Kenapa gue kasih judul
#CeritaCintaKota? Karena ini cerpen yang gue ikut-sertakan lomba #CCK yang
diselenggarakan oleh PlotPoint bersama @dwitasaridwita. Tapi, gue kalah.
Hehehe, tapi gue gak terlalu kecewa sih, karena cerpen ini juga gue buat pas detik-detik
date line-_- hahaha. Jadi, selamat menikmati guys! Semoga suka._.
Dermaga Terakhir
Yang Tenang
“Terkadang
Tuhan ‘memberi’ kita ‘tamparan keras’ dengan cara mencicipi kehidupan lain dari
kehidupan yang biasa kita jalani. Harta terkadang membuat kita angkuh. Melihat
keatas terkadang membuat rasa syukur kita meluruh perlahan tetapi
terus-menerus, hingga kita melupakan apa yang kita miliki dan selalu merasa
kurang puas, lalu hidup kita hanya akan menjadi obsesi untuk menjadi yang
paling atas dan memperoleh kedudukan paling tinggi. Karena selalu ada yang
lebih, lebih, dan lebih dari apa yang kita punya. Dan kita selalu ingin kita
lebih, lebih, dan lebih dari apa yang orang lain miliki.”
***
Tuhan sudah memberi ‘tampolan’ itu ke saya,
Dia memaksa saya untuk memandang kebawah, kehidupan yang kelamnya jauh berbeda
dibanding apa yang saya rasakan selama ini.
Saya
menyesel mengapa dengan tengkaknya saya mendongakkan dagu, sedangkan untuk
sedikit menundukkan kepala, saya sama sekali tidak peduli.
Tuhan
sudah mencampur-campur rasa dalam hidup saya. Hambar, pahit, manis, dan masih
banyak lagi. Sampai saya nemukan titik dimana saya merasa cukup dan bersyukur.
Namun, belum menemukan orang yang bisa menghilangkan rasa kesepian yang menahun
dalam jiwa saya. Bukan maksudnya saya tidak mempercayai Tuhan itu ada, yang
saya maksud adalah orang yang saya butuhkan, penghilang sunyi dan pemberi warna
hidup saya yang masih kelabu. Mungkin hidup saya sudah memiliki banyak rasa,
namun masih terlalu abu-abu untuk saya nikmati sendiri.
Saya
butuh penopang. Sandaran. Yang mampu memberi kehangatan pada hati saya yang
telah lama membeku. Yang selalu dapat mencairkan mood saya. Yang dapat meluluhkan saya yang keras kepala dan egois.
Saya
ingin memiliki rasa itu… detakan jantung yang sulit sekali dikendalikan ketika
bertemu dengannya, rindu ketika sedetik saja tidak melihatnya, hati yang
rasanya ingin loncat-loncat ketika melihat senyum dan tawanya, senyum penuh
arti ketika mengingat harum tubuhnya, dan bayangannya tersebut tidak pernah
hilang dalam rekaman di otak saya; jatuh cinta.
Kali
ini, saya bertekad. Sungguh. Saya ingin merasakan getaran-getaran yang membuat
saya penasaran tersebut.. ya, jatuh cinta. Saya belum pernah benar-benar
membuka hati saya untuk siapapun.
Dan
disinilah saya, heaven in the world
versi sendiri. Kota indah yang berkelap-kelip setiap malam dan padat di siang
hari; Lampung.
***
Senja
hari ini saya memutuskan untuk pergi. Mencari kedamaian jiwa sendiri. Mengisi
waktu yang tak terisi. Serta menenggelamkan diri dalam sepi.
Laguna Beach, pikir saya cepat.
Menepatkan sasaran pergi senja kali ini. Lampung memang tidak seindah kota lain
di Indonesia, namun bagi saya.. Bandarlampung adalah surga saya. Pilihan saya
tinggal setelah saya memutuskan untuk pindah dari Solo. Kota terpuruk untuk
diri saya. Saya ingin mencari ‘angin baru’ untuk saya hirup dan menata ulang
kehidupan yang sebelumnya kelam. Dan Bandarlampung memiliki cirri khasnya
sendiri yang memikat saya untuk menjadi tujuan tempat saya hidup. Saya memiliki
banyak firasat disini. Entah apa yang membawa saya kesini, Bandarlampung
menarik perhatian saya layaknya magnet. Sejak saat saya melihat penari Bedana
melanggak-lenggok dengan luwesnya di salah satu sanggar tari di Solo, saya
mulai menyukai Lampung dan memutuskan untuk me-refresh hidup saya dengan
menjadi penduduk tetap disini. Tepatnya di kawasan Pahoman, tengah kota
Bandarlampung.
Dengan
menggunakan mobil hampir 2 jam saya mengemudi, dan akhirnya sampai.
Disini,
saya merasa rerumputan pun sangat bersahabat, batu karang yang seakan mencoba
mengajak saya untuk menikmatinya, buih-buih gulungan ombak yang menyapu kaki
saya hingga mata kaki. Awesome..
Saya menemukan jiwa saya disini.
Jiwa saya yang selalu beku oleh apapun, namun sebenarnya peduli.
Saya
berkeliling menyusuri bibir pantai dengan memotret sebagian keindahan yang
pantai Laguna suguhkan.
***
“Permisi tuan, bisakah anda tunjukkan dimana
letak tempat menginap disini?”
“Oh.. maaf nona, saya tidak tahu.
Karena saya juga baru beberapa bulan di Lampung dan saya tidak cukup mengenal
wilayah dekat sini.”
“Tetapi bisa mengantar saya untuk
mencari kostan di Bandarlampung?”
Saya berpikir menerawang, “Tunggu,
saya mempunyai beberapa kamar kosong dirumah. Dan bila anda tidak keberatan, saya bisa menyewakan
beberapa kamar tersebut untuk menjadi tempat tinggal anda sementara.”
“Tidak, bukan sementara. Mungkin..
selamanya.”
“Saya usahakan,” saya berkata ragu.
Wanita ini sungguh tidak ragu untuk langsung menyetujui. Walaupun, saya bukanlah
penjahat yang akan menjerumuskannya kedalam lubang hitam, tetapi terlalu cepat
percaya kepada seseorang bukanlah hal yang terlalu baik.
“Lalu, siapa anda? Saya Clyte.”
“Nico..”
“Wah! Seseorang yang selalu
memenangkan persaingan.”
“Darimana anda tahu? Maksudku,
bagaimana bisa?”
Senyum simpulnya merekah, sangat
manis. “Karena nama saya juga berasal dari bahasa Yunani,” katanya.
Mata saya berbinar mendengar
perkataannya barusan, “Yang berarti..” saya berpikir, “umm.. optimis dan
memiliki semangat besar untuk mendapatkan harapannya?”
“Yap!” Dia tertawa. Cantik..
“Hanya kebetulan menebak..”
“How lucky you are!”
“Baiklah jangan terus memuji. Bagaimana kalau kita minum?”
“Minum?”
“Kelapa muda!”
“Kukira kau peminum.”
“Dulunya..”
“Wah.. sama! Masa laluku begitu
hitam.”
“Apa bedanya denganku?”
“Ayo kita minum!”
“Minum?” aku mengerutkan keningku.
“Oh tentu saja kelapa muda! Jangan
bercanda.”
“Kukira kau serius.” Aku tertawa
bersamanya. How funny girl!
Saya
mengingat-ingat percakapan dan obrolan ini. Senja pertama yang saya isi bersama
orang lain.
Mulai
senja hari itu, saya tidak pernah merasa sendirian. Saya merasakan, saya
ditopang. Dan saya merasa seperti sandaran. Kami menyesuaikan dan saling menyempurnakan.
***
Saya selalu tetap tinggal walau merapuh
Saya selalu mencari dan saya kelelahan
Saya telah berhenti menangis namun hati saya tetap
menjerit
Rindu ini meronta..
Semesta menyatukan kita
Dan, aku hanya bisa mengeja syukur sambil mencoba
tersenyum
Tidak ada yang akan selamanya..
Maka, disinilah aku..
Meraihmu namun terlambat untuk bersama
Sedangkan, waktu hanya menyisakan beberapa detik
untukku
Berharap, penggantiku adalah ‘aku’ yang lain diluar
sana
Jangan jadikan aku yang terakhir, aku bukanlah akhir
hidupmu
Namun lelaki gagah yang lainlah yang menunggumu
hadir
Saya
membaca deretan kalimat puisi tersebut. Mencoba mencari terjemahan dari kalimat
yang rumit dimengerti ini. “Umm.. ini apaansih?” dengan lancangnya menyodorkan
kertas yang berisi kalimat-kalimat aneh tulisan tangan seseorang.
Dia
merampas kasar kertas biru muda itu dari tangan saya, wajahnya terlihat seperti
berkata ‘Itu bukan urusanmu!’ “Oh, baiklah. Maafkan aku. Orang laundry
menemukannya dalam saku celanamu saat ingin mencucinya. Maafkan
ketidaksopananku.”
“Tidak,
Nico. Tidak apa-apa. Bukan masalah.”
“Kau
yakin?”
“Ya.
Keluarlah. Aku butuh waktu untuk sendiri.”
“Wanita
selalu begitu! Baiklah.”
Dengan
terpaksa kaki saya yang tidak ingin keluar, saya geret paksa. Ketika 5 langkah,
terdengar isakan yang mengisi ruangan yang sebelumnya hening. “Ada apa?” kataku
dengan panik berbalik dimana Clyte duduk menutup wajahnya yang dibanjiri air
mata.
Dia
tidak menjawab. Saya dan suasana berusaha mengerti tangisan, jadi kami sunyi.
Memaksa suara serak dan isakan itu mengisi seluruh ruangan.
***
“Selamat tinggal Clyte. Hahahaha..”
“Itu ancaman? Apa kamu udah nggak
mau ketemu aku ya?”
“Kenapa ngomongnya gitu? Kamu tuh
kalo ngomong..” suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
“Bercanda,” nada bicaraku seperti
memohon maaf.
Dia bersungut. Lalu, dengan tidak
kusangka dia menggelitiki pinggangku hingga aku hampir menangis.
“Jangan ragukan perasaan aku..”
“Bukan begitu maksudku..”
“Ya, aku mengerti.”
Percakapan 3 hari sebelum dia
benar-benar menterjemahkan kata ‘selamat tinggal’ itu..
Kami dekat. Bersahabat. Sependapat.
Selalu bersama. Sampai akhirnya semua itu hangus dipisahkan takdir..
“Vino memacu kecepatan motornya
hingga hampir 100km/jam. Malam yang larut itu memang lengang, hampir tidak ada
kendaraan yang lewat lagi hingga Vino seakan berpikir gak akan terjadi apa-apa.
Tapi dugaannya salah, ada truk dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi
juga, karena itu tikungan tajam, dia nggak bisa ngendaliin sampe akhirnya dia
tertabrak. Sempet koma 2 hari karena luka dalam dibagian kepala dan kaki
kanannya patah dan yang kiri retak, dan sadar cuma beberapa jam, dia nyeritain
semuanya dan minta maaf sekalian titip salam ke kamu. Ibu memang udah punya
firasat yang janggal ketika dia pamit dan bilang ‘Bu.. Vino pergi ya..’ yang
biasanya langsung pergi tanpa pamit. Dia nitipin surat gitu warna biru muda,
katanya tante disuruh kasihin ke kamu, ada di lacinya.” Wanita itu terisak
sambil menceritakannya. Naas. Itu informasi terakhir yang aku dapatkan pasca
datang ke Lampung untuk melihat jenazah sahabat sekaligus cinta pertamanya.
“Bu.. apa ada pesan dia yang lain?”
“Mboten enten*, nduk..” (*tidak ada)
“Yaudah, aku ke kamarnya yo, Bu?”
“He-eh..” Wanita paruh baya itu
mengangguk.
Suasana kamarnya sama hangatnya
seperti di Jogja, tidak ada bedanya dengan kamarnya yang disini, Lampung.
Harumnya. Khas Vino. Harum vanilla yang sangat lembut. Mencerminkan kepribadian
Vino. Beberapa tahun lalu dia harus pindah dari sebelah rumahku di Jogja hingga
beratus-ratus kilometer jauhnya dari rumahku. Ada beberapa alasan mengapa ia
pindah, yang salah satunya adalah karena perceraian ibu dan ayahnya. Maka, ibu
Vino memutuskan membawa Vino ketempat orang tuanya di Lampung, tepatnya di
Tanggamus.
Menulusuri seluruh sisi kamar Vino.
Membuat aku benar-benar mengingat setiap lekuk wajahnya, senyumnya, tawanya,
dan semuanya.
Dengan berbekal nekad dan penasaran,
aku membuka laci salah satu meja disamping tempat tidurnya. Biru muda adalah
warna kesukaanku. Dia memang pengingat yang baik.
Dengan buru-buru aku mengambilnya
dan meletakkannya di sakuku. Lalu pergi keluar kamar dan langsung berpamitan
pulang ke Jogja. Ini bukan tidak beralasan. Aku memang ada kuliah pagi besok.
Air mataku meleleh sejadinya.
Seperti bongkahan batu es yang dikenai panas. Memenuhi seluruh pipi hingga aku
sulit bernafas.
Didalamnya berisi kalimat yang
menggambarkan kenangan kami yang sudah kenal sejak kami lahir dari perut ibu
kami hingga akhirnya kami saling mencintai.
***
Wajahnya
pucat pasi menggambarkan kesedihan yang mendalam ketika menceritakan semuanya.
Saya
membisu.
Seperti
dipukul ratusan rotan secara satu per satu dibagian punggung.
Saya
memandang gemerlap malam kota Bandarlampung dari atas. Kami sedang menikmati
riuhnya malam itu di McD Central Plaza. Namun riuh-rendah yang dihasilkan oleh
suara-suara yang sibuk disekeliling kami tidak memecahkan hening yang
menggelayuti kami.
Kota
tapis berseri ini sangat indah ketika malam, warnanya hampir gelap dan orange
saja. Kecuali sinar lampu kendaraan.
Secercah
lubang seperti menganga dalam hati saya. Lubang hitam yang dalam.
Inikah
perasaan itu? Cemburu? Jatuh cinta? Jika ia, tolong berikan saya kesempatan
untuk menyandarkan kepalanya yang penuh beban tersebut di bahu kosong saya yang
belum sempat terisi siapapun.
Saya
kembali diam. Dengan keadaan seperti ini saya merasa jauh lebih bersyukur,
ternyata beban yang saya hadapi tidaklah terlalu buruk. Orang tua saya masih
utuh tetapi hanya saja mereka terlalu terlena dalam gemerlapnya surga dunia
yang sangat sempit.
Mungkin,
jatuh cinta seperti seruit. Makanan khas Lampung. Rasanya bercampur aduk
menjadi satu.
Dan,
sekarang aku benar-benar merasakannya…
Dan
bertekad membuat Clyte bangkit! Dia gadis yang penuh semangat.
Kami
memutuskan untuk pulang. Tetapi, saat dalam perjalanan pulang saya malah
mengajaknya untuk bersantai ke tempat makan yang dekat dengan rumah kami.
Diggers. Kami hanya butuh beberapa puluh langkah kaki untuk sampai ketempat
yang memiliki wilayah strategis untuk mengamati indahnya kota Bandarlampung
dari kejauhan.
Tenang
suasananya. Wajah Clyte masih saja muram, seperti tidak memiliki semangat.
Saya
memilih tempat duduk di bagian atas karena cahaya bulan sangat indah dipandang
dari bagian atas yang saya pilih.
***
Ditemani
2 cappucino hangat, kami berdiam diri ditemani keheningan dan suara angin yang
seakan terdengar.
Aku
sangat berterimakasih Nico telah berusaha menghibur hatiku yang gundah akan
ingatan yang kembali menjadi kabut hitam dalam pikiranku.
“Nico,
makasih..”
“Untuk
apa?”
“Hiburan
dadakannya dengan hening..”
“Tidak
apa, bukan masalah. Aku hanya ingin kau tahu, disini ada ‘gagah yang menantimu’
seperti apa yang dikatakan Vino. I’m here
for you, don’t worry, okey?”
“Terimakasih
banyak..”
“Ini
kali pertama aku begitu dekat dengan wanita yang benar-benar membuatku
merasakan getaran-getaran itu.. detak jantung yang tak beraturan, rindu,
tersenyum secara tiba-tiba. Terimakasih banyak juga untukmu, Clyte!” Aku
tersenyum. Benar-benar tersenyum.
Kami
saling bertatapan. Tersenyum. Lalu sama-sama kembali diam.
“Aku
akan belajar lebih mencintaimu lebih dari apa yang kau lakukan padaku,
Pemenang.” Dia tersenyum. Sangat tulus. Kali ini benar-benar tersenyum yang
meneduhkan. Meluluhkan, menenangkan.
Thanks, God! Batin saya tiba-tiba
berkata.
***
Biarkanlah
aku beri ia nama ‘Dermaga Terakhir Yang Tenang’. Pemberhentian terakhir dari
langkah kakiku mencari siapa ‘gagah yang menantiku’ itu. Yang selalu
mendengarkan keluh-kesahku dengan tenang dan hening. Membiarkanku bercerita
maupun menangis sepenuhnya, lalu memberiku waktu untuk bercerita. Memberikan
bahunya yang nyaman untuk bebanku taruh. Yang selalu menungguku datang.
Dia
memang pantas kujadikan Dermaga Terakhir dalam balutan indahnya kota Lampung.
***
Yang
terakhir, jari kami menyatu dalam satu genggaman erat. Kaki kami disapu
gulungan ombak yang berbuih diakhir kaki kami.
Senja
itu, menjadi senja penanda aku tidak lagi sendiri.
Siluet
mesra kami terlihat dari kejauhan.
0 comments:
Post a Comment