Feb 28, 2013

#CeritaCintaKota


Kenapa gue kasih judul #CeritaCintaKota? Karena ini cerpen yang gue ikut-sertakan lomba #CCK yang diselenggarakan oleh PlotPoint bersama @dwitasaridwita. Tapi, gue kalah. Hehehe, tapi gue gak terlalu kecewa sih, karena cerpen ini juga gue buat pas detik-detik date line-_- hahaha. Jadi, selamat menikmati guys! Semoga suka._.



Dermaga Terakhir Yang Tenang

            “Terkadang Tuhan ‘memberi’ kita ‘tamparan keras’ dengan cara mencicipi kehidupan lain dari kehidupan yang biasa kita jalani. Harta terkadang membuat kita angkuh. Melihat keatas terkadang membuat rasa syukur kita meluruh perlahan tetapi terus-menerus, hingga kita melupakan apa yang kita miliki dan selalu merasa kurang puas, lalu hidup kita hanya akan menjadi obsesi untuk menjadi yang paling atas dan memperoleh kedudukan paling tinggi. Karena selalu ada yang lebih, lebih, dan lebih dari apa yang kita punya. Dan kita selalu ingin kita lebih, lebih, dan lebih dari apa yang orang lain miliki.”
***

             Tuhan sudah memberi ‘tampolan’ itu ke saya, Dia memaksa saya untuk memandang kebawah, kehidupan yang kelamnya jauh berbeda dibanding apa yang saya rasakan selama ini.
            Saya menyesel mengapa dengan tengkaknya saya mendongakkan dagu, sedangkan untuk sedikit menundukkan kepala, saya sama sekali tidak peduli.
            Tuhan sudah mencampur-campur rasa dalam hidup saya. Hambar, pahit, manis, dan masih banyak lagi. Sampai saya nemukan titik dimana saya merasa cukup dan bersyukur. Namun, belum menemukan orang yang bisa menghilangkan rasa kesepian yang menahun dalam jiwa saya. Bukan maksudnya saya tidak mempercayai Tuhan itu ada, yang saya maksud adalah orang yang saya butuhkan, penghilang sunyi dan pemberi warna hidup saya yang masih kelabu. Mungkin hidup saya sudah memiliki banyak rasa, namun masih terlalu abu-abu untuk saya nikmati sendiri.
            Saya butuh penopang. Sandaran. Yang mampu memberi kehangatan pada hati saya yang telah lama membeku. Yang selalu dapat mencairkan mood saya. Yang dapat meluluhkan saya yang keras kepala dan egois.
            Saya ingin memiliki rasa itu… detakan jantung yang sulit sekali dikendalikan ketika bertemu dengannya, rindu ketika sedetik saja tidak melihatnya, hati yang rasanya ingin loncat-loncat ketika melihat senyum dan tawanya, senyum penuh arti ketika mengingat harum tubuhnya, dan bayangannya tersebut tidak pernah hilang dalam rekaman di otak saya; jatuh cinta.
            Kali ini, saya bertekad. Sungguh. Saya ingin merasakan getaran-getaran yang membuat saya penasaran tersebut.. ya, jatuh cinta. Saya belum pernah benar-benar membuka hati saya untuk siapapun.
            Dan disinilah saya, heaven in the world versi sendiri. Kota indah yang berkelap-kelip setiap malam dan padat di siang hari; Lampung.
***

            Senja hari ini saya memutuskan untuk pergi. Mencari kedamaian jiwa sendiri. Mengisi waktu yang tak terisi. Serta menenggelamkan diri dalam sepi.
            Laguna Beach, pikir saya cepat. Menepatkan sasaran pergi senja kali ini. Lampung memang tidak seindah kota lain di Indonesia, namun bagi saya.. Bandarlampung adalah surga saya. Pilihan saya tinggal setelah saya memutuskan untuk pindah dari Solo. Kota terpuruk untuk diri saya. Saya ingin mencari ‘angin baru’ untuk saya hirup dan menata ulang kehidupan yang sebelumnya kelam. Dan Bandarlampung memiliki cirri khasnya sendiri yang memikat saya untuk menjadi tujuan tempat saya hidup. Saya memiliki banyak firasat disini. Entah apa yang membawa saya kesini, Bandarlampung menarik perhatian saya layaknya magnet. Sejak saat saya melihat penari Bedana melanggak-lenggok dengan luwesnya di salah satu sanggar tari di Solo, saya mulai menyukai Lampung dan memutuskan untuk me-refresh hidup saya dengan menjadi penduduk tetap disini. Tepatnya di kawasan Pahoman, tengah kota Bandarlampung.
            Dengan menggunakan mobil hampir 2 jam saya mengemudi, dan akhirnya sampai.
            Disini, saya merasa rerumputan pun sangat bersahabat, batu karang yang seakan mencoba mengajak saya untuk menikmatinya, buih-buih gulungan ombak yang menyapu kaki saya hingga mata kaki. Awesome..
            Saya menemukan jiwa saya disini. Jiwa saya yang selalu beku oleh apapun, namun sebenarnya peduli.
            Saya berkeliling menyusuri bibir pantai dengan memotret sebagian keindahan yang pantai Laguna suguhkan.
***

            “Permisi tuan, bisakah anda tunjukkan dimana letak tempat menginap disini?”
            “Oh.. maaf nona, saya tidak tahu. Karena saya juga baru beberapa bulan di Lampung dan saya tidak cukup mengenal wilayah dekat sini.”
            “Tetapi bisa mengantar saya untuk mencari kostan di Bandarlampung?”
            Saya berpikir menerawang, “Tunggu, saya mempunyai beberapa kamar kosong dirumah. Dan bila anda  tidak keberatan, saya bisa menyewakan beberapa kamar tersebut untuk menjadi tempat tinggal anda sementara.”
            “Tidak, bukan sementara. Mungkin.. selamanya.”
            “Saya usahakan,” saya berkata ragu. Wanita ini sungguh tidak ragu untuk langsung menyetujui. Walaupun, saya bukanlah penjahat yang akan menjerumuskannya kedalam lubang hitam, tetapi terlalu cepat percaya kepada seseorang bukanlah hal yang terlalu baik.
            “Lalu, siapa anda? Saya Clyte.”
            “Nico..”
            “Wah! Seseorang yang selalu memenangkan persaingan.”
            “Darimana anda tahu? Maksudku, bagaimana bisa?”
            Senyum simpulnya merekah, sangat manis. “Karena nama saya juga berasal dari bahasa Yunani,” katanya.
            Mata saya berbinar mendengar perkataannya barusan, “Yang berarti..” saya berpikir, “umm.. optimis dan memiliki semangat besar untuk mendapatkan harapannya?”
            “Yap!” Dia tertawa. Cantik..
            “Hanya kebetulan menebak..”
            “How lucky you are!”
            “Baiklah jangan  terus memuji. Bagaimana kalau kita minum?”
            “Minum?”
            “Kelapa muda!”
            “Kukira kau peminum.”
            “Dulunya..”
            “Wah.. sama! Masa laluku begitu hitam.”
            “Apa bedanya denganku?”
            “Ayo kita minum!”
            “Minum?” aku mengerutkan keningku.
            “Oh tentu saja kelapa muda! Jangan bercanda.”
            “Kukira kau serius.” Aku tertawa bersamanya. How funny girl!
            Saya mengingat-ingat percakapan dan obrolan ini. Senja pertama yang saya isi bersama orang lain.
            Mulai senja hari itu, saya tidak pernah merasa sendirian. Saya merasakan, saya ditopang. Dan saya merasa seperti sandaran. Kami menyesuaikan dan saling menyempurnakan.
***

Saya selalu tetap tinggal walau merapuh
Saya selalu mencari dan saya kelelahan
Saya telah berhenti menangis namun hati saya tetap menjerit
Rindu ini meronta..
Semesta menyatukan kita
Dan, aku hanya bisa mengeja syukur sambil mencoba tersenyum
Tidak ada yang akan selamanya..
Maka, disinilah aku..
Meraihmu namun terlambat untuk bersama
Sedangkan, waktu hanya menyisakan beberapa detik untukku
Berharap, penggantiku adalah ‘aku’ yang lain diluar sana
Jangan jadikan aku yang terakhir, aku bukanlah akhir hidupmu
Namun lelaki gagah yang lainlah yang menunggumu hadir

            Saya membaca deretan kalimat puisi tersebut. Mencoba mencari terjemahan dari kalimat yang rumit dimengerti ini. “Umm.. ini apaansih?” dengan lancangnya menyodorkan kertas yang berisi kalimat-kalimat aneh tulisan tangan seseorang.
            Dia merampas kasar kertas biru muda itu dari tangan saya, wajahnya terlihat seperti berkata ‘Itu bukan urusanmu!’ “Oh, baiklah. Maafkan aku. Orang laundry menemukannya dalam saku celanamu saat ingin mencucinya. Maafkan ketidaksopananku.”
            “Tidak, Nico. Tidak apa-apa. Bukan masalah.”
            “Kau yakin?”
            “Ya. Keluarlah. Aku butuh waktu untuk sendiri.”
            “Wanita selalu begitu! Baiklah.”
            Dengan terpaksa kaki saya yang tidak ingin keluar, saya geret paksa. Ketika 5 langkah, terdengar isakan yang mengisi ruangan yang sebelumnya hening. “Ada apa?” kataku dengan panik berbalik dimana Clyte duduk menutup wajahnya yang dibanjiri air mata.
            Dia tidak menjawab. Saya dan suasana berusaha mengerti tangisan, jadi kami sunyi. Memaksa suara serak dan isakan itu mengisi seluruh ruangan.
***

            “Selamat tinggal Clyte. Hahahaha..”
            “Itu ancaman? Apa kamu udah nggak mau ketemu aku ya?”
            “Kenapa ngomongnya gitu? Kamu tuh kalo ngomong..” suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
            “Bercanda,” nada bicaraku seperti memohon maaf.
            Dia bersungut. Lalu, dengan tidak kusangka dia menggelitiki pinggangku hingga aku hampir menangis.
            “Jangan ragukan perasaan aku..”
            “Bukan begitu maksudku..”
            “Ya, aku mengerti.”
            Percakapan 3 hari sebelum dia benar-benar menterjemahkan kata ‘selamat tinggal’ itu..

            Kami dekat. Bersahabat. Sependapat. Selalu bersama. Sampai akhirnya semua itu hangus dipisahkan takdir..
            “Vino memacu kecepatan motornya hingga hampir 100km/jam. Malam yang larut itu memang lengang, hampir tidak ada kendaraan yang lewat lagi hingga Vino seakan berpikir gak akan terjadi apa-apa. Tapi dugaannya salah, ada truk dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi juga, karena itu tikungan tajam, dia nggak bisa ngendaliin sampe akhirnya dia tertabrak. Sempet koma 2 hari karena luka dalam dibagian kepala dan kaki kanannya patah dan yang kiri retak, dan sadar cuma beberapa jam, dia nyeritain semuanya dan minta maaf sekalian titip salam ke kamu. Ibu memang udah punya firasat yang janggal ketika dia pamit dan bilang ‘Bu.. Vino pergi ya..’ yang biasanya langsung pergi tanpa pamit. Dia nitipin surat gitu warna biru muda, katanya tante disuruh kasihin ke kamu, ada di lacinya.” Wanita itu terisak sambil menceritakannya. Naas. Itu informasi terakhir yang aku dapatkan pasca datang ke Lampung untuk melihat jenazah sahabat sekaligus cinta pertamanya.
            “Bu.. apa ada pesan dia yang lain?”
            Mboten enten*, nduk..” (*tidak ada)
            “Yaudah, aku ke kamarnya yo, Bu?”
            “He-eh..” Wanita paruh baya itu mengangguk.

            Suasana kamarnya sama hangatnya seperti di Jogja, tidak ada bedanya dengan kamarnya yang disini, Lampung. Harumnya. Khas Vino. Harum vanilla yang sangat lembut. Mencerminkan kepribadian Vino. Beberapa tahun lalu dia harus pindah dari sebelah rumahku di Jogja hingga beratus-ratus kilometer jauhnya dari rumahku. Ada beberapa alasan mengapa ia pindah, yang salah satunya adalah karena perceraian ibu dan ayahnya. Maka, ibu Vino memutuskan membawa Vino ketempat orang tuanya di Lampung, tepatnya di Tanggamus.
            Menulusuri seluruh sisi kamar Vino. Membuat aku benar-benar mengingat setiap lekuk wajahnya, senyumnya, tawanya, dan semuanya.
            Dengan berbekal nekad dan penasaran, aku membuka laci salah satu meja disamping tempat tidurnya. Biru muda adalah warna kesukaanku. Dia memang pengingat yang baik.
            Dengan buru-buru aku mengambilnya dan meletakkannya di sakuku. Lalu pergi keluar kamar dan langsung berpamitan pulang ke Jogja. Ini bukan tidak beralasan. Aku memang ada kuliah pagi besok.
            Air mataku meleleh sejadinya. Seperti bongkahan batu es yang dikenai panas. Memenuhi seluruh pipi hingga aku sulit bernafas.
            Didalamnya berisi kalimat yang menggambarkan kenangan kami yang sudah kenal sejak kami lahir dari perut ibu kami hingga akhirnya kami saling mencintai.
***

            Wajahnya pucat pasi menggambarkan kesedihan yang mendalam ketika menceritakan semuanya.
            Saya membisu.
            Seperti dipukul ratusan rotan secara satu per satu dibagian punggung.
            Saya memandang gemerlap malam kota Bandarlampung dari atas. Kami sedang menikmati riuhnya malam itu di McD Central Plaza. Namun riuh-rendah yang dihasilkan oleh suara-suara yang sibuk disekeliling kami tidak memecahkan hening yang menggelayuti kami.
            Kota tapis berseri ini sangat indah ketika malam, warnanya hampir gelap dan orange saja. Kecuali sinar lampu kendaraan.
            Secercah lubang seperti menganga dalam hati saya. Lubang hitam yang dalam.
            Inikah perasaan itu? Cemburu? Jatuh cinta? Jika ia, tolong berikan saya kesempatan untuk menyandarkan kepalanya yang penuh beban tersebut di bahu kosong saya yang belum sempat terisi siapapun.
            Saya kembali diam. Dengan keadaan seperti ini saya merasa jauh lebih bersyukur, ternyata beban yang saya hadapi tidaklah terlalu buruk. Orang tua saya masih utuh tetapi hanya saja mereka terlalu terlena dalam gemerlapnya surga dunia yang sangat sempit.
            Mungkin, jatuh cinta seperti seruit. Makanan khas Lampung. Rasanya bercampur aduk menjadi satu.
            Dan, sekarang aku benar-benar merasakannya…
            Dan bertekad membuat Clyte bangkit! Dia gadis yang penuh semangat.

            Kami memutuskan untuk pulang. Tetapi, saat dalam perjalanan pulang saya malah mengajaknya untuk bersantai ke tempat makan yang dekat dengan rumah kami. Diggers. Kami hanya butuh beberapa puluh langkah kaki untuk sampai ketempat yang memiliki wilayah strategis untuk mengamati indahnya kota Bandarlampung dari kejauhan.
            Tenang suasananya. Wajah Clyte masih saja muram, seperti tidak memiliki semangat.
            Saya memilih tempat duduk di bagian atas karena cahaya bulan sangat indah dipandang dari bagian atas yang saya pilih.
***

            Ditemani 2 cappucino hangat, kami berdiam diri ditemani keheningan dan suara angin yang seakan terdengar.
            Aku sangat berterimakasih Nico telah berusaha menghibur hatiku yang gundah akan ingatan yang kembali menjadi kabut hitam dalam pikiranku.

            “Nico, makasih..”
            “Untuk apa?”
            “Hiburan dadakannya dengan hening..”
            “Tidak apa, bukan masalah. Aku hanya ingin kau tahu, disini ada ‘gagah yang menantimu’ seperti apa yang dikatakan Vino. I’m here for you, don’t worry, okey?
            “Terimakasih banyak..”
            “Ini kali pertama aku begitu dekat dengan wanita yang benar-benar membuatku merasakan getaran-getaran itu.. detak jantung yang tak beraturan, rindu, tersenyum secara tiba-tiba. Terimakasih banyak juga untukmu, Clyte!” Aku tersenyum. Benar-benar tersenyum.
            Kami saling bertatapan. Tersenyum. Lalu sama-sama kembali diam.
            “Aku akan belajar lebih mencintaimu lebih dari apa yang kau lakukan padaku, Pemenang.” Dia tersenyum. Sangat tulus. Kali ini benar-benar tersenyum yang meneduhkan. Meluluhkan, menenangkan.
            Thanks, God! Batin saya tiba-tiba berkata.
***

            Biarkanlah aku beri ia nama ‘Dermaga Terakhir Yang Tenang’. Pemberhentian terakhir dari langkah kakiku mencari siapa ‘gagah yang menantiku’ itu. Yang selalu mendengarkan keluh-kesahku dengan tenang dan hening. Membiarkanku bercerita maupun menangis sepenuhnya, lalu memberiku waktu untuk bercerita. Memberikan bahunya yang nyaman untuk bebanku taruh. Yang selalu menungguku datang.
            Dia memang pantas kujadikan Dermaga Terakhir dalam balutan indahnya kota Lampung.
***

            Yang terakhir, jari kami menyatu dalam satu genggaman erat. Kaki kami disapu gulungan ombak yang berbuih diakhir kaki kami.
            Senja itu, menjadi senja penanda aku tidak lagi sendiri.
            Siluet mesra kami terlihat dari kejauhan.

           
           

0 comments:

Post a Comment

Feb 28, 2013

#CeritaCintaKota


Kenapa gue kasih judul #CeritaCintaKota? Karena ini cerpen yang gue ikut-sertakan lomba #CCK yang diselenggarakan oleh PlotPoint bersama @dwitasaridwita. Tapi, gue kalah. Hehehe, tapi gue gak terlalu kecewa sih, karena cerpen ini juga gue buat pas detik-detik date line-_- hahaha. Jadi, selamat menikmati guys! Semoga suka._.



Dermaga Terakhir Yang Tenang

            “Terkadang Tuhan ‘memberi’ kita ‘tamparan keras’ dengan cara mencicipi kehidupan lain dari kehidupan yang biasa kita jalani. Harta terkadang membuat kita angkuh. Melihat keatas terkadang membuat rasa syukur kita meluruh perlahan tetapi terus-menerus, hingga kita melupakan apa yang kita miliki dan selalu merasa kurang puas, lalu hidup kita hanya akan menjadi obsesi untuk menjadi yang paling atas dan memperoleh kedudukan paling tinggi. Karena selalu ada yang lebih, lebih, dan lebih dari apa yang kita punya. Dan kita selalu ingin kita lebih, lebih, dan lebih dari apa yang orang lain miliki.”
***

             Tuhan sudah memberi ‘tampolan’ itu ke saya, Dia memaksa saya untuk memandang kebawah, kehidupan yang kelamnya jauh berbeda dibanding apa yang saya rasakan selama ini.
            Saya menyesel mengapa dengan tengkaknya saya mendongakkan dagu, sedangkan untuk sedikit menundukkan kepala, saya sama sekali tidak peduli.
            Tuhan sudah mencampur-campur rasa dalam hidup saya. Hambar, pahit, manis, dan masih banyak lagi. Sampai saya nemukan titik dimana saya merasa cukup dan bersyukur. Namun, belum menemukan orang yang bisa menghilangkan rasa kesepian yang menahun dalam jiwa saya. Bukan maksudnya saya tidak mempercayai Tuhan itu ada, yang saya maksud adalah orang yang saya butuhkan, penghilang sunyi dan pemberi warna hidup saya yang masih kelabu. Mungkin hidup saya sudah memiliki banyak rasa, namun masih terlalu abu-abu untuk saya nikmati sendiri.
            Saya butuh penopang. Sandaran. Yang mampu memberi kehangatan pada hati saya yang telah lama membeku. Yang selalu dapat mencairkan mood saya. Yang dapat meluluhkan saya yang keras kepala dan egois.
            Saya ingin memiliki rasa itu… detakan jantung yang sulit sekali dikendalikan ketika bertemu dengannya, rindu ketika sedetik saja tidak melihatnya, hati yang rasanya ingin loncat-loncat ketika melihat senyum dan tawanya, senyum penuh arti ketika mengingat harum tubuhnya, dan bayangannya tersebut tidak pernah hilang dalam rekaman di otak saya; jatuh cinta.
            Kali ini, saya bertekad. Sungguh. Saya ingin merasakan getaran-getaran yang membuat saya penasaran tersebut.. ya, jatuh cinta. Saya belum pernah benar-benar membuka hati saya untuk siapapun.
            Dan disinilah saya, heaven in the world versi sendiri. Kota indah yang berkelap-kelip setiap malam dan padat di siang hari; Lampung.
***

            Senja hari ini saya memutuskan untuk pergi. Mencari kedamaian jiwa sendiri. Mengisi waktu yang tak terisi. Serta menenggelamkan diri dalam sepi.
            Laguna Beach, pikir saya cepat. Menepatkan sasaran pergi senja kali ini. Lampung memang tidak seindah kota lain di Indonesia, namun bagi saya.. Bandarlampung adalah surga saya. Pilihan saya tinggal setelah saya memutuskan untuk pindah dari Solo. Kota terpuruk untuk diri saya. Saya ingin mencari ‘angin baru’ untuk saya hirup dan menata ulang kehidupan yang sebelumnya kelam. Dan Bandarlampung memiliki cirri khasnya sendiri yang memikat saya untuk menjadi tujuan tempat saya hidup. Saya memiliki banyak firasat disini. Entah apa yang membawa saya kesini, Bandarlampung menarik perhatian saya layaknya magnet. Sejak saat saya melihat penari Bedana melanggak-lenggok dengan luwesnya di salah satu sanggar tari di Solo, saya mulai menyukai Lampung dan memutuskan untuk me-refresh hidup saya dengan menjadi penduduk tetap disini. Tepatnya di kawasan Pahoman, tengah kota Bandarlampung.
            Dengan menggunakan mobil hampir 2 jam saya mengemudi, dan akhirnya sampai.
            Disini, saya merasa rerumputan pun sangat bersahabat, batu karang yang seakan mencoba mengajak saya untuk menikmatinya, buih-buih gulungan ombak yang menyapu kaki saya hingga mata kaki. Awesome..
            Saya menemukan jiwa saya disini. Jiwa saya yang selalu beku oleh apapun, namun sebenarnya peduli.
            Saya berkeliling menyusuri bibir pantai dengan memotret sebagian keindahan yang pantai Laguna suguhkan.
***

            “Permisi tuan, bisakah anda tunjukkan dimana letak tempat menginap disini?”
            “Oh.. maaf nona, saya tidak tahu. Karena saya juga baru beberapa bulan di Lampung dan saya tidak cukup mengenal wilayah dekat sini.”
            “Tetapi bisa mengantar saya untuk mencari kostan di Bandarlampung?”
            Saya berpikir menerawang, “Tunggu, saya mempunyai beberapa kamar kosong dirumah. Dan bila anda  tidak keberatan, saya bisa menyewakan beberapa kamar tersebut untuk menjadi tempat tinggal anda sementara.”
            “Tidak, bukan sementara. Mungkin.. selamanya.”
            “Saya usahakan,” saya berkata ragu. Wanita ini sungguh tidak ragu untuk langsung menyetujui. Walaupun, saya bukanlah penjahat yang akan menjerumuskannya kedalam lubang hitam, tetapi terlalu cepat percaya kepada seseorang bukanlah hal yang terlalu baik.
            “Lalu, siapa anda? Saya Clyte.”
            “Nico..”
            “Wah! Seseorang yang selalu memenangkan persaingan.”
            “Darimana anda tahu? Maksudku, bagaimana bisa?”
            Senyum simpulnya merekah, sangat manis. “Karena nama saya juga berasal dari bahasa Yunani,” katanya.
            Mata saya berbinar mendengar perkataannya barusan, “Yang berarti..” saya berpikir, “umm.. optimis dan memiliki semangat besar untuk mendapatkan harapannya?”
            “Yap!” Dia tertawa. Cantik..
            “Hanya kebetulan menebak..”
            “How lucky you are!”
            “Baiklah jangan  terus memuji. Bagaimana kalau kita minum?”
            “Minum?”
            “Kelapa muda!”
            “Kukira kau peminum.”
            “Dulunya..”
            “Wah.. sama! Masa laluku begitu hitam.”
            “Apa bedanya denganku?”
            “Ayo kita minum!”
            “Minum?” aku mengerutkan keningku.
            “Oh tentu saja kelapa muda! Jangan bercanda.”
            “Kukira kau serius.” Aku tertawa bersamanya. How funny girl!
            Saya mengingat-ingat percakapan dan obrolan ini. Senja pertama yang saya isi bersama orang lain.
            Mulai senja hari itu, saya tidak pernah merasa sendirian. Saya merasakan, saya ditopang. Dan saya merasa seperti sandaran. Kami menyesuaikan dan saling menyempurnakan.
***

Saya selalu tetap tinggal walau merapuh
Saya selalu mencari dan saya kelelahan
Saya telah berhenti menangis namun hati saya tetap menjerit
Rindu ini meronta..
Semesta menyatukan kita
Dan, aku hanya bisa mengeja syukur sambil mencoba tersenyum
Tidak ada yang akan selamanya..
Maka, disinilah aku..
Meraihmu namun terlambat untuk bersama
Sedangkan, waktu hanya menyisakan beberapa detik untukku
Berharap, penggantiku adalah ‘aku’ yang lain diluar sana
Jangan jadikan aku yang terakhir, aku bukanlah akhir hidupmu
Namun lelaki gagah yang lainlah yang menunggumu hadir

            Saya membaca deretan kalimat puisi tersebut. Mencoba mencari terjemahan dari kalimat yang rumit dimengerti ini. “Umm.. ini apaansih?” dengan lancangnya menyodorkan kertas yang berisi kalimat-kalimat aneh tulisan tangan seseorang.
            Dia merampas kasar kertas biru muda itu dari tangan saya, wajahnya terlihat seperti berkata ‘Itu bukan urusanmu!’ “Oh, baiklah. Maafkan aku. Orang laundry menemukannya dalam saku celanamu saat ingin mencucinya. Maafkan ketidaksopananku.”
            “Tidak, Nico. Tidak apa-apa. Bukan masalah.”
            “Kau yakin?”
            “Ya. Keluarlah. Aku butuh waktu untuk sendiri.”
            “Wanita selalu begitu! Baiklah.”
            Dengan terpaksa kaki saya yang tidak ingin keluar, saya geret paksa. Ketika 5 langkah, terdengar isakan yang mengisi ruangan yang sebelumnya hening. “Ada apa?” kataku dengan panik berbalik dimana Clyte duduk menutup wajahnya yang dibanjiri air mata.
            Dia tidak menjawab. Saya dan suasana berusaha mengerti tangisan, jadi kami sunyi. Memaksa suara serak dan isakan itu mengisi seluruh ruangan.
***

            “Selamat tinggal Clyte. Hahahaha..”
            “Itu ancaman? Apa kamu udah nggak mau ketemu aku ya?”
            “Kenapa ngomongnya gitu? Kamu tuh kalo ngomong..” suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
            “Bercanda,” nada bicaraku seperti memohon maaf.
            Dia bersungut. Lalu, dengan tidak kusangka dia menggelitiki pinggangku hingga aku hampir menangis.
            “Jangan ragukan perasaan aku..”
            “Bukan begitu maksudku..”
            “Ya, aku mengerti.”
            Percakapan 3 hari sebelum dia benar-benar menterjemahkan kata ‘selamat tinggal’ itu..

            Kami dekat. Bersahabat. Sependapat. Selalu bersama. Sampai akhirnya semua itu hangus dipisahkan takdir..
            “Vino memacu kecepatan motornya hingga hampir 100km/jam. Malam yang larut itu memang lengang, hampir tidak ada kendaraan yang lewat lagi hingga Vino seakan berpikir gak akan terjadi apa-apa. Tapi dugaannya salah, ada truk dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi juga, karena itu tikungan tajam, dia nggak bisa ngendaliin sampe akhirnya dia tertabrak. Sempet koma 2 hari karena luka dalam dibagian kepala dan kaki kanannya patah dan yang kiri retak, dan sadar cuma beberapa jam, dia nyeritain semuanya dan minta maaf sekalian titip salam ke kamu. Ibu memang udah punya firasat yang janggal ketika dia pamit dan bilang ‘Bu.. Vino pergi ya..’ yang biasanya langsung pergi tanpa pamit. Dia nitipin surat gitu warna biru muda, katanya tante disuruh kasihin ke kamu, ada di lacinya.” Wanita itu terisak sambil menceritakannya. Naas. Itu informasi terakhir yang aku dapatkan pasca datang ke Lampung untuk melihat jenazah sahabat sekaligus cinta pertamanya.
            “Bu.. apa ada pesan dia yang lain?”
            Mboten enten*, nduk..” (*tidak ada)
            “Yaudah, aku ke kamarnya yo, Bu?”
            “He-eh..” Wanita paruh baya itu mengangguk.

            Suasana kamarnya sama hangatnya seperti di Jogja, tidak ada bedanya dengan kamarnya yang disini, Lampung. Harumnya. Khas Vino. Harum vanilla yang sangat lembut. Mencerminkan kepribadian Vino. Beberapa tahun lalu dia harus pindah dari sebelah rumahku di Jogja hingga beratus-ratus kilometer jauhnya dari rumahku. Ada beberapa alasan mengapa ia pindah, yang salah satunya adalah karena perceraian ibu dan ayahnya. Maka, ibu Vino memutuskan membawa Vino ketempat orang tuanya di Lampung, tepatnya di Tanggamus.
            Menulusuri seluruh sisi kamar Vino. Membuat aku benar-benar mengingat setiap lekuk wajahnya, senyumnya, tawanya, dan semuanya.
            Dengan berbekal nekad dan penasaran, aku membuka laci salah satu meja disamping tempat tidurnya. Biru muda adalah warna kesukaanku. Dia memang pengingat yang baik.
            Dengan buru-buru aku mengambilnya dan meletakkannya di sakuku. Lalu pergi keluar kamar dan langsung berpamitan pulang ke Jogja. Ini bukan tidak beralasan. Aku memang ada kuliah pagi besok.
            Air mataku meleleh sejadinya. Seperti bongkahan batu es yang dikenai panas. Memenuhi seluruh pipi hingga aku sulit bernafas.
            Didalamnya berisi kalimat yang menggambarkan kenangan kami yang sudah kenal sejak kami lahir dari perut ibu kami hingga akhirnya kami saling mencintai.
***

            Wajahnya pucat pasi menggambarkan kesedihan yang mendalam ketika menceritakan semuanya.
            Saya membisu.
            Seperti dipukul ratusan rotan secara satu per satu dibagian punggung.
            Saya memandang gemerlap malam kota Bandarlampung dari atas. Kami sedang menikmati riuhnya malam itu di McD Central Plaza. Namun riuh-rendah yang dihasilkan oleh suara-suara yang sibuk disekeliling kami tidak memecahkan hening yang menggelayuti kami.
            Kota tapis berseri ini sangat indah ketika malam, warnanya hampir gelap dan orange saja. Kecuali sinar lampu kendaraan.
            Secercah lubang seperti menganga dalam hati saya. Lubang hitam yang dalam.
            Inikah perasaan itu? Cemburu? Jatuh cinta? Jika ia, tolong berikan saya kesempatan untuk menyandarkan kepalanya yang penuh beban tersebut di bahu kosong saya yang belum sempat terisi siapapun.
            Saya kembali diam. Dengan keadaan seperti ini saya merasa jauh lebih bersyukur, ternyata beban yang saya hadapi tidaklah terlalu buruk. Orang tua saya masih utuh tetapi hanya saja mereka terlalu terlena dalam gemerlapnya surga dunia yang sangat sempit.
            Mungkin, jatuh cinta seperti seruit. Makanan khas Lampung. Rasanya bercampur aduk menjadi satu.
            Dan, sekarang aku benar-benar merasakannya…
            Dan bertekad membuat Clyte bangkit! Dia gadis yang penuh semangat.

            Kami memutuskan untuk pulang. Tetapi, saat dalam perjalanan pulang saya malah mengajaknya untuk bersantai ke tempat makan yang dekat dengan rumah kami. Diggers. Kami hanya butuh beberapa puluh langkah kaki untuk sampai ketempat yang memiliki wilayah strategis untuk mengamati indahnya kota Bandarlampung dari kejauhan.
            Tenang suasananya. Wajah Clyte masih saja muram, seperti tidak memiliki semangat.
            Saya memilih tempat duduk di bagian atas karena cahaya bulan sangat indah dipandang dari bagian atas yang saya pilih.
***

            Ditemani 2 cappucino hangat, kami berdiam diri ditemani keheningan dan suara angin yang seakan terdengar.
            Aku sangat berterimakasih Nico telah berusaha menghibur hatiku yang gundah akan ingatan yang kembali menjadi kabut hitam dalam pikiranku.

            “Nico, makasih..”
            “Untuk apa?”
            “Hiburan dadakannya dengan hening..”
            “Tidak apa, bukan masalah. Aku hanya ingin kau tahu, disini ada ‘gagah yang menantimu’ seperti apa yang dikatakan Vino. I’m here for you, don’t worry, okey?
            “Terimakasih banyak..”
            “Ini kali pertama aku begitu dekat dengan wanita yang benar-benar membuatku merasakan getaran-getaran itu.. detak jantung yang tak beraturan, rindu, tersenyum secara tiba-tiba. Terimakasih banyak juga untukmu, Clyte!” Aku tersenyum. Benar-benar tersenyum.
            Kami saling bertatapan. Tersenyum. Lalu sama-sama kembali diam.
            “Aku akan belajar lebih mencintaimu lebih dari apa yang kau lakukan padaku, Pemenang.” Dia tersenyum. Sangat tulus. Kali ini benar-benar tersenyum yang meneduhkan. Meluluhkan, menenangkan.
            Thanks, God! Batin saya tiba-tiba berkata.
***

            Biarkanlah aku beri ia nama ‘Dermaga Terakhir Yang Tenang’. Pemberhentian terakhir dari langkah kakiku mencari siapa ‘gagah yang menantiku’ itu. Yang selalu mendengarkan keluh-kesahku dengan tenang dan hening. Membiarkanku bercerita maupun menangis sepenuhnya, lalu memberiku waktu untuk bercerita. Memberikan bahunya yang nyaman untuk bebanku taruh. Yang selalu menungguku datang.
            Dia memang pantas kujadikan Dermaga Terakhir dalam balutan indahnya kota Lampung.
***

            Yang terakhir, jari kami menyatu dalam satu genggaman erat. Kaki kami disapu gulungan ombak yang berbuih diakhir kaki kami.
            Senja itu, menjadi senja penanda aku tidak lagi sendiri.
            Siluet mesra kami terlihat dari kejauhan.

           
           

No comments:

Post a Comment

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design