Jun 29, 2013

Di Jantung Malam—karya Kahlil Gibran

Ella tersadar di jantung malam dan pancaran matanya nanar menatap sesuatu yang tidak kelihatan pada langit-langit kamarnya. Ia mendengar sebuah alunan suara yang lebih memberikan ketenangan kepada jiwanya daripada bisikan-bisikan Kehidupan. Suara itu juga terdengar lebih sendu daripada isakan keluh ngarai nan dalam. Juga jauh lebih lembut daripada gemerisik sayap-sayap putih. Dan jauh lebih dalam dari pada amukan derai ombak di lautan.
Suara itu bergetar oleh suatu asa dan kesia-siaan. Kebahagiaan juga kepedihan. Penuh dengan kasih kepada kehidupan tetapi diiringi dengan matanya yang menarik nafas panjang. Lantas ia mendesah. Dan berujar, “Sang Surya telah mencapai tepian ngarai nan jauh di sana. Diri kita harus segera pergi kea rah sang mentari guna menyongsongnya.” Bibirnya agak ternganga. Layaknya sebuah luka yang terbuka di dalam dasar hatinya. Dan penderitaan yang bergema di sekitarnya.
Ketika itu sang imam datang kea rah pembaringannya lantas meraba pergelangan tangannya. Lengan itu dirasainya tak jauh berbeda dengan dinginnya salju. Pada waktu ia dengan hati yang mantap meletakkan jari-jarinya di atas jantung wanita di sampingnya, sang pendeta menarik kesimpulan bahwa jantung itu telah berhenti berdenyut. Jantung itu diam layaknya masa-masa yang telah lalu. Terdiam bisu seperti semua misteri yang tersimpan di relung jiwanya.
Imam itu menundukkan wajahnya dalam kegelisahan yang amat mendalam. Bibirnya tergetar. Seakan ia hendak mengatakan sebuah firman Tuhan. Firman yang alunannya disenandungkan oleh baying-bayang kelam malam. Lantas mencapai pada ngarai-ngarai yang dalam. Jauh dan terasing. Lantas kedua lengan wanita itu disilangkannya di atas dada. Sang imam pun kemudian memalingkan wajahnya kepada seorang lelaki yang tengah duduk di sudut kamar. Jauh dari lengkungan pandangan. Dengan suaranya yang lembut dan penuh dengan rasa belas kasih, imam itu berkata, “Pujaan hatimu kini telah tiba pada sebuah lingkaran Sinar Agung. Marilah, saudaraku, mari kita bersimpuh dan mengirimkan doa.”
Lelaki yang tengah diselimuti oleh perih sebab rasa kehilangan itu menengadahkan wajahnya kea rah langit. Matanya nanar. Pancaran sinar matanya menembus semua yang tidak tampak. Lantas raut mukanya yang bias mulai berubah. Seakan ia telah menangkan seberkas baying pengertian dari Tuhan yang dipenuhi oleh misteri. Lantas ia membenahi dirinya sendiri yang telah remuk redam. Ia pun menjejakkan kakinya dengan kekhusyukan di sisi pembaringan sang isteri. Lantas ia pun bersimpuh di samping pendeta yang tengah menghaturkan doa sambil membuat tanda silang di dada.
Pendeta itu pun berbicara penuh dengan ketenangan seraya meletakkan tangan di atas bahu lelaki yang tengah terpukul teramat parah. “Saat ini dirimu memerlukan sebuah ketenangan, maka beristirahatlah, Saudaraku. Rebahkanlah dirimu di ranjang pada bilik sebelah.”
Lelaki itu pun bangun. Berdiri dan berjalan menuruti perkataan pendeta. Ia menuju kea rah kamar dan merebahkan dirinya yang amat lelah di atas pembaringan sempit. Setelah beberapa lama ia telah terbuai dan terlelap, terbawa ke alam bawah sadar. Bagaikan seorang anak kecil yang ingin menemui sebuah tempat untuk berlindung dalam rengkuhan ibunda yang sangat menyayanginya.
Sang Pendeta masih tegak bagaikan sebuah batu tugu di tengah kamar. Dan pada saat itu sebuah pertarungan aneh terjadi dalam hatinya. Sungguh mencekam. Matanya sudah tergenang oleh linangan air mata. Lantas ia menatap secara bergantian. Mula-mula dilihatnya sesosok jenazah wanita muda yang terbujur kaku di atas ranjang. Kemudian beralih kea rah sang suami yang tengah tergolek lunglai terlihat dari celah tirai. Enam puluh menit telah berlalu. Waktu yang dirasainya demikian berjalan dengan lambat. Lebih lama dari satu abad dan lebih menakutkan dari pada sebuah ajal. Pendeta itu masih saja berdiri di tempatnya semula. Tegak di antara dua jiwa yang terlah berpisah. Jiwa yang pertama tengah terbang ke dunia mimpi. Menjumpai sebuah sawah yang tengah bermimpi menjumpai musim semi yang akan datang. Setelah ia mengalami derita dan sengsara di musim dingin. Sedangkan jiwa yang lain tengah terlelap dalam tidurnya yang teramat panjang.
Lantas pendeta itu mendekati jenazah wanita muda itu. Ia pun bersimpuh seakan hendak memanjatkan doa di hadapan balairung suci. Ia meraih jari jemari tubuh yang telah kaku itu dan kemudian ditempelkannya sesaat pada bibirnya yang bergetar. Pendeta itu kemudian menatap raut muka wanita yang telah berselimutkan oleh Kematian. Suaranya yang demikian tenang layaknya suasana malam. Tapi juga demikian dalam bagaikan palung laut yang penuh dengan gelora, sarat dengan rasa resah. Tapi juga menyiratkan sinar asa seorang manusia. Maka keluarlah isak tangisnya yang disertai dengan tatapan, “Oh, Ella, pengantin hatiku. Dengarkan setiap perkataanku ini! Pada ujung dari ceritaku, akhirnya diriku mampu mengungkapkannya! Ketika ajal telah menjemput, akhirnya mulutku yang dulu terkunci dengan rapat kini terbuka sehingga diriku mampu berkata-kata kepada dirimu mengenai sebuah rahasia. Rahasia yang telah lama kupendam dalam-dalam. Lebih dalam dari pada Kehidupan. Rasa perih yang tak terkirakan telah melemparkan hujaman pada lidahku ini. Maka diriku pun akhirnya mampu menguraikan segala derita dan sengsara yang kurasa lebih sakit daripada luka merah darah dari jantung yang jatuh menetes. Maka diriku memohon, dengarkanlah ratapan jiwaku, oh Dewata, yang sekarang telah melayang di antara langit dan bumi. Palingkanlah wajahmu kepada orang muda yang senantiasa menantimu pulang dari lading dengan penuh kesetiaan. Yang senantiasa menatapmu dari kejauhan, dari balik ilalang dan rimbunnya pepohonan. Menyembunyikan dirinya sebab merasa takut tatkala menatap elok dan cantiknya parasmu. Maka dengarkanlah pendeta ini, abdi Tuhan, yang tengah menyeru kepada dirimu tanpa mengindahkan rasa malu. Sesudah engkau menggapai pada haribaan Tuhan. Diriku telah memberikan bukti betapa hebatnya daya cintaku, dengan menyembuhkannya!”
Sesudah mengungkapkan seluruh isi hatinya, Pendeta itu lantas membungkukkan dirinya. Lantas menjatuhkan tiga buah ciuman teramat dalam, panjang dan bisu. Pada kening. Pada pelupuk mata. Serta pada leher wanita yang dicintainya. Ia mencurahkan seluruh rahasia hatinya. Mengenai cinta dan deritanya. Juga rasa perih oleh penyiksaan pada setiap masa-masa yang telah lalu. Lantas secara tiba-tiba ia menarik dirinya menuju pojok ruangan. Jauh dari pandangan. Terlindung oleh bayangan. Ia terhenyak. Ia lumpuh. Ia bersimpuh di atas lantai. Ia menggigil layaknya Musim Gugur. Seakan belaian dingin wajah wanita yang dicintainya tadi telah membangkitkan ruhnya untuk segera memohon ampunan Tuhan. Lantas ia berusaha memperbaiki dirinya dan berlutut. Ia pun berbisik dengan lembut.
“Ya, Tuhan, Maafkan segala dosa yang telah hamba perbuat. Ampunilah segala kelemahan diriku, Ya Tuhan. Hamba hanyalah seorang manusia biasa yang tiada memiliki kuasa guna menyimpan dengan rapat semua rahasia yang telah Engkau ketahui sekian lama. Tujuh tahun, Tuhan, hamba telah menguncinya dalam-dalam jauh di palung hati. Di balik terali-terali besi tembok hati. Mencegahnya supaya tidak terungkapkan dalam perkataan dan perbuatan. Hingga ajal menjelang dan mencabik kokohnya benteng yang telah hamba bangun, Tuhan. Maka tolonglah diriku, Ya Tuhan. Dan sembunyikanlah masa lalu yang indah tak terkira itu. yang membahagiakan senandung merdu dan syahdu. Tapi mengalunkan empedu yang teramat pahit dari-Mu. Maafkanlah diriku, Tuhan. Ampunilah semua ketidakberdayaanku ini.”
Pendeta itu masih terus meratap dan merintih tenpa memalingkan wajahnya kembali kea rah jenazah wanita muda di pembaringannya. Ia terus didera penderitaan hingga akhirnya sang fajar tiba. Titik-titiknya menebarkan kabut lembut merah jambu di atas dua orang manusia yang tidak lagi mampu bergerak. Menyampaikan pesan mengenai peperangan di antara Agama dan Cinta pada diri seorang manusia. Juga perdamaian dalam Hidup yang satu, sedangkan kematian pada yang lainnya.

0 comments:

Post a Comment

Jun 29, 2013

Di Jantung Malam—karya Kahlil Gibran

Ella tersadar di jantung malam dan pancaran matanya nanar menatap sesuatu yang tidak kelihatan pada langit-langit kamarnya. Ia mendengar sebuah alunan suara yang lebih memberikan ketenangan kepada jiwanya daripada bisikan-bisikan Kehidupan. Suara itu juga terdengar lebih sendu daripada isakan keluh ngarai nan dalam. Juga jauh lebih lembut daripada gemerisik sayap-sayap putih. Dan jauh lebih dalam dari pada amukan derai ombak di lautan.
Suara itu bergetar oleh suatu asa dan kesia-siaan. Kebahagiaan juga kepedihan. Penuh dengan kasih kepada kehidupan tetapi diiringi dengan matanya yang menarik nafas panjang. Lantas ia mendesah. Dan berujar, “Sang Surya telah mencapai tepian ngarai nan jauh di sana. Diri kita harus segera pergi kea rah sang mentari guna menyongsongnya.” Bibirnya agak ternganga. Layaknya sebuah luka yang terbuka di dalam dasar hatinya. Dan penderitaan yang bergema di sekitarnya.
Ketika itu sang imam datang kea rah pembaringannya lantas meraba pergelangan tangannya. Lengan itu dirasainya tak jauh berbeda dengan dinginnya salju. Pada waktu ia dengan hati yang mantap meletakkan jari-jarinya di atas jantung wanita di sampingnya, sang pendeta menarik kesimpulan bahwa jantung itu telah berhenti berdenyut. Jantung itu diam layaknya masa-masa yang telah lalu. Terdiam bisu seperti semua misteri yang tersimpan di relung jiwanya.
Imam itu menundukkan wajahnya dalam kegelisahan yang amat mendalam. Bibirnya tergetar. Seakan ia hendak mengatakan sebuah firman Tuhan. Firman yang alunannya disenandungkan oleh baying-bayang kelam malam. Lantas mencapai pada ngarai-ngarai yang dalam. Jauh dan terasing. Lantas kedua lengan wanita itu disilangkannya di atas dada. Sang imam pun kemudian memalingkan wajahnya kepada seorang lelaki yang tengah duduk di sudut kamar. Jauh dari lengkungan pandangan. Dengan suaranya yang lembut dan penuh dengan rasa belas kasih, imam itu berkata, “Pujaan hatimu kini telah tiba pada sebuah lingkaran Sinar Agung. Marilah, saudaraku, mari kita bersimpuh dan mengirimkan doa.”
Lelaki yang tengah diselimuti oleh perih sebab rasa kehilangan itu menengadahkan wajahnya kea rah langit. Matanya nanar. Pancaran sinar matanya menembus semua yang tidak tampak. Lantas raut mukanya yang bias mulai berubah. Seakan ia telah menangkan seberkas baying pengertian dari Tuhan yang dipenuhi oleh misteri. Lantas ia membenahi dirinya sendiri yang telah remuk redam. Ia pun menjejakkan kakinya dengan kekhusyukan di sisi pembaringan sang isteri. Lantas ia pun bersimpuh di samping pendeta yang tengah menghaturkan doa sambil membuat tanda silang di dada.
Pendeta itu pun berbicara penuh dengan ketenangan seraya meletakkan tangan di atas bahu lelaki yang tengah terpukul teramat parah. “Saat ini dirimu memerlukan sebuah ketenangan, maka beristirahatlah, Saudaraku. Rebahkanlah dirimu di ranjang pada bilik sebelah.”
Lelaki itu pun bangun. Berdiri dan berjalan menuruti perkataan pendeta. Ia menuju kea rah kamar dan merebahkan dirinya yang amat lelah di atas pembaringan sempit. Setelah beberapa lama ia telah terbuai dan terlelap, terbawa ke alam bawah sadar. Bagaikan seorang anak kecil yang ingin menemui sebuah tempat untuk berlindung dalam rengkuhan ibunda yang sangat menyayanginya.
Sang Pendeta masih tegak bagaikan sebuah batu tugu di tengah kamar. Dan pada saat itu sebuah pertarungan aneh terjadi dalam hatinya. Sungguh mencekam. Matanya sudah tergenang oleh linangan air mata. Lantas ia menatap secara bergantian. Mula-mula dilihatnya sesosok jenazah wanita muda yang terbujur kaku di atas ranjang. Kemudian beralih kea rah sang suami yang tengah tergolek lunglai terlihat dari celah tirai. Enam puluh menit telah berlalu. Waktu yang dirasainya demikian berjalan dengan lambat. Lebih lama dari satu abad dan lebih menakutkan dari pada sebuah ajal. Pendeta itu masih saja berdiri di tempatnya semula. Tegak di antara dua jiwa yang terlah berpisah. Jiwa yang pertama tengah terbang ke dunia mimpi. Menjumpai sebuah sawah yang tengah bermimpi menjumpai musim semi yang akan datang. Setelah ia mengalami derita dan sengsara di musim dingin. Sedangkan jiwa yang lain tengah terlelap dalam tidurnya yang teramat panjang.
Lantas pendeta itu mendekati jenazah wanita muda itu. Ia pun bersimpuh seakan hendak memanjatkan doa di hadapan balairung suci. Ia meraih jari jemari tubuh yang telah kaku itu dan kemudian ditempelkannya sesaat pada bibirnya yang bergetar. Pendeta itu kemudian menatap raut muka wanita yang telah berselimutkan oleh Kematian. Suaranya yang demikian tenang layaknya suasana malam. Tapi juga demikian dalam bagaikan palung laut yang penuh dengan gelora, sarat dengan rasa resah. Tapi juga menyiratkan sinar asa seorang manusia. Maka keluarlah isak tangisnya yang disertai dengan tatapan, “Oh, Ella, pengantin hatiku. Dengarkan setiap perkataanku ini! Pada ujung dari ceritaku, akhirnya diriku mampu mengungkapkannya! Ketika ajal telah menjemput, akhirnya mulutku yang dulu terkunci dengan rapat kini terbuka sehingga diriku mampu berkata-kata kepada dirimu mengenai sebuah rahasia. Rahasia yang telah lama kupendam dalam-dalam. Lebih dalam dari pada Kehidupan. Rasa perih yang tak terkirakan telah melemparkan hujaman pada lidahku ini. Maka diriku pun akhirnya mampu menguraikan segala derita dan sengsara yang kurasa lebih sakit daripada luka merah darah dari jantung yang jatuh menetes. Maka diriku memohon, dengarkanlah ratapan jiwaku, oh Dewata, yang sekarang telah melayang di antara langit dan bumi. Palingkanlah wajahmu kepada orang muda yang senantiasa menantimu pulang dari lading dengan penuh kesetiaan. Yang senantiasa menatapmu dari kejauhan, dari balik ilalang dan rimbunnya pepohonan. Menyembunyikan dirinya sebab merasa takut tatkala menatap elok dan cantiknya parasmu. Maka dengarkanlah pendeta ini, abdi Tuhan, yang tengah menyeru kepada dirimu tanpa mengindahkan rasa malu. Sesudah engkau menggapai pada haribaan Tuhan. Diriku telah memberikan bukti betapa hebatnya daya cintaku, dengan menyembuhkannya!”
Sesudah mengungkapkan seluruh isi hatinya, Pendeta itu lantas membungkukkan dirinya. Lantas menjatuhkan tiga buah ciuman teramat dalam, panjang dan bisu. Pada kening. Pada pelupuk mata. Serta pada leher wanita yang dicintainya. Ia mencurahkan seluruh rahasia hatinya. Mengenai cinta dan deritanya. Juga rasa perih oleh penyiksaan pada setiap masa-masa yang telah lalu. Lantas secara tiba-tiba ia menarik dirinya menuju pojok ruangan. Jauh dari pandangan. Terlindung oleh bayangan. Ia terhenyak. Ia lumpuh. Ia bersimpuh di atas lantai. Ia menggigil layaknya Musim Gugur. Seakan belaian dingin wajah wanita yang dicintainya tadi telah membangkitkan ruhnya untuk segera memohon ampunan Tuhan. Lantas ia berusaha memperbaiki dirinya dan berlutut. Ia pun berbisik dengan lembut.
“Ya, Tuhan, Maafkan segala dosa yang telah hamba perbuat. Ampunilah segala kelemahan diriku, Ya Tuhan. Hamba hanyalah seorang manusia biasa yang tiada memiliki kuasa guna menyimpan dengan rapat semua rahasia yang telah Engkau ketahui sekian lama. Tujuh tahun, Tuhan, hamba telah menguncinya dalam-dalam jauh di palung hati. Di balik terali-terali besi tembok hati. Mencegahnya supaya tidak terungkapkan dalam perkataan dan perbuatan. Hingga ajal menjelang dan mencabik kokohnya benteng yang telah hamba bangun, Tuhan. Maka tolonglah diriku, Ya Tuhan. Dan sembunyikanlah masa lalu yang indah tak terkira itu. yang membahagiakan senandung merdu dan syahdu. Tapi mengalunkan empedu yang teramat pahit dari-Mu. Maafkanlah diriku, Tuhan. Ampunilah semua ketidakberdayaanku ini.”
Pendeta itu masih terus meratap dan merintih tenpa memalingkan wajahnya kembali kea rah jenazah wanita muda di pembaringannya. Ia terus didera penderitaan hingga akhirnya sang fajar tiba. Titik-titiknya menebarkan kabut lembut merah jambu di atas dua orang manusia yang tidak lagi mampu bergerak. Menyampaikan pesan mengenai peperangan di antara Agama dan Cinta pada diri seorang manusia. Juga perdamaian dalam Hidup yang satu, sedangkan kematian pada yang lainnya.

No comments:

Post a Comment

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design