Sedangkan di bagian dunia yang lain, Amarel sedang
merutuki dirinya sendiri karena telah berkata bodoh. Dia sendiri tidak tahu
dari bagian otak mana kata-kata itu dia dapatkan, hingga dia bisa mengucapkan
kalimat-kalimat yang telah membuat seorang gadis yang didambakannya menjadi
sedih atau malah sudah stress.
Dan di ruang lingkup yang berbeda,
Dika dan Dino sedang me-refresh-kan pikiran mereka masing-masing. Entah mengapa, mereka begitu pusing dengan hidup mereka sendiri.
Dika dan Dino sedang me-refresh-kan pikiran mereka masing-masing. Entah mengapa, mereka begitu pusing dengan hidup mereka sendiri.
Semua itu berawal sejak kata ‘pacaran’ begitu indah
di telinga, namun pahit hingga kelelahan sendiri ketika di akhir.
***
Amarel berjalan dengan buru-buru sambil merapihkan
dasi abu-abunya melewati lorong-lorong sempit menuju sekolahnya. Gang-gang
kecil sekitar sekolah gedongannya memang salah satu jalan pintas andalannya
ketika hampir telat seperti sekarang. Dengan langkah yang besar dia mempercepat
laju jalannya ketika seorang bapak berpakaian satpam dan berkumis tebal hendak
menutup gerbang sekolahnya. Untung saja dia belum terlambat. Semenit saja dia
telat, mungkin dia akan kembali ke rumahnya dengan lesu. Itu sudah menjadi
peraturan sekolahnya.
Saat menjajaki koridor sekolahnya yang terlihat sepi
karena bel masuk kelas sudah berdendang sekitar 5 menit yang lalu, Amarel
menemukan pemandangan yang tidak biasa. Seorang gadis kucel sedang mengorek-ngorek
pot bunga mawar di samping sekolah. Walaupun penasaran, dia tetap melewatinya
karena guru kimia sudah menunggunya dan siap menyemburkannya segudang ocehan
memilukan. Saat sudah jauh melewati gadis tadi, Amarel berlari pelan, hingga
dia merasakan bahunya ditabrak dari belakang dengan cukup keras.
“Ma..maaf. Saya buru-buru.” suara lembut gadis tadi
cukup nyaring di telinga Amarel. Dia melihat tubuh gadis itu yang kian menjauh,
dia mencium harum manis yang tidak pernah dia hirup sebelumnya. Mungkin parfum
yang dipakai gadis tadi, pikirnya.
Benar saja, saat sampai di kelasnya, Amarel dihujani
cipratan air yang entah bagaimana bisa begitu saja keluar dari mulut Pak Ali.
Bukannya risih karena dimarahi, tetapi malah jijik.
***
Claire terkesiap kaget karena pot bunga mawar
kesayangannya tidak ada di tempat biasanya—di samping sekolah. Dia
sudah mencarinya ke penjuru sekolah tetapi tetap tidak menemukannya. Dia takut
setengah mati, karena di dalam pot bunga tersebut dia menguburkan sebuah
rahasia besar miliknya. Sepucuk surat lusuh yang di dalamnya terdapat tulisan
tangan Claire yang indah menggunakan bahasa inggris campur jerman yang telah
dia rangkai sekian lama.
Bagaimana kalau ada orang yang membaca surat
memalukannya itu, beberapa pikiran negatifnya muncul karena sangat khawatir
surat itu akan dibaca seseorang dan akan merusak namanya dengan memalukan
karena membuat surat cinta dan menyembunyikannya pula di pot bunga mawar.
Beberapa petugas kebersihan sekolahnya, hingga
ibu-ibu kantin sudah dia mintai tolong untuk mencari pot bunga mawar tersebut
dan segera melapor jika melihatnya. Tetapi hasilnya nihil. Pot bunga tersebut
tidak ada di mana-mana. Claire gelisah, tetapi agak lega karena mungkin pot
bunga tersebut sudah dibuang seseorang ke tempat sampah karena bunga mawar
tersebut tidak pernah mekar lagi sejak 5 bulan yang lalu entah apa penyebabnya.
***
Ardika memukul bahu Dino hingga membuat laki-laki
boncel itu kaget. Ardika atau yang biasa dipanggil Dika tersebut terbahak
melihat tingkah teman lamanya itu. Dino hanya menatapnya dengan sinis, tidak
ingin mengakui kekikukannya saat dikagetkan oleh Dika.
“Mana Claire?” Dika menghentikan tawanya.
“Kenapa? Kangen sama dia?” Dino terlihat menyindir,
padahal Dika-lah yang sedang menyindirnya.
Dika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dika
tidak tahu terkadang Dino merasa cemburu dengannya karena Claire sempat
menyukainya, walaupun sekarang mereka bersahabat dekat. Tetapi, Dika tahu teman
lamanya itu sedang sangat tergila-gila dengan Claire. Gadis kecil dan bermata
cokelat terang itu memang menyenangkan dan kadang suka terlihat bodoh sekali,
walaupun tidak diragukan lagi, Claire adalah gadis pintar.
Entah sejak kapan Dino betah memandangi wajah
sederhana Claire. Hidungnya mancung, bahkan Dino kalah. Hanya Dika yang sanggup
menyaingi hidung mancungnya Claire. Gadis itu sangat susah ditebak. Kadang dia
sangat bodoh, manja, menyenangkan, ceria, sedih entah karena apa, cuek, atau
malah menjengkelkan.
Dino suka lengkungan indah dari bibir Claire saat
dia tersenyum. Dia menyukai gadis itu. Bahkan menyayanginya.
***
Sekarang, hobi baru Amarel adalah mengintip kelas
Claire. Gadis aneh itu ternyata lucu juga. Dia sangat suka tertawa tanpa
mengenal kata bosan. Saat Amarel sadar dia menyukai gadis itu, dia mencuri pot
bunga mawar di samping sekolah itu untuk diteliti karena penasaran. Saat
mengetahui ada sebuah kertas menyembul dari dalam tanah yang Amarel gali,
Amarel mengambilnya dan membuang pot itu karena bunga mawarnya tidak pernah
mekar lagi. Dia sadar dirinya salah, tetapi dia tidak ingin mengaku pada gadis freak itu sekarang.
Saat dia membaca surat cinta itu, dia kagum dengan
tulisan tangan yang rapi dan indah, yang Amarel yakin itu adalah tulisan Claire.
Isi surat itu menyatakan bahwa Claire sedang jatuh cinta pada seseorang, dan
seseorang itu tidak tahu siapa.
Napas Amarel naik turun saat hampir saja Claire
mengetahui dia sedang mengintipnya. Dia bersembunyi di balik tembok samping.
Namun saat yang tidak diduga, Claire menangkap basah Amarel. Lalu, saat suara
yang ditimbulkan Claire untuk mengagetkan Amarel terlalu keras, Amarel langsung
mendekap mulut Claire dan menariknya hingga tubuh mereka berdekatan. Hal itu
bukan sengaja Amarel lakukan, tetapi itu dilakukannya karena Bu Titin mengintip
keluar kelas saat mendengar suara keras mirip suara khas Claire.
“Ma..maaf dan makasih..” Claire berbisik, lalu
secepat kilat Amarel dan Claire merenggang, karena tahu mereka begitu dekat.
Amarel yang salah tingkah malah keceplosan, “Iya gak
apa-apa, maaf juga ngintipin lo terus.”
“Hah?”
“Hehe..” Amarel nyengir mengetahui kebodohannya yang
berlipat ganda.
***
Semenjak kejadian seminggu lalu, Amarel dan Claire
menjadi begitu dekat. Dino dan Dika yang mengetahuinya hanya bisa menghela
napas panjang, tidak bisa mereka elak, bahwa ada rasa kecewa dalam diri mereka
masing-masing. Claire memang dekat dengan Dino dan Dika, jadi Claire akan
menceritakan segala sesuatunya kepada mereka. Entah harus senang atau malah sedih
menanggapi cerita yang setiap kalimatnya selalu ada nama Amarel menyertai.
Mereka hanya memaksakan senyum, namun tidak dapat dipungkuri mereka merasa
nyeri.
Hingga akhirnya hari itu datang, dimana senyum
Claire tidak hilang seharian dan mengumbar tawa dimana-mana. Sudah dapat
dipastikan, Claire dan Amarel benar-benar pacaran. Kabar bahagia—untuk
Claire, tidak untuk Dika dan Dino—itu akhirnya seperti
menyeruak kemana-mana. Jelas saja, hampir semua orang di sekolah gedongan
mereka mengenal Claire, di gadis kecil tapi sangat pintar dan ceria.
Dika dan Dino terlihat murung, hingga satu
pertanyaan bagai petir itu keluar dari mulut gadis yang mereka sayangi itu.
“Kalian kenapasih? Gak suka ya aku jadian sama
Amarel? Dia kan keren, jago main ps juga kayak kalian. Masa gak seneng sih
sahabatnya lagi bahagia gini? Atau kalian sedih udah kehilangan aku?”
kedengarannya memang seperti petir menyambar di telinga dan hati Dika dan Dino,
tetapi Claire mengucapkan itu sambil tertawa bercanda.
Dika dan Dino saling memandang, yang masih terlihat
santai hanya Dika yang selalu menyembunyikan perasaannya, sedangkan Dino sudah
muak dengan nama Amarel yang selalu diucapkan Claire dengan nada manjanya.
“Nggak kok Kler, kita ikut bahagia.” Dika tersenyum menengahi
percakapan yang semakin membuat hatinya ngilu dengan menyebutkan nama Claire
bercampur nada jawa.
“Aku sayang kalian deh, besok aku traktir tekwan!”
Dalam hati Dika dan Dino menjawab, “Gue lebih sayang
lo, Claire… dari dulu.” Namun yang keluar dalam wajah mereka hanya senyum yang
dipaksakan.
***
“Claire, sebenernya aku mau jujur sama kamu.”
“Juju raja rel, silahkan.” Senyum Claire mengembang,
sambil masih menjilati es krim cokelatnya.
“Aku baca surat kamu di pot bunga mawar samping
sekolah karena penasaran pas aku liat kamu ngorek-ngorek pot bunga pagi-pagi waktu
aku telat, terus kamu nabrak aku karena kamu bilang kamu lagi buru-buru. Terus
karena aku tau bunga mawar di pot itu udah gak pernah mekar lagi, jadi aku
buang ke tempat sampah belakang sekolah.”
Claire melongo. Jantungnya berdegub kencang. Bahkan
dia tidak tahu masih adakah jantungnya di tempatnya sekarang…
Claire merasa kecewa. Darahnya berdesir, entah
mengapa dia ilfeel setengah hidup sama pria di sampingnya ini. Dia diam saja,
menyembunyikan perasaannya yang hambar dan dingin. Hatinya terasa beku.
“Claire, kamu gapapa?”
***
Dika dan Dino tersentak saat mendengar cerita yang
keluar dengan buru-buru dari mulut Claire dicampur tetesan-tetesan air matanya
yang deras dari keran matanya.
Dika dan Dino semakin sakit hati melihat Claire
menangis tersedu-sedu. Namun Dika tetap santai tetapi tidak dapat mengelak
bahwa hatinya teriris. Dino begitu tersakiti saat melihat tetesan air mata yang
keluar dari mata Claire banjir hingga tidak terbendung.
Dika dan Dino mencoba menghibur Claire dengan
berbagai cara. Mereka tahu sahabat sekaligus gadis yang mereka cintai itu
hatinya terluka karena tidak menyangka Amarel akan melakukan tindakan—yang
Claire bilang sangat tidak sopan—itu. Padahal, mereka
tidak tahu harus senang—karena Claire dan Amarel putus—atau
malah sedih melihat
Claire seperti ini.
***
Amarel menyesali dan merutuki dirinya sendiri, entah
apa yang merasuki dirinya hingga dia mengakui semuanya. Tetapi, terselip rasa
lega yang menyelimuti hatinya karena telah berkata jujur tentang surat cinta
itu.
Dia menjitaki kepalanya sendiri, karena salah satu
bagian dari otaknya yang berfungsi untuk menyaring kalimatnya telah berkhianat.
Sedangkan dalam ruang tempat yang lain, Claire
sedang menutupi wajahnya dengan bantal, menangis sejadi-jadinya. Dia masih
tidak percaya bahwa surat cinta—memalukan—yang dia tulis untuk
Dika dulu telah dicuri oleh Amarel.
Claire terluka. Sebagian dari dirinya meronta untuk
memaafkan Amarel, tetapi tidak dengan otaknya yang berkata itu perbuatan yang
keterlaluan. Tetapi, tidak dapat Claire sembunyikan, bahwa dia masih berharap
pada Amarel. Masih berharap Amarel akan memohon-mohon di depannya dengan
mengucap sejuta kata maaf sambil menangis tersedu-sedu seperti dalam cerita
ftv. Sayangnya, hidup memang tidak seindah ftv.
***
Claire melihat goresan kekecewaan pada mata Amarel
saat Claire tidak ingin berbicara pada Amarel dengan alasan klasik berbunyi
“Lagi nggak mood ngomong.”
Namun, Claire yang malah berharap Amarel kembali.
Namun, semuanya terlambat. Amarel sudah lelah. Mungkin benar, titik jenuh
seseorang itu memang ada.
Dia menangisi dirinya sendiri yang seperti mendapat
kutukan menyakitkan dalam hatinya. Tenggorokannya tercekat karena menyumpal
mulutnya dengan tisu karena tidak ingin menangis mengeluarkan suara. Hatinya
yang terluka seperti ditaburi garam oleh tangannya sendiri. Sakit…
Hingga tersisa Dika yang masih menyembunyikan
perasaannya dan Dino yang masih malu mengungkapkan. Mereka akan menunggu. Yah…
menunggu luka itu hingga mengering. Hingga akhirnya, Claire akan sadar dan siap
membuka hatinya kembali. Mereka akan selalu menjadi orang yang mengerti Claire
dan menyayanginya. Tanpa Claire tahu, bahwa mereka ikut tersakiti. Karena,
pacaran tidak seindah yang terdengar di telinga.
0 comments:
Post a Comment