Dia sampai di halte bus dan semuanya baik-baik saja.
Kevin bersyukur dalam hati. Rombongan Dino CS tidak memergokinya hari ini,
mungkin karena sudah dapat ‘mangsa’ yang berdompet tebal. Keringat dingin yang
menjalar ke suluruh tubuhnya sudah agak mongering setelah setengah jam dia
tidak mendapati wajah Dino CS nongol dengan tiba-tiba seperti biasanya.
Iseng, Kevin menyapu pandangan di sekitar halte bus. Melihat pemandangan setenang ini jarang dia lakukan, karena biasanya dia
selalu menunduk sehabis menjadi ‘mangsa’ Dino CS. Tetapi, hari ini entah apa
yang membuatnya melakukan hal itu, hingga dia serius sekali menatap semua yang
bisa terlihat matanya.
Daya magis dari arah tempat les musik milik yayasan
sekolahnya yang berada tidak terlalu jauh dari halte bus yang sedang Kevin
singgahi mampu membuat Kevin terdiam sangat lama.
Dia melihat seorang wanita yang tidak biasa. Wanita itu sangat anggun, dia mempunyai kulit berwarna putih pucat dan yang tidak kalah membuatnya terkagum adalah, wanita itu mengenakan sweater merah jambu di bawah amarah sinar matahari yang membuatnya semakin menawan di mata Kevin. Rambutnya terjuntai sepunggung, tetapi diikat setengah menggunakan pita berwarna serupa dengan sweaternya. Dia menenteng biola, dan seperti malu-malu dia berjalan dengan pelan dan hati-hati. Wajahnya tersapu kilatan sinar matahari dan titik-titik keringat dari keningnya terlihat berkilauan. Bias sinar wajahnya terlihat begitu indah. Cantik, pikir Kevin. Hanya saja terdapat benda kecil yang menyumbat telinganya serta buku kecil dan pena terjepit tergantung di lehernya, entah itu benda aneh apa. Yang pasti Kevin terlalu kagum dengan sosok yang baru sekali dia lihat tersebut hingga dia tidak peduli lagi jika langit runtuh saat itu juga, asal Kevin bisa berlama-lama menatap wajah itu. Namun seperti dipanggil tanpa suara, bus yang sejak tadi Kevin tunggu sudah bertengger di hadapannya, menyuruhnya untuk segera masuk dan pergi ke toko buku seperti yang direncakannya. Jika saja bukan karena komik one piece kesayangannya, mungkin Kevin akan terus terpaku di bangku reot halte bus dengan wajah yang seperti ‘jatuh cinta’ pada sosok menawan itu.
Dia melihat seorang wanita yang tidak biasa. Wanita itu sangat anggun, dia mempunyai kulit berwarna putih pucat dan yang tidak kalah membuatnya terkagum adalah, wanita itu mengenakan sweater merah jambu di bawah amarah sinar matahari yang membuatnya semakin menawan di mata Kevin. Rambutnya terjuntai sepunggung, tetapi diikat setengah menggunakan pita berwarna serupa dengan sweaternya. Dia menenteng biola, dan seperti malu-malu dia berjalan dengan pelan dan hati-hati. Wajahnya tersapu kilatan sinar matahari dan titik-titik keringat dari keningnya terlihat berkilauan. Bias sinar wajahnya terlihat begitu indah. Cantik, pikir Kevin. Hanya saja terdapat benda kecil yang menyumbat telinganya serta buku kecil dan pena terjepit tergantung di lehernya, entah itu benda aneh apa. Yang pasti Kevin terlalu kagum dengan sosok yang baru sekali dia lihat tersebut hingga dia tidak peduli lagi jika langit runtuh saat itu juga, asal Kevin bisa berlama-lama menatap wajah itu. Namun seperti dipanggil tanpa suara, bus yang sejak tadi Kevin tunggu sudah bertengger di hadapannya, menyuruhnya untuk segera masuk dan pergi ke toko buku seperti yang direncakannya. Jika saja bukan karena komik one piece kesayangannya, mungkin Kevin akan terus terpaku di bangku reot halte bus dengan wajah yang seperti ‘jatuh cinta’ pada sosok menawan itu.
***
Syahwa membetulkan posisi duduknya. Wajah gagah dan
tegas itu menyembul dari balik pintu kamarnya yang sengaja tidak dikunci.
“Kau serius akan sekolah?”
Syahwa tersenyum manis sambil mengangguk.
Perlahan namun pasti sosok pria yang sangat tampan
ini masuk ke dalam kamar yang ukurannya sangat luas. “Baiklah. Mau kan di
sekolah Papa saja? Papa sedikit khawatir.”
Lagi-lagi Syahwa hanya mengangguk dan tersenyum
manis. Itu impian terpendamnya sejak dulu.
“Papa usahakan, minggu depan kamu sudah bisa
bersekolah. Semuanya terkadang tidak berjalan dengan lancar, terlalu sulit jika
harus mengurus semuanya dengan terburu-buru. Tidak apa-apa kan?”
Wajahnya terlihat mendung, ternyata menjadi pemilik
yayasan sekolah tidak cukup untuk membuat segala urusan pindah sekolah menjadi
lebih singkat. Tetapi, dia menyembunyikan perasaan kecewa itu, lalu kembali
tersenyum, kali ini mamaksakan senyumnya.
“Jangan lupa membeli stok buku catatan kecil.”
Papanya tersenyum dengan menawan. Lalu membelai rambut peri kecilnya.
Syahwa mengangguk ceria. Berarti akan ada jatah tambahan untuk membeli buku, katanya dalam
hati.
Sejak kecil Syahwa memang hobi membeli buku catatan
kecil, dan hingga sekarang hobi itu tidak pernah pudar. Setiap harinya selalu
ada yang ditulisnya di buku itu, untuk berkomunikasi dengan orang lain. Syahwa
memang tuli dan tidak bisa bicara. Dia tidak pernah suka belajar bahasa
isyarat. Dia membenci belajar sesuatu yang seakan membuatnya terlihat tidak
bisa melakukan hal seperti yang dilakukan orang normal pada umumnya. Dia tidak
bisa mendengar, tetapi dia memakai alat untuk membantunya agar dapat mendengar.
Orang normal jarang ada mengerti bahasa isyarat dan dia mulai membenci itu,
maka jalan keluarnya adalah menulis. Dia menulis semuanya di buku catatan kecil
yang selalu digantung di lehernya dengan pena jepit kecil guna menulis untuk
berkomunikasi. Bahkan buku-buku catatan kecil sejak Syahwa kecil hingga
sekarang tetap dia susun rapid an teratur di rak-rak bukunya.
Selama ini, segalanya berjalan dengan lancar. Hingga
detak jantungnya berdebar tidak seperti biasanya ketika dia ingin kembali
menyicipi bangku sekolah seperti saat sekolah dasar dulu. Namun sejak ‘dibully’ salah satu teman sekelasnya,
Syahwa menjadi takut pergi sekolah dan melanjutkan home schooling. Tetapi rasa ‘rindu’ akan bangku sekolah dan
riuh-rendah celoteh ala anak sekolahan membuatnya kembali menahan rasa takut
yang berkecambuk dalam dadanya.
Ingatan itu masih jelas tergambar dalam memori
otaknya. Saat Rika mencemooh bahwa Syahwa tidak normal karena terus menggunakan
bahasa isyarat dan berbicara tidak jelas saat menjawab pertanyaan guru ketika
duduk di bangku sekolah dasar. Tangisan Syahwa tidak terbendung saat
ucapan-ucapan Rika yang seperti pisau menghujani hatinya pelan namun dalam.
Tergurat ocehan-ocehan pilu Syahwa saat mamanya
mencoba menenangkan tangisnya yang begitu mengiris. Syahwa masih bisa merasakan
pelukan hangat yang diberi mamanya bertubi-tubi kala itu. Namun, sekarang,
pelukan hangat itu berganti dengan pelukan kokoh namun dingin dari papa. Syahwa
tahu papanya menyayanginya, sangat malah. Tetapi, sepertinya almarhumah mama
tidak dapat digantikan oleh papa yang sangat menyayanginya tersebut. Dia masih
belum bisa mengganti pelukan hangat itu dengan pelukan kokoh yang dingin milik
papanya. Dia hanya perlu waktu lebih lama.
Segala persiapan untuk masuk sekolah milik papanya
sudah tersedianya. Segala urusan seperti harus berjalan sangat lambat hingga
Syahwa masih harus menunggu sampai minggu berikutnya untuk masuk sekolah
normal.
Tetapi, Syahwa cukup percaya diri karena dia sudah
merasa berada di atas rata-rata orang normal pada umumnya. Dia mahir bermain
biola, serta menguasai bahasa Prancis dan Inggris, padahal umurnya baru
menginjak 14 tahun. Dan dia akan merasakan memakai pakaian sama seperti ratusan
orang murid dalam sekolahnya setiap hari. Itu lucu baginya. Karena, dia tidak
biasa mengenakan seragam saat sekolah, bahkan dia tidak mengenal jam istirahat
kecuali saat di sekolah dasar, baginya saat dia home schooling kapanpun dia ingin makan, dia akan makan dan gurunya
akan dengan sangat sabar menunggunya hingga selesai.
Akhirnya,
hari ini datang…
“Non Sasa pagi-pagi udah rapih aja, udah siap banget
mau sekolah ya, Non?” sapaan bibi Woro pagi ini seperti angin baik yang
berhembus di telinga Syahwa.
Syahwa hanya menyunggingkan senyum termanisnya. Lalu
dengan cepat menulis sesuatu di buku cacatan kecil yang tergantung di lehernya
dengan pasrah. “Gimana penampilanku?” dia memperlihatkan tulisan tangannya yang
indah di kertas putih dengan tinta pena hitam menyala kepada bi Woro.
“Cantik sekali. Seperti biasanya.”
Dia menulis lagi. Kali ini lebih serius dari
sebelumnya. “Sweaterku mengganggu gak untuk dipakai ke sekolah?”
“Enggak, non. Kan bapak udah bilang kemarin, non gak
apa-apa kalo mau make sweater tiap hari ke sekolah.” Bi Woro tetap memasang
senyum manisnya.
Syahwa tersenyum senang. Pagi ini adalah pagi
terbaiknya. Tas berwarna violet berisi beberapa buku kosong yang sengaja dia
sampul berwarna cerah hari ini akan menemani hari pertamanya masuk sekolah
normal. Pita merah jambunya seperti biasa bertengger di kepalanya dengan manis.
***
Syahwa,
kelas 10 jurusan kesenian. Isunya dia fasih memainkan biola, dan yang lebih
mengejutkannya lagi, dia baru berumur 14 tahun. Sayangnya, dia tuli jika tidak
menggunakan alat bantu dengar dan tidak bisa bicara.
Berita hangat di seluruh yayasannya itu masih
bergentayangan dalam benak Kevin. Pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali muncul
setiap memikirkan apa yang teman-temannya bilang selalu saja berbunyi, “Yang
mana itukah yang namanya Syahwa?” “Semenarik apasih dia?” “Dia cantik atau
enggak ya?”
Entah mengapa Kevin jadi sebegini penasarannya.
Tetapi rasa penasarannya itu sering kali terlupakan oleh bayangan-bayangan
pesona wajah wanita bersweater merah jambu seminggu yang lalu.
Tetapi, akhir-akhir ini setiap Kevin ingin pulang
dengan bus dan menatap lama-lama atau bahkan mengajaknya berkenalan wanita
bersweater dan berpita merah jambu itu, dia akan berpikir 2x karena takut harus
membayar pajak yang selalu ditagih Dino CS, entah pajak apa yang mereka tagih
pada setiap anak di yayasan Angkasa ini.
Minggu berikutnya, Kevin berkesempatan pulang dengan
bus, karena Dino CS sudah di DO secara tidak terhormat. Kabar angin mengatakan
bahwa pemilik yayasan Angkasa sendirilah yang mengeluarkan mereka. Entah
informasi darimana yang telah sampai di telinga pemilik yayasan hingga rahasia
umum yang dijaga ketat oleh Dino CS secara turun-temurun dari tahun ke tahun
bisa terbongkar oleh orang yang bahkan tidak pernah terlihat sedikitpun batang
hidungnya di sekolah.
Kevin merasa hari-harinya akan terus menyenangkan
dan tidak perlu ketakutan untuk memilih jalan pulang melalui bus. Sepertinya
hatinya dan semua orang di Sekolah Menengah Atas Angkasa ini akan merdeka
selamanya setelah Dino CS enyah dari pandangan mereka.
Seperti selalu ada ucapan lirih berbunyi,
“Akhirnya…” pada setiap orang-orang yang menunggu bus di halte bus yang sempit
dan kecil saat mereka mendapat kabar bahwa palakan Dino CS sudah kadaluarsa dan
mereka boleh lega, seperti pasung di duit-duit mereka lepas dengan sendirinya
saat mengetahui berita tersebut.
Kebanyakan orang di sekolah yang mengetahui berita
Dino CS telah dimusnahkan berterimakasih dan berharap siapapun yang memberitahu
pemilik yayasan tentang kedok Dino CS agar dia mendapat berkah dan pahala.
Kevin ikut meng-amin-ni sambil tersenyum. Kalau dipikir-pikir, hebat juga yang
berani melaporkan kepada pemilik yayasan secara langsung. Kevin yang dari taman
kanak-kanak bersekolah di yayasan Angkasa saja tidak pernah sekalipun melihat
pemilik yayasan yang terkenal bijaksana dan ramah tersebut.
Kevin celingukan mencari sosok yang tidak ditatapkan
sekitar setengah bulan lamanya. Ada rasa rindu yang diam-diam menyelinap walau
gengsi untuk diakui. Walaupun baru sekali bertemu, Kevin merasa seperti
kecanduan melihat wajahnya, bibir merahnya, serta pita yang mengikat sebagian
dari rambutnya, peluh di sekitar anak-anak rambutnya yang berkilauan ketika
bertemu dengan sinar matahari, dan benda kecil yang menyumbat telinga
mungilnya, warna kulitnya yang terlalu putih untuk seukuran orang Indonesia.
Kevin meyakini sesuatu, dia pasti les biola di
Melody Angkasa—tempat
les musik yang sengaja dibuat oleh yayasan Angkasa, dan bagi anak-anak yang
bersekolah di yayasan Angkasa akan diberi potongan harga sebesar 25%. Jadi
Kevin memutuskan untuk sekedar berjalan-jalan tak tentu arah yang melewati
Melody Angkasa yang terletak tidak cukup jauh dari halte bus. Kevin tidak dapat
menahan rindunya lagi setelah setengah bulan.
Tiba-tiba saja langit mending dan angin berhembus
kencang, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Satu titik.. dua titik.. lalu
lama-lama menjadi banyak dan tak henti-hentinya menerpa aspal tandus di sekitar
halte bus. Gemericik bunyi dari atap seng halte bus bertarung dengan gemuruh
hujan yang semakin deras. Sementara Kevin mulai menyukai suasana ini, suasana
tenang dan teduh yang dari dulu dia dambakan.
Dan secara tidak sengaja, matanya menangkap sosok
yang sedari tadi dia cari. Sosok itu kebingungan mencari tempat untuk berteduh.
Tubuhnya basah kuyup senyisakan sweater merah jambunya yang sudah berwarna
merah jambu basah yang kuyu.
Kevin menikmati pemandangan itu, wajahnya agak pucat
dan dia terlihat seperti agak kedinginan, sampai saat Kevin sadar dia harus
menyelamatkan kesehatan wanita menawan itu.
“Sini.” Kata Kevin cepat menarik lengan langsing
wanita yang rambutnya sudah basah oleh air hujan ke tempat yang lebih teduh di
dekat tempat duduk Kevin. Air tumpah dari tubuhnya yang menjadi semacam gerimis
kecil bagi Kevin yang tubuhnya masih kering.
Wanita itu tersenyum kikuk, seperti agak ketakutan.
Benda kecil yang menempel pada telinga wanita itu yang Kevin lihat 2 minggu
lalu tidak hilang, hanya buku catatan kecil yang tadinya di lehernya sudah
tidak berada di tempatnya.
Kevin mengulurkan tangan ke hadapan wanita itu,
“Kevin.”
Wanita itu menjabat tangan Kevin lembut, lalu
tersenyum. Dan dengan cepat mengambil sesuatu dalam tasnya, kemudian menulis
sesuatu di buku catatan kecil yang basah. “Syahwa”, lalu menunjukkannya kepada
Kevin sambil tersenyum manis.
Kevin terlonjak melihat tingkah wanita di
sampingnya, dan lebih kaget lagi ketika melihat nama wanita yang selama ini
menjadi misteri di hatinya. Ternyata si greenie1
itu adalah wanita yang selama ini dia kagumi. Dan dia benar-benar bisu dan
tuli. Perlahan, debar jantungnya mulai tak beraturan dan gugup. Kevin menjadi chicken2 seketika.
Kemudian Kevin menulis sesuatu di buku catatan kecil
basah milik Syahwa, “Kamu cantik” sambil tersenyum. Kali ini senyumnya begitu
tulus dan tidak ada rasa paksaan dalam hatinya. Kevin tidak kehilangan debar
jantungnya yang tidak beraturan saat mengetahui Syahwa adalah seorang yang bisu
dan tuli, malah semakin mengaguminya, apalagi ketika Kevin mengingat perkataan
temannya yang berkata bahwa Syahwa mahir bermain biola. Bahkan, umurnya baru 14 tahun.
Syahwa tersenyum sangat manis namun malu-malu.
Mungkin jika dia berkaca, dia akan menyadari betapa merah jambunya pipi bulat
itu sekarang. Syahwa merasakan getaran itu. Getaran yang mengguncang jantungnya
dan merasakan banyak kupu-kupu berterbangan dalam perutnya.
Baru kali ini dia sebahagia ini.
Hujan tiba-tiba berhenti dan langit cerah seketika,
seperti mendung dalam hati Kevin dan Syahwa yang meredam dan tergantikan oleh
awan-awan biru muda dan kicauan burung. Dada mereka berdesir mengalunkan nada
yang sama. Nada itu tidak terdengar namun terlihat pada air muka mereka. Wajah
kebahagiaan. Wajah malu-malu namun manis.
“Aku antar pulang ya?” kalimat dalam nada bicara
Kevin seperti memohon, padahal Kevin tidak tahu bahwa tanpa memohon pun Syahwa
akan membiarkan Kevin mengantarnya pulang.
Desau angin berhembus seakan ceria di telinga Kevin
dan Syahwa, mengantar mereka sampai pada titik dimana mereka kembali terdiam
malu-malu, tetapi mereka tahu, mereka sama-sama memendam perasaan yang sama.
***
created by. Fara Dwitya :)
Greenie1: pendatang baru
Chicken2: penakut/cemen
0 comments:
Post a Comment