikat dan pernah lebih hina dari hewan.”
          “Terimakasih banyak..”
          “Ya. Tetaplah seperti Callista yang ku kenal, dan setelah lulus will you marry me?” dia melepaskan pelukannya.
          Aku menyeka air mataku yang menguasai hampir seluruh pipiku, “Yep, I will..” aku tersenyum. “Umm.. tapi kamu nggak malu?”
          “Kenapa harus malu?” dia tersenyum.
          Kami tersenyum.
          Dia mengajak orang tua dan adik-adikku berkenalan. Lalu, kami tertawa bersama dalam gubuk reotku.


***


          Tuhan selalu punya jalan untuk hamba-Nya yang tersesat sekalipun. Tinggal gimana kita nyari jalan itu dan berani ngambil resiko sekaligus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang lain yang jadi pilihan kita, seperti pengertian biaya peluang (opportunity cost) dalam ekonomi.


***

          Nilai moral / amanat: Menurut kalian apa? Hehehe.. ambil hikmahnya deh ya kaya yang ditulis di paragraf terakhir. Dan ini serius bukan pengalaman pribadi atau kisah orang lain, ini pure fiksi-_- Semoga kalian suka:')

0 comments:

Post a Comment

Jan 6, 2013

: )

          Aku melihat bayangan seorang wanita dalam cermin kamarku. Rambutnya panjang tergerai. Pakaiannya yang ia pakai adalah pakaian rumah biasa. Alisnya menyatu hitam pekat dan tebal. Hidungnya panjang dan tinggi (mancung). Wajahnya campuran antara Belanda dan Arab. Bibirnya merah. Dan dagunya agak panjang. Ada bulu-bulu halus yang tumbuh disekitar bawah hidungnya, diatas bibirnya; kumis tipis yang untung saja tidak terlalu terlihat dari jarak yang jauh. Kulitnya sawo matang. Dan matanya, cokelat terang. Sekilas, memang terlihat sempurna. Kakinya mulus. Badannya tegap dan jenjang pula. Ada rona merah muda dikedua pipinya ketika ia merasa malu. Wajahnya memang baby face. Namun.. bukankah di dunia ini tidak ada yang sempurna?

          Aku menatap dalam kearah diriku sendiri dalam cermin. Kamu cantik, Callista, aku berbicara pelan.
          Kamu cantik, kamu cantik, kamu cantik, kamu cantik, Callista! Aku memaki bayangan diriku dalam cermin.


***

          “Kamu dimana?
          “Kostan.”
          “Mau jalan?
          “Lagi nggak mau, aku pengen sendirian dulu. Gapapa kan?”
          “Kabarin lagi aku nanti kalau kamu berubah pikiran.
          “Oke..”
          Bima memutuskan sambungan telepon. Aku masih berkutat dengan diriku. Semua orang bisa menerimaku. Semuanya menganggapku sempurna tanpa tahu ‘aku yang sebenarnya’. Semua orang ingin dekat denganku. Hampir semua orang di kampus begitu. Mendambakan seorang yang cantik, pintar, baik, dan murah hati dari luar. Semua gelap akan penampilan luar, padahal tidak tahu apa isi di dalam. Hampir semua orang menilai watak dari luarnya, tanpa ingin tahu bagaimana hatinya. Karena yang terpenting dari segalanya adalah hati yang cantik, bukan hanya fisik.
          Aku benci diriku sendiri. Hina.
          Aku tidak bisa menerima diriku sendiri, bahkan aku rela menukarkan fisik yang kupunya demi fisik baru yang bersih, yang masih bisa kubanggakan.


***
          “Sayang, bisa nemenin aku malem ini?”
          “Bukankah biasanya memang seperti itu?”
          “Baiklah, 809.”
          “Tunggu setengah jam lagi, aku masih harus membereskan bajingan kotor disana.”
          “Terserah kau saja.”
         
          Aku menyisir rambut panjangku secara perlahan, dengan lembut dan hati-hati.
          “Ayo!”
          “Tunggu..”
          “Kau selalu saja seperti itu setiap permulaan.”
          “Bisakah kau bersabar sedikit?”
          “Ya, maumu saja.”


***

          Aku berlari kecil saat keluar dari kamar 809. Terburu-buru karena ini sudah hampir subuh. Bajingan tua itu memang keparat! Hati kecilku selalu berkata seperti itu tiap kali habis ‘dipakai’.
          Kalian mengerti? Ya.. aku selalu membenci diriku sendiri karena aku bukanlah wanita biasa, bukan wanita masih bisa dibanggakan. Aku tidak memiliki harga seperti wanita belum menikah pada umumnya. Aku selalu dihargai yang selalu berakhir uang yang jumlahnya lumayan besar selalu masuk di rekeningku dari para pelangganku setiap malam. Aku bukan wanita yang memiliki harga lagi. Aku kotor yang lebih kotor daripada sampah dan lebih hina daripada nafsu hewan.
          Aku selalu menangis menyesali semuanya. Aku selalu melihat diriku ‘telanjang’ walau aku berpakaian. Aku jijik melihat diriku sendiri di dalam cermin. Aku selalu malas bercermin lama-lama, karena mual akan diriku sendiri.
          Aku masih ingat jelas pertama kali aku merantau ke kota untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi di salah satu perguruan tinggi negeri, karena di kampungku tidak ada satupun perguruan tinggi yang benar-benar bagus. Karena alasan orang tua yang hanya lulusan SD dan adik-adikku yang masih kecil dan balita, serta otakku yang terbilang cerdas, ibu dan bapakku mendukungku ketika aku ingin kuliah di kota. Walaupun sebenarnya, dalam hati kecil mereka tidak tega membebani aku dalam kerasnya kehidupan. Namun aku tetap keukeuh atas pilihanku yang sudah matang tersebut.
          Sebelum akhirnya aku pergi meninggalkan rumah reotku di kampung, Aldi, Kayla, Rizky, Arum, dan Mika memelukiku dengan penuh kasih sayang seakan berbicara ‘Kak.. tolong jangan tinggalkan kami, tolong bilang kalau kakak tidak akan pergi lama dan segera kembali’. Kami menangis bersama.
          “Aldi, kamu mau kan jagain adik-adik untuk kakak? Belajar yang rajin dan tolong jaga ibu sama bapak. Kak Callista janji bakal cepet pulang dan main lagi sama kalian.” Aku berbisik kepada anak kedua yang tidak lain adalah adikku yang berumur 9 tahun.
          Dengan lantang dia berbisik balik, “Aldi janji. Tapi, kak Callista juga harus janji bakal sehat terus dan jadi anak baik disana.”
          “Iya, dek. Kak Ista janji.”
          Itu percakapan kami yang terakhir. Ibu dan bapakku hanya menangis sangat haru disaat detik-detik terakhir akan pergi meninggalkan mereka.
          Sekitar 23 jam perjalanan dari kampungku menuju kota. Aku menaiki bis. Dengan bekal makanan sedikit dan uang yang seadanya, aku nekad. Hanya dengan mengucap bismillah-lah aku bertekad dengan matang. Karena salah satu targetku adalah kuliah sambil bekerja agar aku bisa mengirimi orang tuaku uang setiap bulan, maka aku tidak terlalu memusingkan berapa banyak uang yang kubawa, yang memang sangat sedikit.
          Aku kira mencari pekerjaan itu mudah dengan otak yang lumayan sepertiku. Ternyata, perkotaan lebih kejam daripada yang ku kira, semua butuh uang sebagai pelancarnya.
          Aku menyewa rumah sederhana dengan biaya 3,5 juta setahun, belum lagi biaya kuliah yang sangat tinggi, dan makan sehari-hariku serta ongkos.
          Aku berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan pekerjaan yang akan menggajiku tinggi hingga dapat membayar biaya kost, kuliah, makan, ongkos, serta mengirimi uang untuk orang tuaku di kampong. Aku bingung.
          Singkat cerita, kala itu malam. Aku berjalan-jalan sambil memikirkan bagaimana nasipku selanjutnya. Kuliah tidak lagi ku pikirkan karena tinggal hitungan hari aku akan ospek dan berkelana dengan jurusan yang kupilih.
          “Neng.. kok malem-malem gini jalan sendirian?”
          “Tidak apa-apa bu.”
          “Sedang mencari angin ya?”
          “Orang baru ya?”
          “Kebetulan iya bu.”
          “Sedang mencari pekerjaan?”
          “Darimana ibu tau?”
          “Wah, sudah banyak orang baru yang saya temukan sedang bingung bagaimana nasipnya hidup dalam kejamnya perkotaan. Kalau boleh saya sarankan, neng mau bekerja dengan saya?”
          “Apa ibu serius? Bekerja apa saja saya mau, asal saya bisa mendapatkan uang banyak.”
          “Mari ikut saya.”
          Kami berjalan beriringan, sambil mengobrol ringan tentang asal-usulku sebelum aku memutuskan untuk merantau ke kota. Ibu ini terlihat sangat baik dan ramah.
          Kami sampai di tempat kost yang tidak jauh dari tempat kami bertemu tadi. Plang depan kost-an yang cukup luas ini memberi tanda ‘Kost Khusus Wanita. CP: 08134234xxxx’.
          “Nah, silahkan masuk..”
          5 menit menunggu, rombongan penghuni kost-an khusus wanita ini member sapa yang manis untukku. Sebagian besar memang anak muda. Namun, ada beberapa yang terlihat sudah seperti ibu-ibu.
          15 menit aku diajak bicara dalam ruangan kost-an ini. Aku ditawari pekerjaan sebagai ‘pemuas nafsu’, awalnya memang aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Club, om-om, pemuas, bayaran yang besar per-malam, dan lain-lain. Hingga akhirnya kata-kata ‘kupu-kupu malam’ terlontar dari salah satu wanita muda yang ku ketahui namanya Asih. Aku mulai mengaitkan apa yang sedang mereka bicarakan. Aku mulai mengerti.
          Aku sempat memutuskan untuk tidak menerima tawaran tersebut, namun keadaan sudah merenggut keputusan muliaku untuk berkata ‘tidak, terimakasih’ yang akhirnya menjadi ‘baiklah, akan kupikirkan’.
          Sejak saat itu kehidupan putihku mulai abu-abu hingga menjadi hitam. Semuanya terbalik dari apa yang dikatakan semua orang padaku bahwa aku cantik. Ya.. secara fisik memang, tetapi aku tidaklah secantik yang mereka pikirkan. Ibaratnya, aku adalah kertas putih, tetapi sebenarnya sudah dinodai tinta hitam yang kututupi dengan tipe-X. Maka, aku tetap terlihat ‘putih’ dihadapan mereka, padahal sebenarnya aku masih lebih kotor dari sampah busuk yang didiamkan terlalu lama. 


***

          “Callista..”
          “Ya?”
          “Happy 2nd Anniversary,” katanya berseri-seri sambil menyodorkan se-bucket mawar putih yang memang jadi favoritku.
          “Iya, terimakasih Bima..”
          “Cuma segitu doang? Nggak mau make a wish barengan nih?”
          “Semoga hubungan ini tidak memiliki akhir dan akan terus berjalan seperti air mengalir..” aku berkata lirih.
          “Yap!”
          “Mau kado apa?”
          “Cinta kamu!” dia tertawa keras, seperti memang benar-benar ada yang lucu padahal menurutku tidak. Wajahku tetap dan memang selalu datar.
          “Yayaya..”
          “Aku ada jam kuliah, aku pergi dulu ya..”
          “Study hard, hun!
          Dia hanya tersenyum dan berlalu dengan agak berlari karena mungkin jam kuliahnya sudah hampir dimulai.
          Aku menatap kosong kearah 6 tangkai bunga mawar putih pemberian Bima. Cantik, pikirku.


***
       
          Serapat-rapatnya kita menyembunyikan bangkai, tetap akan tercium bau busuknya, itu yang selalu orang bilang. Aku berdiam diri lagi didepan cermin. Memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi jika semua orang mengetahui bahwa aku adalah seorang ‘pemuas nafsu’ pria-pria berengsek yang liar dan tidak pernah merasa puas. Hatiku bergejolak perih, seperti ada yang menyiramkan bensin dan menyulutkan api. Aku takut. Takut semuanya, pasti, cepat atau lambat, akan terbongkar. Aku memikirkan orang tuaku yang akan menanggung malu, adik-adikku yang tidak mengakuiku lagi sebagai kakaknya, dan Bima yang jijik menatapku dan akan membenciku, serta seisi kampus yang mencemoohku dengan kata-kata hinaan yang paling tajam.
          “Dasar pelacur!”, “Wanita penggoda!”, “Luarnya cantik, tetapi sayang wanita kotor..”. Kalimat-kalimat hinaan itu tiba-tiba saja memenuhi pikiranku. Suaranya besar dan memenuhi indera pendengaranku. Aku menutup kedua telingaku. Aku jatuh ke lantai, terduduk dan menangis sejadinya. Aku tidak akan pernah siap…


***

          “Callista..”
          “Ada apa?”
          “Layani pria di 497.”
          “Baik, ma’am.”

          Aku bergegas menaiki tangga café ini menuju kamar nomor 497. Disini memang surganya bangsat-bangsat liar dan kelaparan akan belaian! Aku jijik ketika berada disini. Wajah pria-pria itu seakan seperti buaya-buaya yang selalu meneteskan air liurnya.

          “Permisi?”
          “Dari tante Susi?”
          “Ya.. kiriman dari wanita tua itu.”
          “Baiklah, silahkan masuk.”
          Aku selalu mual ketika harus melayani pelanggan-pelanggan ini. Maka dari itu, aku sering menyisir rambutku terlebih dahulu, menghilangkan rasa gugup dan mual serta jijik.

          Aku masuk dengan enggan. Rupanya pria itu sedang di kamar kecil.
          “Tunggulah sebentar..” katanya pelan.
          Rasa takut dan jijikku mulai menyelimuti. Inilah yang selalu kurasakan. Detak jantung tak beraturan, membenci diri sendiri, dan masih banyak rasa aneh yang selalu menyertaiku.
          Aku mulai menyisir rambutku dengan lembut dan perlahan seperti yang selalu kulakukan.
          “Ayo..”
          “Tunggu..” kataku pelan.
          Aku menoleh kebelakang. Deg!
          “Callista?”
          “Ti..ti..tian..” aku kaget, sangat kaget.
          “Kamu…” kalimatnya tertahan, dengan perasaan yang sepertinya campuran antara shock, tidak percaya, dan beberapa tatapan dan mimik wajah yang tidak kumengerti apa artinya.
          
***

          “Aku tidak menyangka sebuntu itukah jalan pikiranmu. Aku benar-benar sakit hati mengetahui ini, lebih sakit hati daripada melihatmu berpacaran dengan Bima! Kau tahu, sudah 2 tahun terakhir aku mendambakanmu, memuja setiap apapun yang kau lakukan. Aku tidak tau harus apa aku sekarang. Sebenarnya, aku ke kamar kecil tadi ingin menghilangkan rasa gugupku, karena ini kali pertama aku mencoba nekad ke ‘dunia hitam’. Dan aku merasa, aku tidak akan pernah mencoba nekad lagi! Kau.. wanita bejat!” kata-kata itu tidak pernah hilang dalam otakku, suaranya yang keras selalu terdengar dan berulang-ulang semakin menyakiti hatiku. Aku benar-benar seperti ditelanjangi keadaan. Aku malu, aku sakit hati, sekaligus jijik pada diriku sendiri.


*** 

          Aku memikirkannya matang-matang. Dan setelah ini terserah apa yang akan terjadi, yang penting aku akan segera meloncat dari ‘lubang hitam’ itu, batinku.

          Setengah jam sebelum acara akan dimulai, aku dibasahi oleh keringat dingin yang terus-menerus mengalir dari pori-pori tubuhku.
          Dan ketika saatnya tiba aku seperti agak sempoyongan, tetapi aku harus melakukan ini, karena aku sudah bertekad sebelumnya.
          “Baiklah teman-teman, saya mengundang kalian untuk berkumpul di aula ini dengan tujuan yang mungkin akan membuat kalian mual dan jijik. Jadi, bagi siapa saja yang tidak tahan muntah bisa menyiapkan kantong plastik.”
          Orang-orang dihadapanku langsung saling bertatapan bingung.
          “Baiklah, ada beberapa hal yang akan saya akui tentang diri saya. Saya Callista. Nama saya bisa dalam bahasa Yunani diartikan sebagai wanita yang cantik luar dan dalam. Mungkin, dimata kalian saya adalah sosok wanita yang cantik, baik, pintar, dan serba ada dengan kehidupan sempura. Namun, semuanya adalah hasil dari penampilan fisik saya yang terlihat. Tetapi, siapa yang tahu Callista yang kalian anggap sempurna adalah ‘wanita pemuas nafsu’ di salah satu cafe yang lumayan dekat dari kampus kita.
          Saya tidak mengada-ngada. Saya mengakui ini karena saya belum siap jika kalian tau sebelum saya yang memberitahunya. Tapi, ada satu orang yang sudah tau bahwa saya adalah ‘wanita kotor’. Tian. Saya tidak mampu menahan nyeri dihati saya ketika dia memberi saya tatapan jijik dan benci. Saya tidak mau semua orang yang saya kenal akan memperlakukan sampah walaupun saya memang pantas diperlakukan lebih hina daripada sampah.
          Saya hanya ingin meminta maaf kepada kalian semua, terutama Bima pacar saya. Dia adalah pria yang baik. Yang menjaga saya bukan malah merusak saya walaupun saya memang sudah ‘rusak’.
          Jika diantara kalian ada ingin membenci atau jijik dengan saya bahkan mual dan ingin muntah, seperti intruksi saya sebelum saya menceritakan ini, kalian boleh muntah. Sekian dan terimakasih atas perhatian kalian.”
          Aku langsung lari menuju toilet dan langsung menangis sejadi-jadinya disana.
          Setelah ini aku akan memutuskan untuk pulang ke kampung karena kebetulan ujian sudah selesai dan minggu tenang akan segera berakhir, jadi bisa meninggalkan kota untuk sementara.

***

          “Kak Callista!”
          “Arum..” aku memeluknya erat, “Kemana yang lain?”
          “Ada didalam. Kami semua rindu kakak..” ia hampir menitihkan air matanya, namun dengan cepat menyekanya.
          “Ayo kita susul mereka.” Aku menggandeng tangan kecil adik mungilku itu.
         
          Keadaan rumah masih reot, masih sama seperti yang dulu.
          Aku masuk.
          Ibu dan bapakku langsung bersamaan kaget sekaligus senang dengan kedatangan dadakanku. Karena, biasanya aku akan mengabarkan apapun yang ingin ku lakukan kepada mereka lewat surat, tetapi kali ini mengejutkan mereka.
          Inilah tempat tinggal yang kurindukan. Rumah reot dengan penuh lubang dimana-mana. Isinya, orang-orangnya membuatku benar-benar tenang, karena mereka semua masih utuh.
          Memang benar apa kata orang, keluarga adalah satu-satunya tempat yang akan selalu bisa menerimamu, ketika dunia tidak. Setelah bertahun-tahun dilanda homesick, akhirnya aku kembali kesini lagi. Bersama kehangatannya yang selalu ku rindukan ketika berada di kota. Disini, seakan dunia menerimaku kembali. Aku tidak merasa aku ‘telanjang’ lagi.

***

          Saat malam, 2 jam kuhabiskan untuk menceritakan segalanya kepada keluarga hangatku. Mereka terharu terlebih kedua orang tuaku yang sudah mengeluarkan berjuta-juta titik air mata, tetapi tetap menerimaku.


***

          “Ibu, Callistanya ada?”
          “Ada. Siapa ya?”
          “Saya Bima.”
          “Tunggu sebentar ibu panggilkan..” ibuku masuk dan segera berteriak pelan, “Ista..”
          “Iya bu?”
          “Ada temanmu diluar.”
          Aku kaget dan buru-buru keluar untuk memastikan siapa yang datang. Mataku terbelalak, “Bima?”
          “Hai..”
          “Kamu..”
          “Ya. Aku dan semua anak dikampus nyariin kamu sehabis pengakuan itu, tapi nggak ketemu. Kami semua sayang kamu. Dan kami salut akan kejujuran kamu. Dan satu lagi yang paling terpenting, nggak ada yang muntah sehabis kamu ninggalin panggung. Semuanya seneng kamu mau jujur, dan Tian titip minta maaf.”
          “Terimakasih..” aku menjatuhkan air mataku sedikit, tetapi lama-lama banyak.
          Bima memelukku hangat, “Kami menghargai kenapa kamu menjadi seperti itu, kami memaklumi. Kami malah akan benci jika kamu tidak jujur. Toh, semua orang memang nggak ada yang sempurna. Toh, semua manusia pernah lebih mulia dari malaikat dan pernah lebih hina dari hewan.”
          “Terimakasih banyak..”
          “Ya. Tetaplah seperti Callista yang ku kenal, dan setelah lulus will you marry me?” dia melepaskan pelukannya.
          Aku menyeka air mataku yang menguasai hampir seluruh pipiku, “Yep, I will..” aku tersenyum. “Umm.. tapi kamu nggak malu?”
          “Kenapa harus malu?” dia tersenyum.
          Kami tersenyum.
          Dia mengajak orang tua dan adik-adikku berkenalan. Lalu, kami tertawa bersama dalam gubuk reotku.


***


          Tuhan selalu punya jalan untuk hamba-Nya yang tersesat sekalipun. Tinggal gimana kita nyari jalan itu dan berani ngambil resiko sekaligus mengorbankan sesuatu untuk sesuatu yang lain yang jadi pilihan kita, seperti pengertian biaya peluang (opportunity cost) dalam ekonomi.


***

          Nilai moral / amanat: Menurut kalian apa? Hehehe.. ambil hikmahnya deh ya kaya yang ditulis di paragraf terakhir. Dan ini serius bukan pengalaman pribadi atau kisah orang lain, ini pure fiksi-_- Semoga kalian suka:')

No comments:

Post a Comment

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design