Aku selalu menunggumu kembali. Kembali ke masa dimana jemari kita saling
berselahan, bergabung dalam suatu genggaman. Aku rindu masa itu. Masa
dimana kita selalu berbuat kekonyolan dan hal bodoh bersama. Tak ada
selah untuk orang lain. Tak ada selah untuk membenci. Tak ada selah
untuk saling mengkhianati. Semua berjalan natural.. cintaku, begitu
tulus.
Namamu selalu kurapalkan dalam do'a. Tak ada sholat yang
tertinggal tanpa namamu disetiap pintaku pada-Nya. Aku selalu
mengharapkan akulah satu-satunya bagimu. Yang pertama dan terakhir.
Namun.. semua berubah. Seakan dunia ini mengikuti arusmu, berubah dan
sangat berbeda. Aku merasa asing dengan keadaan ini. Apakah dengan kamu
mengucap putus dapat menyembuhkan luka ini secara perlahan? Luka ini
begitu dalam kurasakan saat kamu berubah. Kamu mulai berani membentakku,
tidak memberi kabar, dan tak jarang aku lihat kamu sedang mengobrol
dengan wanita lain. Kamu tahu? Aku menangis. Aku ingin sekali mengais
masa itu. Masa yang selalu kucari keberadaannya namun selalu gagal
kutemukan. Aku terlalu baik untuk selalu memaafkanmu walau tak pernah
lagi kudengar kata 'maaf' darimu. Aku rindu kamu yang dulu. Aku tetap
merapalkan namamu dalam do'aku, ku tambahkan pintaku untuk
mengembalikanmu seperti dulu. Aku tak sanggup untuk terus menangis
menahan semuanya. Aku kira aku dan kamu, akan menjadi yang terakhir di
masing-masing hidup kita. Aku tak menyangka kamu sangat cepat berubah
dengan semua yang telah kita lewati.. selama ini. Senja itu, aku
menangis. Namun aku tak menemukan sosok yang selalu kuharapkan datang
untuk menghapus air mata ini.
*
"Kakak gak bisa lakuin itu
ke kak Klara, dia pasti gak akan nerima ini semua. Kakak lebih baik
jujur atas penyakit yang kakak alami. Aku tahu kakak sayang sama kak Klara. Jangan diem aja kak Rian, aku tahu kakak kuat jalanin ini semua."
adikku memberiku ocehan yang kesekian kalinya karena aku yang bersih
keras memutuskan hubunganku dengan Klara. Aku tak bisa membiarkan Klara
tahu bahwa aku sakit. Kanker paru-paru. Aku tak bisa menerima kenyataan
pahit ini, tapi aku lebih tak bisa jika nanti Klara melihat jasadku
dengan tangisan. Aku tak bisa melihatnya menangis. Tapi sekarang, akulah
lelaki tolol yang membuat malam kelabunya sangat pilu dan selalu
dihiasi jeritan-jeritan kecil penuh penderitaan. Akulah yang sengaja
untuk menjauh, membentaknya, tidak memberi kabar, dan mendekati wanita
lain. Sekarang, aku telah lega.. kami telah berpisah. Bahwa aku lebih
baik yang menderita, daripada dia yang menangis. Aku rela, ikhlas, dan
tak pernah aku lelah mencintainya.
*
5 bulan setelah kami
putus, aku sudah mempunyai pengganti Rian. Yang sebenarnya tak mampu
seperti yang Rian berikan, namun setidaknya, dia anak yang baik walaupun
aku tak suka lelaki yang merokok. Sampai sekarang, aku masih merasakan
dendam dan penderitaan yang tak kunjung larut dalam kehidupanku,
semuanya begitu cepat namun merubah setiap selah pemikiranku. Sekarang,
aku lebih melihat lelaki yang tidak baik dalam arti dia aktif, daripada
lelaki yang diam tapi ternyata menghanyutkan. Aku sudah banyak belajar
dari Rian. Aku tak ingin semuanya terulang, walaupun sebersit niat untuk
ingin mengulang aku dimasa kami masih berbahagia bersama. Namun,
kembali lagi.. aku urungkan niatku yang maya itu.
*
Tok
tok tok pintu rumahku berbunyi dengan suara pelan namun nyaring
kudengar. Ku buka pintunya, ternyata Sila adik Rian. Ku suruh dia masuk
dan duduk di ruang tamu, sedangkan aku ke belakang menyiapkan minuman
dan cemilan. Lalu menghidangkannya.
"Kakak, ikut aku yuk." Sila memulai pembicaraan sesaat setelah kutaruh minuman dan makanan ringan.
"Kemana sayang? Kok kamu tumben? Ini udah sore kan?" jawabku.
"Sebentar
aja kak, kita lihat matahari terbenam ya. Kakak suka senja kan? Aku
tahu dari kak Rian." dengan begitu lugunya dia berkata.
Aku sedikit
terkejut dengan perkataan Sila barusan. Dengan lidah yang terasa kelu,
aku menjawab.. "Iya sayang, tunggu sebentar ya. Aku ganti baju dulu."
lalu kunaiki tangga menuju kamarku. Berganti pakaian secepat dan
sesimple mungkin.
"Aku mau nunjukin sesuatu ke kakak." senyumnya menyungging dari bibirnya yang merah muda.
"Sesuatu apa? Kita kemana?" aku masih kaget. Kejutan apa lagi ini, gumamku dalam hati.
"Dari sini, terus, ada perempatan belok kiri."
"Oke sayang."
10
menit akhirnya aku dan Sila sampai. Aku mulai tak sabar. Sila langsung
menunjuk kearah langit yang berwarnah orange kemerahan. Senja. Matahari
terbenam. Aku sangat menyukai itu. Tak lama, Sila menggandeng tanganku.
Aku baru menyadari tak jauh dari situ ada sebuah TPU. Aku baru pertama
kali kesini. Aku mengerutkan dahiku. Mengapa kesini? Hatiku mulai
deg-degan. Bukannya aku takut. Tapi kenapa? Aku bingung. Sila tetap
berjalan. Kuikuti langkahnya. Lalu berhenti di sebuah nisan.
Mataku
terbelalak, nisan itu bertuliskan "Rian Pratama". Air mataku mulai
berkuasa. Aku tak mengeluarkan sepatah katapun saat Sila menceritakan
semuanya. Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata apapun yang dapat menjelaskan perasaanku saat itu, betapa sedihnya. Aku sangat ingin memutar waktu.
Aku rindu, Senjaku.
Aug 12, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Aug 12, 2012
Aku rindu, Senjaku..
Labels:
cerpen
Aku selalu menunggumu kembali. Kembali ke masa dimana jemari kita saling
berselahan, bergabung dalam suatu genggaman. Aku rindu masa itu. Masa
dimana kita selalu berbuat kekonyolan dan hal bodoh bersama. Tak ada
selah untuk orang lain. Tak ada selah untuk membenci. Tak ada selah
untuk saling mengkhianati. Semua berjalan natural.. cintaku, begitu
tulus.
Namamu selalu kurapalkan dalam do'a. Tak ada sholat yang tertinggal tanpa namamu disetiap pintaku pada-Nya. Aku selalu mengharapkan akulah satu-satunya bagimu. Yang pertama dan terakhir. Namun.. semua berubah. Seakan dunia ini mengikuti arusmu, berubah dan sangat berbeda. Aku merasa asing dengan keadaan ini. Apakah dengan kamu mengucap putus dapat menyembuhkan luka ini secara perlahan? Luka ini begitu dalam kurasakan saat kamu berubah. Kamu mulai berani membentakku, tidak memberi kabar, dan tak jarang aku lihat kamu sedang mengobrol dengan wanita lain. Kamu tahu? Aku menangis. Aku ingin sekali mengais masa itu. Masa yang selalu kucari keberadaannya namun selalu gagal kutemukan. Aku terlalu baik untuk selalu memaafkanmu walau tak pernah lagi kudengar kata 'maaf' darimu. Aku rindu kamu yang dulu. Aku tetap merapalkan namamu dalam do'aku, ku tambahkan pintaku untuk mengembalikanmu seperti dulu. Aku tak sanggup untuk terus menangis menahan semuanya. Aku kira aku dan kamu, akan menjadi yang terakhir di masing-masing hidup kita. Aku tak menyangka kamu sangat cepat berubah dengan semua yang telah kita lewati.. selama ini. Senja itu, aku menangis. Namun aku tak menemukan sosok yang selalu kuharapkan datang untuk menghapus air mata ini.
*
"Kakak gak bisa lakuin itu ke kak Klara, dia pasti gak akan nerima ini semua. Kakak lebih baik jujur atas penyakit yang kakak alami. Aku tahu kakak sayang sama kak Klara. Jangan diem aja kak Rian, aku tahu kakak kuat jalanin ini semua." adikku memberiku ocehan yang kesekian kalinya karena aku yang bersih keras memutuskan hubunganku dengan Klara. Aku tak bisa membiarkan Klara tahu bahwa aku sakit. Kanker paru-paru. Aku tak bisa menerima kenyataan pahit ini, tapi aku lebih tak bisa jika nanti Klara melihat jasadku dengan tangisan. Aku tak bisa melihatnya menangis. Tapi sekarang, akulah lelaki tolol yang membuat malam kelabunya sangat pilu dan selalu dihiasi jeritan-jeritan kecil penuh penderitaan. Akulah yang sengaja untuk menjauh, membentaknya, tidak memberi kabar, dan mendekati wanita lain. Sekarang, aku telah lega.. kami telah berpisah. Bahwa aku lebih baik yang menderita, daripada dia yang menangis. Aku rela, ikhlas, dan tak pernah aku lelah mencintainya.
*
5 bulan setelah kami putus, aku sudah mempunyai pengganti Rian. Yang sebenarnya tak mampu seperti yang Rian berikan, namun setidaknya, dia anak yang baik walaupun aku tak suka lelaki yang merokok. Sampai sekarang, aku masih merasakan dendam dan penderitaan yang tak kunjung larut dalam kehidupanku, semuanya begitu cepat namun merubah setiap selah pemikiranku. Sekarang, aku lebih melihat lelaki yang tidak baik dalam arti dia aktif, daripada lelaki yang diam tapi ternyata menghanyutkan. Aku sudah banyak belajar dari Rian. Aku tak ingin semuanya terulang, walaupun sebersit niat untuk ingin mengulang aku dimasa kami masih berbahagia bersama. Namun, kembali lagi.. aku urungkan niatku yang maya itu.
*
Tok tok tok pintu rumahku berbunyi dengan suara pelan namun nyaring kudengar. Ku buka pintunya, ternyata Sila adik Rian. Ku suruh dia masuk dan duduk di ruang tamu, sedangkan aku ke belakang menyiapkan minuman dan cemilan. Lalu menghidangkannya.
"Kakak, ikut aku yuk." Sila memulai pembicaraan sesaat setelah kutaruh minuman dan makanan ringan.
"Kemana sayang? Kok kamu tumben? Ini udah sore kan?" jawabku.
"Sebentar aja kak, kita lihat matahari terbenam ya. Kakak suka senja kan? Aku tahu dari kak Rian." dengan begitu lugunya dia berkata.
Aku sedikit terkejut dengan perkataan Sila barusan. Dengan lidah yang terasa kelu, aku menjawab.. "Iya sayang, tunggu sebentar ya. Aku ganti baju dulu." lalu kunaiki tangga menuju kamarku. Berganti pakaian secepat dan sesimple mungkin.
"Aku mau nunjukin sesuatu ke kakak." senyumnya menyungging dari bibirnya yang merah muda.
"Sesuatu apa? Kita kemana?" aku masih kaget. Kejutan apa lagi ini, gumamku dalam hati.
"Dari sini, terus, ada perempatan belok kiri."
"Oke sayang."
10 menit akhirnya aku dan Sila sampai. Aku mulai tak sabar. Sila langsung menunjuk kearah langit yang berwarnah orange kemerahan. Senja. Matahari terbenam. Aku sangat menyukai itu. Tak lama, Sila menggandeng tanganku. Aku baru menyadari tak jauh dari situ ada sebuah TPU. Aku baru pertama kali kesini. Aku mengerutkan dahiku. Mengapa kesini? Hatiku mulai deg-degan. Bukannya aku takut. Tapi kenapa? Aku bingung. Sila tetap berjalan. Kuikuti langkahnya. Lalu berhenti di sebuah nisan.
Mataku terbelalak, nisan itu bertuliskan "Rian Pratama". Air mataku mulai berkuasa. Aku tak mengeluarkan sepatah katapun saat Sila menceritakan semuanya. Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata apapun yang dapat menjelaskan perasaanku saat itu, betapa sedihnya. Aku sangat ingin memutar waktu.
Aku rindu, Senjaku.
Namamu selalu kurapalkan dalam do'a. Tak ada sholat yang tertinggal tanpa namamu disetiap pintaku pada-Nya. Aku selalu mengharapkan akulah satu-satunya bagimu. Yang pertama dan terakhir. Namun.. semua berubah. Seakan dunia ini mengikuti arusmu, berubah dan sangat berbeda. Aku merasa asing dengan keadaan ini. Apakah dengan kamu mengucap putus dapat menyembuhkan luka ini secara perlahan? Luka ini begitu dalam kurasakan saat kamu berubah. Kamu mulai berani membentakku, tidak memberi kabar, dan tak jarang aku lihat kamu sedang mengobrol dengan wanita lain. Kamu tahu? Aku menangis. Aku ingin sekali mengais masa itu. Masa yang selalu kucari keberadaannya namun selalu gagal kutemukan. Aku terlalu baik untuk selalu memaafkanmu walau tak pernah lagi kudengar kata 'maaf' darimu. Aku rindu kamu yang dulu. Aku tetap merapalkan namamu dalam do'aku, ku tambahkan pintaku untuk mengembalikanmu seperti dulu. Aku tak sanggup untuk terus menangis menahan semuanya. Aku kira aku dan kamu, akan menjadi yang terakhir di masing-masing hidup kita. Aku tak menyangka kamu sangat cepat berubah dengan semua yang telah kita lewati.. selama ini. Senja itu, aku menangis. Namun aku tak menemukan sosok yang selalu kuharapkan datang untuk menghapus air mata ini.
*
"Kakak gak bisa lakuin itu ke kak Klara, dia pasti gak akan nerima ini semua. Kakak lebih baik jujur atas penyakit yang kakak alami. Aku tahu kakak sayang sama kak Klara. Jangan diem aja kak Rian, aku tahu kakak kuat jalanin ini semua." adikku memberiku ocehan yang kesekian kalinya karena aku yang bersih keras memutuskan hubunganku dengan Klara. Aku tak bisa membiarkan Klara tahu bahwa aku sakit. Kanker paru-paru. Aku tak bisa menerima kenyataan pahit ini, tapi aku lebih tak bisa jika nanti Klara melihat jasadku dengan tangisan. Aku tak bisa melihatnya menangis. Tapi sekarang, akulah lelaki tolol yang membuat malam kelabunya sangat pilu dan selalu dihiasi jeritan-jeritan kecil penuh penderitaan. Akulah yang sengaja untuk menjauh, membentaknya, tidak memberi kabar, dan mendekati wanita lain. Sekarang, aku telah lega.. kami telah berpisah. Bahwa aku lebih baik yang menderita, daripada dia yang menangis. Aku rela, ikhlas, dan tak pernah aku lelah mencintainya.
*
5 bulan setelah kami putus, aku sudah mempunyai pengganti Rian. Yang sebenarnya tak mampu seperti yang Rian berikan, namun setidaknya, dia anak yang baik walaupun aku tak suka lelaki yang merokok. Sampai sekarang, aku masih merasakan dendam dan penderitaan yang tak kunjung larut dalam kehidupanku, semuanya begitu cepat namun merubah setiap selah pemikiranku. Sekarang, aku lebih melihat lelaki yang tidak baik dalam arti dia aktif, daripada lelaki yang diam tapi ternyata menghanyutkan. Aku sudah banyak belajar dari Rian. Aku tak ingin semuanya terulang, walaupun sebersit niat untuk ingin mengulang aku dimasa kami masih berbahagia bersama. Namun, kembali lagi.. aku urungkan niatku yang maya itu.
*
Tok tok tok pintu rumahku berbunyi dengan suara pelan namun nyaring kudengar. Ku buka pintunya, ternyata Sila adik Rian. Ku suruh dia masuk dan duduk di ruang tamu, sedangkan aku ke belakang menyiapkan minuman dan cemilan. Lalu menghidangkannya.
"Kakak, ikut aku yuk." Sila memulai pembicaraan sesaat setelah kutaruh minuman dan makanan ringan.
"Kemana sayang? Kok kamu tumben? Ini udah sore kan?" jawabku.
"Sebentar aja kak, kita lihat matahari terbenam ya. Kakak suka senja kan? Aku tahu dari kak Rian." dengan begitu lugunya dia berkata.
Aku sedikit terkejut dengan perkataan Sila barusan. Dengan lidah yang terasa kelu, aku menjawab.. "Iya sayang, tunggu sebentar ya. Aku ganti baju dulu." lalu kunaiki tangga menuju kamarku. Berganti pakaian secepat dan sesimple mungkin.
"Aku mau nunjukin sesuatu ke kakak." senyumnya menyungging dari bibirnya yang merah muda.
"Sesuatu apa? Kita kemana?" aku masih kaget. Kejutan apa lagi ini, gumamku dalam hati.
"Dari sini, terus, ada perempatan belok kiri."
"Oke sayang."
10 menit akhirnya aku dan Sila sampai. Aku mulai tak sabar. Sila langsung menunjuk kearah langit yang berwarnah orange kemerahan. Senja. Matahari terbenam. Aku sangat menyukai itu. Tak lama, Sila menggandeng tanganku. Aku baru menyadari tak jauh dari situ ada sebuah TPU. Aku baru pertama kali kesini. Aku mengerutkan dahiku. Mengapa kesini? Hatiku mulai deg-degan. Bukannya aku takut. Tapi kenapa? Aku bingung. Sila tetap berjalan. Kuikuti langkahnya. Lalu berhenti di sebuah nisan.
Mataku terbelalak, nisan itu bertuliskan "Rian Pratama". Air mataku mulai berkuasa. Aku tak mengeluarkan sepatah katapun saat Sila menceritakan semuanya. Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata apapun yang dapat menjelaskan perasaanku saat itu, betapa sedihnya. Aku sangat ingin memutar waktu.
Aku rindu, Senjaku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment