Suara itu bergetar oleh suatu asa dan kesia-siaan.
Kebahagiaan juga kepedihan. Penuh dengan kasih kepada kehidupan tetapi diiringi
dengan matanya yang menarik nafas panjang. Lantas ia mendesah. Dan berujar, “Sang
Surya telah mencapai tepian ngarai nan jauh di sana. Diri kita harus segera
pergi kea rah sang mentari guna menyongsongnya.” Bibirnya agak ternganga.
Layaknya sebuah luka yang terbuka di dalam dasar hatinya. Dan penderitaan yang
bergema di sekitarnya.
Ketika itu sang imam datang kea rah pembaringannya
lantas meraba pergelangan tangannya. Lengan itu dirasainya tak jauh berbeda
dengan dinginnya salju. Pada waktu ia dengan hati yang mantap meletakkan
jari-jarinya di atas jantung wanita di sampingnya, sang pendeta menarik
kesimpulan bahwa jantung itu telah berhenti berdenyut. Jantung itu diam
layaknya masa-masa yang telah lalu. Terdiam bisu seperti semua misteri yang
tersimpan di relung jiwanya.
Imam itu menundukkan wajahnya dalam kegelisahan yang
amat mendalam. Bibirnya tergetar. Seakan ia hendak mengatakan sebuah firman
Tuhan. Firman yang alunannya disenandungkan oleh baying-bayang kelam malam.
Lantas mencapai pada ngarai-ngarai yang dalam. Jauh dan terasing. Lantas kedua
lengan wanita itu disilangkannya di atas dada. Sang imam pun kemudian
memalingkan wajahnya kepada seorang lelaki yang tengah duduk di sudut kamar.
Jauh dari lengkungan pandangan. Dengan suaranya yang lembut dan penuh dengan
rasa belas kasih, imam itu berkata, “Pujaan hatimu kini telah tiba pada sebuah
lingkaran Sinar Agung. Marilah, saudaraku, mari kita bersimpuh dan mengirimkan
doa.”
Lelaki yang tengah diselimuti oleh perih sebab rasa
kehilangan itu menengadahkan wajahnya kea rah langit. Matanya nanar. Pancaran
sinar matanya menembus semua yang tidak tampak. Lantas raut mukanya yang bias
mulai berubah. Seakan ia telah menangkan seberkas baying pengertian dari Tuhan
yang dipenuhi oleh misteri. Lantas ia membenahi dirinya sendiri yang telah
remuk redam. Ia pun menjejakkan kakinya dengan kekhusyukan di sisi pembaringan
sang isteri. Lantas ia pun bersimpuh di samping pendeta yang tengah
menghaturkan doa sambil membuat tanda silang di dada.
Pendeta itu pun berbicara penuh dengan ketenangan
seraya meletakkan tangan di atas bahu lelaki yang tengah terpukul teramat
parah. “Saat ini dirimu memerlukan sebuah ketenangan, maka beristirahatlah,
Saudaraku. Rebahkanlah dirimu di ranjang pada bilik sebelah.”
Lelaki itu pun bangun. Berdiri dan berjalan menuruti
perkataan pendeta. Ia menuju kea rah kamar dan merebahkan dirinya yang amat
lelah di atas pembaringan sempit. Setelah beberapa lama ia telah terbuai dan
terlelap, terbawa ke alam bawah sadar. Bagaikan seorang anak kecil yang ingin
menemui sebuah tempat untuk berlindung dalam rengkuhan ibunda yang sangat
menyayanginya.
Sang Pendeta masih tegak bagaikan sebuah batu tugu
di tengah kamar. Dan pada saat itu sebuah pertarungan aneh terjadi dalam
hatinya. Sungguh mencekam. Matanya sudah tergenang oleh linangan air mata.
Lantas ia menatap secara bergantian. Mula-mula dilihatnya sesosok jenazah
wanita muda yang terbujur kaku di atas ranjang. Kemudian beralih kea rah sang
suami yang tengah tergolek lunglai terlihat dari celah tirai. Enam puluh menit
telah berlalu. Waktu yang dirasainya demikian berjalan dengan lambat. Lebih
lama dari satu abad dan lebih menakutkan dari pada sebuah ajal. Pendeta itu
masih saja berdiri di tempatnya semula. Tegak di antara dua jiwa yang terlah
berpisah. Jiwa yang pertama tengah terbang ke dunia mimpi. Menjumpai sebuah
sawah yang tengah bermimpi menjumpai musim semi yang akan datang. Setelah ia
mengalami derita dan sengsara di musim dingin. Sedangkan jiwa yang lain tengah
terlelap dalam tidurnya yang teramat panjang.
Lantas pendeta itu mendekati jenazah wanita muda
itu. Ia pun bersimpuh seakan hendak memanjatkan doa di hadapan balairung suci.
Ia meraih jari jemari tubuh yang telah kaku itu dan kemudian ditempelkannya
sesaat pada bibirnya yang bergetar. Pendeta itu kemudian menatap raut muka
wanita yang telah berselimutkan oleh Kematian. Suaranya yang demikian tenang
layaknya suasana malam. Tapi juga demikian dalam bagaikan palung laut yang
penuh dengan gelora, sarat dengan rasa resah. Tapi juga menyiratkan sinar asa
seorang manusia. Maka keluarlah isak tangisnya yang disertai dengan tatapan,
“Oh, Ella, pengantin hatiku. Dengarkan setiap perkataanku ini! Pada ujung dari
ceritaku, akhirnya diriku mampu mengungkapkannya! Ketika ajal telah menjemput,
akhirnya mulutku yang dulu terkunci dengan rapat kini terbuka sehingga diriku
mampu berkata-kata kepada dirimu mengenai sebuah rahasia. Rahasia yang telah
lama kupendam dalam-dalam. Lebih dalam dari pada Kehidupan. Rasa perih yang tak
terkirakan telah melemparkan hujaman pada lidahku ini. Maka diriku pun akhirnya
mampu menguraikan segala derita dan sengsara yang kurasa lebih sakit daripada
luka merah darah dari jantung yang jatuh menetes. Maka diriku memohon,
dengarkanlah ratapan jiwaku, oh Dewata, yang sekarang telah melayang di antara
langit dan bumi. Palingkanlah wajahmu kepada orang muda yang senantiasa
menantimu pulang dari lading dengan penuh kesetiaan. Yang senantiasa menatapmu
dari kejauhan, dari balik ilalang dan rimbunnya pepohonan. Menyembunyikan
dirinya sebab merasa takut tatkala menatap elok dan cantiknya parasmu. Maka
dengarkanlah pendeta ini, abdi Tuhan, yang tengah menyeru kepada dirimu tanpa
mengindahkan rasa malu. Sesudah engkau menggapai pada haribaan Tuhan. Diriku
telah memberikan bukti betapa hebatnya daya cintaku, dengan menyembuhkannya!”
Sesudah mengungkapkan seluruh isi hatinya, Pendeta
itu lantas membungkukkan dirinya. Lantas menjatuhkan tiga buah ciuman teramat
dalam, panjang dan bisu. Pada kening. Pada pelupuk mata. Serta pada leher
wanita yang dicintainya. Ia mencurahkan seluruh rahasia hatinya. Mengenai cinta
dan deritanya. Juga rasa perih oleh penyiksaan pada setiap masa-masa yang telah
lalu. Lantas secara tiba-tiba ia menarik dirinya menuju pojok ruangan. Jauh
dari pandangan. Terlindung oleh bayangan. Ia terhenyak. Ia lumpuh. Ia bersimpuh
di atas lantai. Ia menggigil layaknya Musim Gugur. Seakan belaian dingin wajah
wanita yang dicintainya tadi telah membangkitkan ruhnya untuk segera memohon
ampunan Tuhan. Lantas ia berusaha memperbaiki dirinya dan berlutut. Ia pun
berbisik dengan lembut.
“Ya, Tuhan, Maafkan segala dosa yang telah hamba
perbuat. Ampunilah segala kelemahan diriku, Ya Tuhan. Hamba hanyalah seorang
manusia biasa yang tiada memiliki kuasa guna menyimpan dengan rapat semua
rahasia yang telah Engkau ketahui sekian lama. Tujuh tahun, Tuhan, hamba telah
menguncinya dalam-dalam jauh di palung hati. Di balik terali-terali besi tembok
hati. Mencegahnya supaya tidak terungkapkan dalam perkataan dan perbuatan.
Hingga ajal menjelang dan mencabik kokohnya benteng yang telah hamba bangun,
Tuhan. Maka tolonglah diriku, Ya Tuhan. Dan sembunyikanlah masa lalu yang indah
tak terkira itu. yang membahagiakan senandung merdu dan syahdu. Tapi
mengalunkan empedu yang teramat pahit dari-Mu. Maafkanlah diriku, Tuhan.
Ampunilah semua ketidakberdayaanku ini.”
Pendeta itu masih terus meratap dan merintih tenpa
memalingkan wajahnya kembali kea rah jenazah wanita muda di pembaringannya. Ia
terus didera penderitaan hingga akhirnya sang fajar tiba. Titik-titiknya
menebarkan kabut lembut merah jambu di atas dua orang manusia yang tidak lagi
mampu bergerak. Menyampaikan pesan mengenai peperangan di antara Agama dan
Cinta pada diri seorang manusia. Juga perdamaian dalam Hidup yang satu,
sedangkan kematian pada yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment