Dec 24, 2012

Untitled


            Selalu ada rindu yang menyeruak menyesakkan dada. Selalu ada ruang peluh yang selalu ingin keluar di pelupuk mata. Jarak memisahkan seorang anak dengan seorang gagah yang biasa disebut Ayah. Perceraian membuat hidup dan silsilah keluarga semakin pelik untuk dimengerti. Tidak selalu mudah rasanya menjalani hari-hari tanpa orang tua kandung yang utuh. Tetapi, ia tetap berdiri dengan dagu diangkat dan punggung yang tegap, memandang kedepan dengan harapan; masih ada sepercik kebahagiaan untuknya. Percaya, bahwa didepan akan selalu terselip keajaiban; rencana Tuhan yang selalu indah pada masanya.
            Dia belajar, banyak sekali belajar; apa arti semua ini. Belajar menjadi sosok lelaki yang bertanggung jawab dan tahan banting, serta tidak emosional dan setia. Dia belajar dari semua yang telah ia lihat dan lewati. Memahami apa arti bertemu dan kehilangan. Bahwa, memang tidak ada yang abadi. Dan ketika sesuatu yang mungkin bukan lagi milik kita, kita hanya perlu merelakannya pergi dan mencoba ikhlas.
            Guratan-guratan bayangan tentang kebahagiaan ketika ia berumur 3 tahun, masih selalu dapat ia rasakan, namun tetap tidak mampu kembali ia gapai. Kepedihan instan yang ia rasakan saat itu, yang selalu berhasil membuat ia menitihkan titik-titik kepiluan. Merenggut senyum tulusnya secara perlahan. Aku tersentuh.
            Selalu ada waktu dimana dia akan berpura-pura tersenyum, memaksakan tawa, menyerupai orang lain yang bahagia. Namun tidak dalam hatinya. Hatinya, berontak. Selalu meronta meminta keadaan berbalik. Selalu menyeka air matanya ketika ia menyadari ia sedang dirundu emosi yang menahan nafasnya hingga sesak dan tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata; menangis.
            Dia masih sering terenyuh oleh masa-masa dimana semua masih indah. Tetapi, dia tetap kokoh dan tidak pernah tumbang. Namun, dia seolah bimbang, ada anak dari rahim ibu kandungnya atas nama ayah tirinya dan ada anak dari rahim ibu tirinya atas nama ayah kandungnya. Lagi-lagi takdir memaksanya untuk merasakan kepiluan; entah siapa yang akan dia anggap adik dan dianggap ‘siapa’ ia dimata adik-adik tirinya. Semuanya, dia anggap sebagai nestapa pelajaran hidup yang ketika diingat masih menyisakan air mata.
            Lihat dia. Penampilannya brutal tetapi jiwanya rapuh. Wajahnya anarkis tetapi hatinya miris. Tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, cuek, namun diam-diam menyembunyikan luka lama yang belum kering dan dibiarkan menganga.
            Dia selalu seperti itu. peluhnya selalu bisa saja meleleh dan tumpah tiba-tiba tetapi selalu ia tahan. Namun, nyatanya; dia membutuhkan tempat bersandar, tempat dimana ia akan selalu dihormati bukan karena latar belakang keluarganya, selalu didengarkan, lalu diberi petuah menenangkan jiwa. Tempat luapan hatinya yang bergejolak selain kamarnya yang bisu.
            Dia bisa meledak kapan saja. Sewaktu-waktu. Bahkan, dalam gelak tawanya maupun dalam rekahan senyumnya. Hatinya masih penuh luka.
            Aku bangga bertemu dia. Dia yang selalu menyulut rokoknya ketika kembali mengingat masa kelamnya. Dia yang selalu menjadi batu karang yang diam-diam terkikis oleh air laut. Dia yang memiliki hidupnya sendiri ketika bertemu kamarnya. Kamarnya yang selalu suram, kamarnya yang selalu ia pakai untuk berpikir keras sepanjang waktu, berdoa, berharap, dan tidak lupa mengucap syukur, beribadah, dan tentu saja melampiaskan kemarahan. Dia yang selalu punya tatapan penuh goresan kesepian dan binar kehampaan. Dia yang selalu mengepal tangannya dan mengatupkan rahang ketika sedang marah walau tetap dalam diam. Dan, aku. Aku yang selalu ingin mendampinginya, menjadi tempatnya bersandar, dan menerima apapun keadaannya; susah-senangnya, sehat-sakitnya, dan tangis-tawanya. Aku selalu ingin. Akan selalu ingin. Sambil meraba-raba keajaiban, apakah dia dan aku akan bersatu dalam satu kemasan rencana Tuhan yang apik; takdir.

***

            Aku berlari menuju persimpangan lorong tua yang gelap gulita. Hanya ada lampu pinggir jalan yang hampir redup.
            “Bisa tunjukkan dimana ujung lorong ini? Saya tidak tahu harus menuju kanan atau kiri.” Kataku dengan wajah yang hampir memohon.
            “Anda salah jalan nona. Berputarlah, belok kanan, dan Anda akan menemukan gang yang akan menuju jalan raya.” Kata pak tua yang menanggapiku dengan matanya yang sayu.
            “Tidak. Kau harus ke kiri. Dan disitu akan ada jalan raya. Ikuti saja jalan. Jangan ikuti kata berengsek tua ini.”
            Lalu terdengar desah miris dari pak tua bermata sayu yang berada tepat disamping kiri lelaki yang barusan menjawab pertanyaanku dengan jujur.
            “Terimakasih.. siapa?”
            “Bukankah kau hanya bertanya ujung lorong tua ini? Nama saya bukanlah bagian dari itu.”
            “Baiklah, teman.”
            Aku melanjutkan jalan. Gontai hingga hamir jatuh beberapa kali karena tersandung batu-batu kecil. Gelap. Samar, hingga baru kusadari sepanjang lorong itu berjejer para gelandangan sedang terlelap. Bukankah hidup ini begitu kejam?
            Tepat 15 menit setelah menyusuri jalan, aku akhirnya bertemu dengan jalan raya.
            Terimakasih, Tuhan. Aku membatin.

***

            Aku ingat pagi itu. Ya! Sangat. Aku mengingatnya dengan sangat baik.
            “Hai.”
            “Anda salah orang,” katanya.
            “Tidak,” aku menatapnya tajam “Saya hampir hapal dan wajahmu seperti apa, walaupun semalam gelap. Saya bukan pengingat yang buruk.”
            “Oh benarkah? Gadis berkuncir kuda semalam?”
            “Ya, tentu saja. Terimakasih atas bantuanmu.”
            “Bukan apa-apa.”
            Hanya ada hening setelahnya. Aku berpikir keras apa yang harus kulakukan agar bisa berlama-lama dengannya. Terlalu misterius.
            “Ingin minum kopi?” kataku, mendapatkan ide cemerlang.
            “Saya tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke tempat yang mungkin biasa anda datangi.”
            “Tentu saja ini ucapan terimakasih.”
            “Baiklah,” dengan sedikit terpaksa dan ragu, matanya berbicara.
            Kami berjalan beriringan. Ia disamping kananku. Gagah. Dengan badannya yang kelihatan sangat tangguh. Hanya saja.. matanya.. hitam pekat yang banyak menyimpan banyak luka, itu sangat terlihat. Bukan orang biasa. Dia berbeda, batinku.
            Dia menarik.
            Ketika sudah memilih tempat di kedai kopi yang cukup luas. Aku memilih untuk membuyarkan keheningan, “Bisakah kita bicara sedikit?”
            “Tentang apa?” ia menaikkan alisnya, seperti tidak menyukai perkataanku barusan.
            “Bisa nggak kita nggak usah pake Saya-Anda?”
            “Terserah,” katanya acuh.
            Aku belum pernah merasakan ketegangan yang seluar biasa ini. Semuanya seakan beku seketika. Hingga suara angin bisa kami dengar. Aku tidak tahu akan membicarakan apa, tetapi aku ingin sekali mengetahui semuanya. Bahkan, namanya pun aku belum tahu. Aha!
            “Ra Anasty,” aku mengulurkan tangan kananku kedepan wajahnya, tentu saja dengan senyum yang mengembang, begitu lebar.
            “Razif,” dia mengulurkan tangan dengan sangat ragu.
            “Dimana rumahmu? Sekolah dimana? Kelas berapa? Dan siapa orang tuamu?” pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dengan sangat frontal dan refleks, aku merasa sedikit tidak enak. Apalagi, wajah Razif seperti bicara ‘Siapa kau? Berani-beraninya menanyakan yang bukan urusanmu!’ dan jantungku rasanya seperti ingin aku makan saja karena detakannya sudah tidak teratur dan begitu cepat, aku benci mendengar detakan jantungku ketika sedang khawatir.
            “Perumahan belakang lorong tua semalam. SMA Harapan Bangsa. Kelas 11. Apakah itu penting? Maksudku, orang tuaku bukanlah urusanmu.”
            “Maaf. Aku refleks. Mohon sedikit mengerti, aku hanya… gerogi?” cara bicaraku seperti orang tolol! Oh Tuhan.. aku berharap sekarang juga aku bisa menghilang secara tiba-tiba hanya dengan mengucapkan kata ajaib seperti ‘Tring!’ misalnya. Uh.
            “Apa?”
            “Ha? Tidak. Lupakan!”
            “Bisakah kita pulang sekarang? aku memiliki urusan lain.”
            “Ba..ba..i...k.. Kau duluan saja. Terimakasih atas waktumu…”
            Dengan menyerangku dengan tatapan aneh. Sepersekian detik berikutnya dia pergi, “Ya, bukan masalah.” Adalah kalimat terakhirnya.
            Bukankah aku melakukan hal yang sangat konyol barusan? Tuhan!

***

            Aku pulang dengan badan yang sempoyongan, dan sering kali hampir hilang keseimbangan. Rasanya aku sudah lelah hidup dan bernafas. God! Take me, batinku.
            “Darimana saja?”
            “Bermalam dengan teman-teman.”
            “Bandmu?”
            “Begitulah.”
            “Bukankah ibu sudah bilang untuk fokus pada sekolahmu dan berhenti main-main!”
            “Aku hanya menghilangkan rasa bosan.”
            “Nak, hanya saja.. Ibu terkadang sering merasa sudah kehilanganmu. Maksud Ibu, kita hampir tidak saling mengenal.”
            “Bisakah kita bahas ini lain kali? Aku hampir tidak tidur semalam.”
            “Istirahatlah..”
            “Ya, memang itu yang ingin kulakukan.”
            Aku menutup pintu kamarku. Menguncinya. Benar-benar menguncinya; mengunci diri dan pikiranku, berbicara lantang dan bertengkar dengan anggota tubuhku dalam bisunya keadaan, di kamarku; satu-satunya tempat pribadiku.
            Aku memutuskan untuk tidak tidur. Aku menyerap kata-kata ibuku tadi. Melihat goresan matanya yang penuh rasa rindu pada anaknya. Dan disini anaknya menyendiri, bergulat dengan mulut tertutup. Otakku marah, hatiku menangis, mataku hampir tidak mau terbuka sangking lelahnya, badanku tergulai lemah menahan capek. Namun, disinilah aku; duduk termangu di pojok kanan kamarku yang gelap. Disinilah jati diriku. Diriku yang sebenarnya; kokoh namun rapuh.
            Tidak ada yang lebih menyakitkan dari melihat Ibu berbicara seperti tadi. Ia kehilanganku dari peredaran hidupnya. Merasa aku adalah orang asing yang ia lahirkan, sejak hari itu. Hari dimana semua keadaan seperti habis terkena badai. Hancur berantakan. Hidup tidak lagi mudah, banyak sesak yang menyelimuti. Terlalu banyak, hingga hampir membuatku sulit bernafas.

***

            Persimpangan lorong tua. Razif! Satu nama yang terlintas dalam otakku. Kebetulan ini siang hari, mungkin sedikit harapan ia ada disana. Tapi semoga firasatku benar.
            “Haiiii, Razif..”
            “Ada apa lagi?”
            “Bisakah kita berbicara tentang hal tidak penting hari ini? Aku butuh teman.”
            Aku gemetaran. Getaran itu, membuat aku hampir beku di hadapannya! Walaupun takut, aku terpaksa harus nekad. Aku hanya sedikit ‘kepo’ maksudku mungkin, aku benar-benar sangat ingin tahu semua tentangnya!!!!! God…
            “Razif?”
            “Ayo!”
            10 menit setelahnya, aku sudah sampai di sebuah danau yang sangat asing. Letaknya terpencil, harus masuk beberapa gang kecil yang panjang, jalannya juga sangat rumit, becek, dan kurang terawat. Tapi, disini sangat.. awesome. Hanya ada aku dan Razif. Dengan air yang tenang. Suara angin yang terdengar, goyangan rumput yang sejuk, dan nafas kami yang hampir jelas terdengar.
            Razif berjalan. Agak jauh dari tempat kami berdiri sebelumnya. Lalu berhenti di sebuah dermaga kayu yang tidak lebar, tidak ada pegangan kayu, tidak luas, dan biasa saja. Kayunya juga sudah tua. Dia berdiri diujungnya, lalu melepas sepatunya. Membiarkan kakinya menyentuh dinginnya danau, lalu sedetik setelah itu aku menirukan hal yang sama seperti yang Razif lakukan. Aku duduk membelakanginya, dia menghadap timur dan aku menghadap barat. Hanya ada suara alami dari alam yang terdengar menenangkan jiwa kami.
            Aku menyukai tempat ini.
            “Aku tidak salah mencarimu. Kau membawaku ke tempat yang kurasa menyatukan jiwa kita. Pemendam dan penasaran. Itulah kita. Aku bertugas bertanya dan kau menjawab. Kau bertugas diam dan aku selalu berbicara. Bukankah Tuhan menakdirkan umatnya untuk saling mengisi kekurangan jodohnya? Maksudku, saling menyempurnakan. Kau percaya keajaiban? Aku percaya. Dan aku akan terus berharap pada keajaiban, bahwa kita akan menjadi pasangan yang ditakdirkan Tuhan.”
            “Apa?”
            “Aku hanya berharap. Jika kau tidak mendukung, itu urusanmu.”
            “Sebaiknya memang jangan terlalu berharap.”
            “Kenapa? Semua berawal dari harapan.”
            “Bukan. Tapi harapan, doa, dan usaha.”
            Well, yah.. kau benar. Tapi setidaknya aku sudah memasuki 1 step, right?
            “Terserah,” katanya dengan nada yang seolah berkata ‘Aku lelah dengan ocehanmu’.
            Tell me something I don’t know about you, Razif!”
            “Terlalu banyak..”
            “Jika kau mengenalkan siapa dirimu, kau tidak perlu menceritakan semuanya. I mean, inti dari dirimu. Aku bisa melihatnya dari apa yang terjadi, misalnya masalah dalam hidupmu. Kepribadian tercipta karena lingkungan.”
            “Apa itu kata-kata pancingan?” aku merasa dia sedikit menarik salah satu sudut bibirnya keatas, seperti orang sedang meremehkan.
            “Ya!”
            “Agresif.”
            “Aku memang tipe orang seperti itu.”
            “Aku akan menjelaskannya singkat, jadi gunakanlah telinga dan otakmu dengan maksimal.”
            “Pasti!” aku tersenyum lebar, mungkin sangat lebar. Entahlah. Aku hanya terlalu bergembira.
            Aku tidak pernah lupa sebelum aku umur 3 tahun, hidupku hampir sempurna. Anak sulung dari pasangan yang bahagia. Aku mensyukuri itu. Tapi tidak saat aku umur 3 tahun. Seperti ada kabut hitam yang menyelimuti keluarga mungilku. Semuanya, hampir berbalik. Bahkan sudah berbalik. Sejak hari itu. Perceraian. Melumerkan semua kebahagiaan. Bahkan untuk tersenyum tulus pun sulit. Senyum rasanya sangat menyakitkan sekali dalam keadaan seperti itu. Untung saja aku masih terlalu kecil untuk mencerna semua itu, masih terlalu kecil untuk mengerti.
            Mereka berpisah. Aku bersama Ibuku. Dan sekarang, aku punya Ayah tiri dan ibu tiri. Namun ibu tiriku sudah wafat beberapa tahun yang lalu. Ayahku di Bandung. Keluarga baru yang sangat rumit untuk aku mengerti.
            Mereka mempunyai anak-anak baru. Bayi-bayi kecil yang tidak sanggup untuk kusebut adik tiri. Bayi-bayi kecil yang entah akan menganggapku apa, kelak.
            Aku marah. Aku benci. Aku mengeluh. Aku menolak. Bukan, sia-sia, tapi percuma.
            Keadaan seakan memusuhiku. Semuanya jauh dari kata senang.
            Aku sering merasa seperti hidupku kosong dan sepi.
            Aku tidak mengenal lagi aku yang dulu. Aku hampir lupa bagaimana rasanya bahagia. Berpura-pura bahagia semakin menyiksaku. Membuat hatiku beku oleh dunia luar.
            Suaranya serak sekarang. Kurasa dia menangis.
            Hidup hampir tidak adil untukku. Tidak ada ruang yang mampu membuatku bahagia di dunia ini. Aku hampir bosan bernafas. Tapi, aku selalu mencoba bersyukur. Karena, aku masih diberikan kehidupan. Walaupun, gerah dengan semuanya. Muak, bahkan.
            “Tuhan memiliki hadiah suatu saat untukmu, bersabarlah.”
            I hope so..
            “Percayalah!”
            “Aku sedang mencoba!”
            “Tidak rindu dengan ayahmu?”
            “Rindu sekali, bodoh!”
            “Temui..”
            “Belum ada waktu senggang.”
            “Tapi kau terus bermain dengan teman-temanmu!”
            “Itu bukan bagian dari waktu senggangku!”
            “Oh..” aku berpikir keras apa yang ingin kulakukan, “Ayo kita pulang. Ini sudah hampir senja!”

***
            Rasanya.. aku ingin sekali mengangkat bebannya. Menjadi sandarannya. Mendengarkan setiap masalahnya. Menyediakan pundak untuknya menangis. Memberikan solusi sebisaku. Meringankan hidupnya. Melihatnya tersenyum dan tertawa tulus dan lepas, tidak seperti sekarang yang dipaksakan dan penuh kepura-puraan.
            Aku menghela napas panjang…
            Berpikir kembali dengan semua harapanku. Terlalu mustahil.
            Siapa kau? Memang Razif mau punya kekasih sepertimu? Gadis aneh yang tidak pernah berhenti bicara? Apa kau sudah cukup cantik hingga berani berharap dia akan jatuh cinta padamu hanya karena kau dipercaya mendengarkan keluh-kesahnya? Hatiku mengejek.
            Ya! Aku memang tidak cukup pantas untuknya. Aku tidak cantik dan kukira Razif tidak akan pernah menyukaiku sampai kapanpun, apalagi akan jatuh cinta, sepertinya itu.. sangatlah mustahil.

***

            Aku sering memikirkannya belakangan ini.
            Baru kali ini aku benar-benar bercerita.. apa yang terjadi, hampir semuanya, hampir lengkap. Tetapi, luka itu bukan semakin terbuka.. malah perlahan menutup. Dia menghangatkan setiap keadaan. Memberiku pencerahan agar menutup luka lama, membiarkannya berlalu dan menjadikannya kisah; latar belakang pembentuk jati diri.
            Jadi, selama ini yang aku butuhkan hanyalah; teman? Tempat bercerita dan meminta pendapat?

***

            Dia sudah bisa tertawa dan tersenyum! Aku bahagia.. kali ini benar-benar gembira. Aku melihat sulutan api kebahagiaan dimatanya. Tuhan.. indah sekali!!!!!!!
            “Ra..” ia menyulutkan api ke ujung batang rokoknya, bersiap menghisapnya dalam-dalam.
            “Ya?”
            “Orang tua kamu…” kata-katanya berhenti menggantungkan kalimat.
            Aku menengok sambil tersenyum kecut, “Mereka ada disana.” Aku menunjuk kearah langit.
            “Aku percaya itu.”
            “Kau masih lebih beruntung..”
            “Bukan maksudku..”
            “Ayolah, jangan terlalu serius. Nikmati hidupmu dengan banyak tertawa. Kau terlalu peka dan sensitive, tau!”
            “Hahaha..” kali ini dia benar-benar tertawa.. tertawa yang sebelumnya belum pernah kulihat. Manis sekali. Bibirnya membentuk luas yang agak lebar, tersenyum berlebihan; tertawa.
            Dan, disinilah aku dengannya. Menyelupkan sebagian kaki kami ke danau sambil duduk membelakangi, tentu saja di dermaga kayu. Melawan angin. Berbicara sendiri dalam diri masing-masing, yang ada hanya hembusan nafas kami yang untung saja tidak berbentuk uap seperti di film-film, karena udara disini sedang sangat dingin.
            Ini ritual kami.
            “Aku mulai mencintai danau ini, dan..” kalimatku tertahan dan hampir keluar; dan tentu saja mencintai kau! Batinku menggerutu dalam hati.
            “Dan apa?”
            “Dan keindahannya!”
            “Hampir saja aku mengira kau mulai mencintaiku..” dia tidak tertawa, kukira dia sedang melucu. Malah kalimatnya terdengar begitu serius.
            Hening.
            Masih diam.
            “Apa?” kataku, seperti orang bodoh…
            “Apa kau tuli?”
            “Aku hanya tidak mengerti.”
            Dia diam.
            Rambutku bergoyang dimainkan oleh angin. Dan entah mengapa sekarang aku merasa sedikit kedinginan. Jangan sekarang, Tuhan.. aku masih ingin disini. Sebentar saja. Aku menggigil.
            Pandanganku hitam. Semuanya gelap. Aku pingsan.
            Terakhir yang aku rasakan, Razif menggoyang-goyangkan tubuhku memohon agar aku  bangun dan tidak bercanda. Namun, aku sudah tidak mampu lagi membuka mata. Badanku letih.

***
           
            “Bagaimana keadaannya, dok?”
            “Dia hanya kurang istirahat..” kata dokter muda yang wajahnya hampir tidak mirip dokter, “Jangan main terlalu berlebihan, dia sangat rentan dengan penyakit,” lanjutnya.   
            “Baik, dok.”

            Aku melesat ke ruang dimana dia dirawat. Tuhan.. sembuhkan dia! Aku mohon! Sekali ini saja. Biarkan aku yang sakit menggantikannya..
            “Hai..” suara seraknya keluar dengan susah payah. Aku tidak tega melihatnya seperti ini.
            “Hai.. apa kau sudah baikan?”
            I hope so.. tapi nggak tau, kata dokter sudah.”
            “Bagaimana perasaanmu?”
            “Aku hanya agak sulit bernafas. Jadi tolong setelah ini jangan meminta Tuhan untuk mengambil nafasmu, karena rasanya sangat tidak enak!”
            “Hahaha.. istirahat aja gih!”
            “Iya. Tapi temenin ya?”
            “Manja!”
            Dia hanya tersenyum jahil. Manis.

***
           
            Sejak saat itu. Aku merasa, kami saling mengisi kekosongan. Razif dan Ra. Aku dan Ra. Hanya aku dan dia. Dia memberi kehangatan untukku dan aku menyempurnakan dirinya. Kami saling menyempurnakan kekurangan yang ada.
            Kami tidak pernah bosan bercerita. Tetapi tetap seperti yang Ra katakan, Pemendam dan penasaran. Itulah kita. Aku bertugas bertanya dan kau menjawab. Kau bertugas diam dan aku selalu berbicara.
            Aku mencintainya atas nama-Mu, Tuhan. Batinku.
           
            Dan sampai pada saatnya. Ibuku yang meminta Ra menjadi pendampingku. Selamanya.
            Dan yang terakhir, kami menangis bahagia bersama saat di danau ketika aku memintanya menjadi yang terakhir, dan dia memintaku agar aku terus menjaganya. Aku mengiyakan. Lalu kami tertawa setelahnya. Itu menyenangkan.

            “Aku sayang Razif. Sayang banget..” ia teriak di atas dermaga.
            “Banyak orang yang bilang seperti itu, tetapi akhirnya menarik ucapannya tanpa meminta maaf..”
            “Berdoa bersama! Agar kita tidak akan mengenal apa itu perpisahan, maka aku tidak akan menarik kata-kataku yang ‘sayang banget’.”
            “Kalau berpisah?”
            “Apa aku harus meminta maaf?”
            “Ya. Tetapi, berjanjilah untuk tidak akan meninggalkanku. Aku akan menyayangimu selama kamu menyayangiku juga.”
            “Janji jari kelingking!”
            Lalu kelingking kami menyatu. Kami tersenyum bersama. Tertawa. Mentertawakan diri kami sendiri atas kekonyolan yang baru saja kami lakukan.
            Terimakasih, Tuhan.

***

            Orang tuaku tetap hidup. Aku juga. Hidup tidak akan berhenti dan kami juga tidak mati. Broken Home buruk karena pandangan kita yang selalu buruk. Buktinya, aku masih disini. Masih bisa tertawa. Masih dihargai bukan karena latar belakang keluargaku. Melainkan, jati diriku.

0 comments:

Post a Comment

Dec 24, 2012

Untitled


            Selalu ada rindu yang menyeruak menyesakkan dada. Selalu ada ruang peluh yang selalu ingin keluar di pelupuk mata. Jarak memisahkan seorang anak dengan seorang gagah yang biasa disebut Ayah. Perceraian membuat hidup dan silsilah keluarga semakin pelik untuk dimengerti. Tidak selalu mudah rasanya menjalani hari-hari tanpa orang tua kandung yang utuh. Tetapi, ia tetap berdiri dengan dagu diangkat dan punggung yang tegap, memandang kedepan dengan harapan; masih ada sepercik kebahagiaan untuknya. Percaya, bahwa didepan akan selalu terselip keajaiban; rencana Tuhan yang selalu indah pada masanya.
            Dia belajar, banyak sekali belajar; apa arti semua ini. Belajar menjadi sosok lelaki yang bertanggung jawab dan tahan banting, serta tidak emosional dan setia. Dia belajar dari semua yang telah ia lihat dan lewati. Memahami apa arti bertemu dan kehilangan. Bahwa, memang tidak ada yang abadi. Dan ketika sesuatu yang mungkin bukan lagi milik kita, kita hanya perlu merelakannya pergi dan mencoba ikhlas.
            Guratan-guratan bayangan tentang kebahagiaan ketika ia berumur 3 tahun, masih selalu dapat ia rasakan, namun tetap tidak mampu kembali ia gapai. Kepedihan instan yang ia rasakan saat itu, yang selalu berhasil membuat ia menitihkan titik-titik kepiluan. Merenggut senyum tulusnya secara perlahan. Aku tersentuh.
            Selalu ada waktu dimana dia akan berpura-pura tersenyum, memaksakan tawa, menyerupai orang lain yang bahagia. Namun tidak dalam hatinya. Hatinya, berontak. Selalu meronta meminta keadaan berbalik. Selalu menyeka air matanya ketika ia menyadari ia sedang dirundu emosi yang menahan nafasnya hingga sesak dan tidak dapat lagi mengeluarkan kata-kata; menangis.
            Dia masih sering terenyuh oleh masa-masa dimana semua masih indah. Tetapi, dia tetap kokoh dan tidak pernah tumbang. Namun, dia seolah bimbang, ada anak dari rahim ibu kandungnya atas nama ayah tirinya dan ada anak dari rahim ibu tirinya atas nama ayah kandungnya. Lagi-lagi takdir memaksanya untuk merasakan kepiluan; entah siapa yang akan dia anggap adik dan dianggap ‘siapa’ ia dimata adik-adik tirinya. Semuanya, dia anggap sebagai nestapa pelajaran hidup yang ketika diingat masih menyisakan air mata.
            Lihat dia. Penampilannya brutal tetapi jiwanya rapuh. Wajahnya anarkis tetapi hatinya miris. Tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, cuek, namun diam-diam menyembunyikan luka lama yang belum kering dan dibiarkan menganga.
            Dia selalu seperti itu. peluhnya selalu bisa saja meleleh dan tumpah tiba-tiba tetapi selalu ia tahan. Namun, nyatanya; dia membutuhkan tempat bersandar, tempat dimana ia akan selalu dihormati bukan karena latar belakang keluarganya, selalu didengarkan, lalu diberi petuah menenangkan jiwa. Tempat luapan hatinya yang bergejolak selain kamarnya yang bisu.
            Dia bisa meledak kapan saja. Sewaktu-waktu. Bahkan, dalam gelak tawanya maupun dalam rekahan senyumnya. Hatinya masih penuh luka.
            Aku bangga bertemu dia. Dia yang selalu menyulut rokoknya ketika kembali mengingat masa kelamnya. Dia yang selalu menjadi batu karang yang diam-diam terkikis oleh air laut. Dia yang memiliki hidupnya sendiri ketika bertemu kamarnya. Kamarnya yang selalu suram, kamarnya yang selalu ia pakai untuk berpikir keras sepanjang waktu, berdoa, berharap, dan tidak lupa mengucap syukur, beribadah, dan tentu saja melampiaskan kemarahan. Dia yang selalu punya tatapan penuh goresan kesepian dan binar kehampaan. Dia yang selalu mengepal tangannya dan mengatupkan rahang ketika sedang marah walau tetap dalam diam. Dan, aku. Aku yang selalu ingin mendampinginya, menjadi tempatnya bersandar, dan menerima apapun keadaannya; susah-senangnya, sehat-sakitnya, dan tangis-tawanya. Aku selalu ingin. Akan selalu ingin. Sambil meraba-raba keajaiban, apakah dia dan aku akan bersatu dalam satu kemasan rencana Tuhan yang apik; takdir.

***

            Aku berlari menuju persimpangan lorong tua yang gelap gulita. Hanya ada lampu pinggir jalan yang hampir redup.
            “Bisa tunjukkan dimana ujung lorong ini? Saya tidak tahu harus menuju kanan atau kiri.” Kataku dengan wajah yang hampir memohon.
            “Anda salah jalan nona. Berputarlah, belok kanan, dan Anda akan menemukan gang yang akan menuju jalan raya.” Kata pak tua yang menanggapiku dengan matanya yang sayu.
            “Tidak. Kau harus ke kiri. Dan disitu akan ada jalan raya. Ikuti saja jalan. Jangan ikuti kata berengsek tua ini.”
            Lalu terdengar desah miris dari pak tua bermata sayu yang berada tepat disamping kiri lelaki yang barusan menjawab pertanyaanku dengan jujur.
            “Terimakasih.. siapa?”
            “Bukankah kau hanya bertanya ujung lorong tua ini? Nama saya bukanlah bagian dari itu.”
            “Baiklah, teman.”
            Aku melanjutkan jalan. Gontai hingga hamir jatuh beberapa kali karena tersandung batu-batu kecil. Gelap. Samar, hingga baru kusadari sepanjang lorong itu berjejer para gelandangan sedang terlelap. Bukankah hidup ini begitu kejam?
            Tepat 15 menit setelah menyusuri jalan, aku akhirnya bertemu dengan jalan raya.
            Terimakasih, Tuhan. Aku membatin.

***

            Aku ingat pagi itu. Ya! Sangat. Aku mengingatnya dengan sangat baik.
            “Hai.”
            “Anda salah orang,” katanya.
            “Tidak,” aku menatapnya tajam “Saya hampir hapal dan wajahmu seperti apa, walaupun semalam gelap. Saya bukan pengingat yang buruk.”
            “Oh benarkah? Gadis berkuncir kuda semalam?”
            “Ya, tentu saja. Terimakasih atas bantuanmu.”
            “Bukan apa-apa.”
            Hanya ada hening setelahnya. Aku berpikir keras apa yang harus kulakukan agar bisa berlama-lama dengannya. Terlalu misterius.
            “Ingin minum kopi?” kataku, mendapatkan ide cemerlang.
            “Saya tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke tempat yang mungkin biasa anda datangi.”
            “Tentu saja ini ucapan terimakasih.”
            “Baiklah,” dengan sedikit terpaksa dan ragu, matanya berbicara.
            Kami berjalan beriringan. Ia disamping kananku. Gagah. Dengan badannya yang kelihatan sangat tangguh. Hanya saja.. matanya.. hitam pekat yang banyak menyimpan banyak luka, itu sangat terlihat. Bukan orang biasa. Dia berbeda, batinku.
            Dia menarik.
            Ketika sudah memilih tempat di kedai kopi yang cukup luas. Aku memilih untuk membuyarkan keheningan, “Bisakah kita bicara sedikit?”
            “Tentang apa?” ia menaikkan alisnya, seperti tidak menyukai perkataanku barusan.
            “Bisa nggak kita nggak usah pake Saya-Anda?”
            “Terserah,” katanya acuh.
            Aku belum pernah merasakan ketegangan yang seluar biasa ini. Semuanya seakan beku seketika. Hingga suara angin bisa kami dengar. Aku tidak tahu akan membicarakan apa, tetapi aku ingin sekali mengetahui semuanya. Bahkan, namanya pun aku belum tahu. Aha!
            “Ra Anasty,” aku mengulurkan tangan kananku kedepan wajahnya, tentu saja dengan senyum yang mengembang, begitu lebar.
            “Razif,” dia mengulurkan tangan dengan sangat ragu.
            “Dimana rumahmu? Sekolah dimana? Kelas berapa? Dan siapa orang tuamu?” pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dengan sangat frontal dan refleks, aku merasa sedikit tidak enak. Apalagi, wajah Razif seperti bicara ‘Siapa kau? Berani-beraninya menanyakan yang bukan urusanmu!’ dan jantungku rasanya seperti ingin aku makan saja karena detakannya sudah tidak teratur dan begitu cepat, aku benci mendengar detakan jantungku ketika sedang khawatir.
            “Perumahan belakang lorong tua semalam. SMA Harapan Bangsa. Kelas 11. Apakah itu penting? Maksudku, orang tuaku bukanlah urusanmu.”
            “Maaf. Aku refleks. Mohon sedikit mengerti, aku hanya… gerogi?” cara bicaraku seperti orang tolol! Oh Tuhan.. aku berharap sekarang juga aku bisa menghilang secara tiba-tiba hanya dengan mengucapkan kata ajaib seperti ‘Tring!’ misalnya. Uh.
            “Apa?”
            “Ha? Tidak. Lupakan!”
            “Bisakah kita pulang sekarang? aku memiliki urusan lain.”
            “Ba..ba..i...k.. Kau duluan saja. Terimakasih atas waktumu…”
            Dengan menyerangku dengan tatapan aneh. Sepersekian detik berikutnya dia pergi, “Ya, bukan masalah.” Adalah kalimat terakhirnya.
            Bukankah aku melakukan hal yang sangat konyol barusan? Tuhan!

***

            Aku pulang dengan badan yang sempoyongan, dan sering kali hampir hilang keseimbangan. Rasanya aku sudah lelah hidup dan bernafas. God! Take me, batinku.
            “Darimana saja?”
            “Bermalam dengan teman-teman.”
            “Bandmu?”
            “Begitulah.”
            “Bukankah ibu sudah bilang untuk fokus pada sekolahmu dan berhenti main-main!”
            “Aku hanya menghilangkan rasa bosan.”
            “Nak, hanya saja.. Ibu terkadang sering merasa sudah kehilanganmu. Maksud Ibu, kita hampir tidak saling mengenal.”
            “Bisakah kita bahas ini lain kali? Aku hampir tidak tidur semalam.”
            “Istirahatlah..”
            “Ya, memang itu yang ingin kulakukan.”
            Aku menutup pintu kamarku. Menguncinya. Benar-benar menguncinya; mengunci diri dan pikiranku, berbicara lantang dan bertengkar dengan anggota tubuhku dalam bisunya keadaan, di kamarku; satu-satunya tempat pribadiku.
            Aku memutuskan untuk tidak tidur. Aku menyerap kata-kata ibuku tadi. Melihat goresan matanya yang penuh rasa rindu pada anaknya. Dan disini anaknya menyendiri, bergulat dengan mulut tertutup. Otakku marah, hatiku menangis, mataku hampir tidak mau terbuka sangking lelahnya, badanku tergulai lemah menahan capek. Namun, disinilah aku; duduk termangu di pojok kanan kamarku yang gelap. Disinilah jati diriku. Diriku yang sebenarnya; kokoh namun rapuh.
            Tidak ada yang lebih menyakitkan dari melihat Ibu berbicara seperti tadi. Ia kehilanganku dari peredaran hidupnya. Merasa aku adalah orang asing yang ia lahirkan, sejak hari itu. Hari dimana semua keadaan seperti habis terkena badai. Hancur berantakan. Hidup tidak lagi mudah, banyak sesak yang menyelimuti. Terlalu banyak, hingga hampir membuatku sulit bernafas.

***

            Persimpangan lorong tua. Razif! Satu nama yang terlintas dalam otakku. Kebetulan ini siang hari, mungkin sedikit harapan ia ada disana. Tapi semoga firasatku benar.
            “Haiiii, Razif..”
            “Ada apa lagi?”
            “Bisakah kita berbicara tentang hal tidak penting hari ini? Aku butuh teman.”
            Aku gemetaran. Getaran itu, membuat aku hampir beku di hadapannya! Walaupun takut, aku terpaksa harus nekad. Aku hanya sedikit ‘kepo’ maksudku mungkin, aku benar-benar sangat ingin tahu semua tentangnya!!!!! God…
            “Razif?”
            “Ayo!”
            10 menit setelahnya, aku sudah sampai di sebuah danau yang sangat asing. Letaknya terpencil, harus masuk beberapa gang kecil yang panjang, jalannya juga sangat rumit, becek, dan kurang terawat. Tapi, disini sangat.. awesome. Hanya ada aku dan Razif. Dengan air yang tenang. Suara angin yang terdengar, goyangan rumput yang sejuk, dan nafas kami yang hampir jelas terdengar.
            Razif berjalan. Agak jauh dari tempat kami berdiri sebelumnya. Lalu berhenti di sebuah dermaga kayu yang tidak lebar, tidak ada pegangan kayu, tidak luas, dan biasa saja. Kayunya juga sudah tua. Dia berdiri diujungnya, lalu melepas sepatunya. Membiarkan kakinya menyentuh dinginnya danau, lalu sedetik setelah itu aku menirukan hal yang sama seperti yang Razif lakukan. Aku duduk membelakanginya, dia menghadap timur dan aku menghadap barat. Hanya ada suara alami dari alam yang terdengar menenangkan jiwa kami.
            Aku menyukai tempat ini.
            “Aku tidak salah mencarimu. Kau membawaku ke tempat yang kurasa menyatukan jiwa kita. Pemendam dan penasaran. Itulah kita. Aku bertugas bertanya dan kau menjawab. Kau bertugas diam dan aku selalu berbicara. Bukankah Tuhan menakdirkan umatnya untuk saling mengisi kekurangan jodohnya? Maksudku, saling menyempurnakan. Kau percaya keajaiban? Aku percaya. Dan aku akan terus berharap pada keajaiban, bahwa kita akan menjadi pasangan yang ditakdirkan Tuhan.”
            “Apa?”
            “Aku hanya berharap. Jika kau tidak mendukung, itu urusanmu.”
            “Sebaiknya memang jangan terlalu berharap.”
            “Kenapa? Semua berawal dari harapan.”
            “Bukan. Tapi harapan, doa, dan usaha.”
            Well, yah.. kau benar. Tapi setidaknya aku sudah memasuki 1 step, right?
            “Terserah,” katanya dengan nada yang seolah berkata ‘Aku lelah dengan ocehanmu’.
            Tell me something I don’t know about you, Razif!”
            “Terlalu banyak..”
            “Jika kau mengenalkan siapa dirimu, kau tidak perlu menceritakan semuanya. I mean, inti dari dirimu. Aku bisa melihatnya dari apa yang terjadi, misalnya masalah dalam hidupmu. Kepribadian tercipta karena lingkungan.”
            “Apa itu kata-kata pancingan?” aku merasa dia sedikit menarik salah satu sudut bibirnya keatas, seperti orang sedang meremehkan.
            “Ya!”
            “Agresif.”
            “Aku memang tipe orang seperti itu.”
            “Aku akan menjelaskannya singkat, jadi gunakanlah telinga dan otakmu dengan maksimal.”
            “Pasti!” aku tersenyum lebar, mungkin sangat lebar. Entahlah. Aku hanya terlalu bergembira.
            Aku tidak pernah lupa sebelum aku umur 3 tahun, hidupku hampir sempurna. Anak sulung dari pasangan yang bahagia. Aku mensyukuri itu. Tapi tidak saat aku umur 3 tahun. Seperti ada kabut hitam yang menyelimuti keluarga mungilku. Semuanya, hampir berbalik. Bahkan sudah berbalik. Sejak hari itu. Perceraian. Melumerkan semua kebahagiaan. Bahkan untuk tersenyum tulus pun sulit. Senyum rasanya sangat menyakitkan sekali dalam keadaan seperti itu. Untung saja aku masih terlalu kecil untuk mencerna semua itu, masih terlalu kecil untuk mengerti.
            Mereka berpisah. Aku bersama Ibuku. Dan sekarang, aku punya Ayah tiri dan ibu tiri. Namun ibu tiriku sudah wafat beberapa tahun yang lalu. Ayahku di Bandung. Keluarga baru yang sangat rumit untuk aku mengerti.
            Mereka mempunyai anak-anak baru. Bayi-bayi kecil yang tidak sanggup untuk kusebut adik tiri. Bayi-bayi kecil yang entah akan menganggapku apa, kelak.
            Aku marah. Aku benci. Aku mengeluh. Aku menolak. Bukan, sia-sia, tapi percuma.
            Keadaan seakan memusuhiku. Semuanya jauh dari kata senang.
            Aku sering merasa seperti hidupku kosong dan sepi.
            Aku tidak mengenal lagi aku yang dulu. Aku hampir lupa bagaimana rasanya bahagia. Berpura-pura bahagia semakin menyiksaku. Membuat hatiku beku oleh dunia luar.
            Suaranya serak sekarang. Kurasa dia menangis.
            Hidup hampir tidak adil untukku. Tidak ada ruang yang mampu membuatku bahagia di dunia ini. Aku hampir bosan bernafas. Tapi, aku selalu mencoba bersyukur. Karena, aku masih diberikan kehidupan. Walaupun, gerah dengan semuanya. Muak, bahkan.
            “Tuhan memiliki hadiah suatu saat untukmu, bersabarlah.”
            I hope so..
            “Percayalah!”
            “Aku sedang mencoba!”
            “Tidak rindu dengan ayahmu?”
            “Rindu sekali, bodoh!”
            “Temui..”
            “Belum ada waktu senggang.”
            “Tapi kau terus bermain dengan teman-temanmu!”
            “Itu bukan bagian dari waktu senggangku!”
            “Oh..” aku berpikir keras apa yang ingin kulakukan, “Ayo kita pulang. Ini sudah hampir senja!”

***
            Rasanya.. aku ingin sekali mengangkat bebannya. Menjadi sandarannya. Mendengarkan setiap masalahnya. Menyediakan pundak untuknya menangis. Memberikan solusi sebisaku. Meringankan hidupnya. Melihatnya tersenyum dan tertawa tulus dan lepas, tidak seperti sekarang yang dipaksakan dan penuh kepura-puraan.
            Aku menghela napas panjang…
            Berpikir kembali dengan semua harapanku. Terlalu mustahil.
            Siapa kau? Memang Razif mau punya kekasih sepertimu? Gadis aneh yang tidak pernah berhenti bicara? Apa kau sudah cukup cantik hingga berani berharap dia akan jatuh cinta padamu hanya karena kau dipercaya mendengarkan keluh-kesahnya? Hatiku mengejek.
            Ya! Aku memang tidak cukup pantas untuknya. Aku tidak cantik dan kukira Razif tidak akan pernah menyukaiku sampai kapanpun, apalagi akan jatuh cinta, sepertinya itu.. sangatlah mustahil.

***

            Aku sering memikirkannya belakangan ini.
            Baru kali ini aku benar-benar bercerita.. apa yang terjadi, hampir semuanya, hampir lengkap. Tetapi, luka itu bukan semakin terbuka.. malah perlahan menutup. Dia menghangatkan setiap keadaan. Memberiku pencerahan agar menutup luka lama, membiarkannya berlalu dan menjadikannya kisah; latar belakang pembentuk jati diri.
            Jadi, selama ini yang aku butuhkan hanyalah; teman? Tempat bercerita dan meminta pendapat?

***

            Dia sudah bisa tertawa dan tersenyum! Aku bahagia.. kali ini benar-benar gembira. Aku melihat sulutan api kebahagiaan dimatanya. Tuhan.. indah sekali!!!!!!!
            “Ra..” ia menyulutkan api ke ujung batang rokoknya, bersiap menghisapnya dalam-dalam.
            “Ya?”
            “Orang tua kamu…” kata-katanya berhenti menggantungkan kalimat.
            Aku menengok sambil tersenyum kecut, “Mereka ada disana.” Aku menunjuk kearah langit.
            “Aku percaya itu.”
            “Kau masih lebih beruntung..”
            “Bukan maksudku..”
            “Ayolah, jangan terlalu serius. Nikmati hidupmu dengan banyak tertawa. Kau terlalu peka dan sensitive, tau!”
            “Hahaha..” kali ini dia benar-benar tertawa.. tertawa yang sebelumnya belum pernah kulihat. Manis sekali. Bibirnya membentuk luas yang agak lebar, tersenyum berlebihan; tertawa.
            Dan, disinilah aku dengannya. Menyelupkan sebagian kaki kami ke danau sambil duduk membelakangi, tentu saja di dermaga kayu. Melawan angin. Berbicara sendiri dalam diri masing-masing, yang ada hanya hembusan nafas kami yang untung saja tidak berbentuk uap seperti di film-film, karena udara disini sedang sangat dingin.
            Ini ritual kami.
            “Aku mulai mencintai danau ini, dan..” kalimatku tertahan dan hampir keluar; dan tentu saja mencintai kau! Batinku menggerutu dalam hati.
            “Dan apa?”
            “Dan keindahannya!”
            “Hampir saja aku mengira kau mulai mencintaiku..” dia tidak tertawa, kukira dia sedang melucu. Malah kalimatnya terdengar begitu serius.
            Hening.
            Masih diam.
            “Apa?” kataku, seperti orang bodoh…
            “Apa kau tuli?”
            “Aku hanya tidak mengerti.”
            Dia diam.
            Rambutku bergoyang dimainkan oleh angin. Dan entah mengapa sekarang aku merasa sedikit kedinginan. Jangan sekarang, Tuhan.. aku masih ingin disini. Sebentar saja. Aku menggigil.
            Pandanganku hitam. Semuanya gelap. Aku pingsan.
            Terakhir yang aku rasakan, Razif menggoyang-goyangkan tubuhku memohon agar aku  bangun dan tidak bercanda. Namun, aku sudah tidak mampu lagi membuka mata. Badanku letih.

***
           
            “Bagaimana keadaannya, dok?”
            “Dia hanya kurang istirahat..” kata dokter muda yang wajahnya hampir tidak mirip dokter, “Jangan main terlalu berlebihan, dia sangat rentan dengan penyakit,” lanjutnya.   
            “Baik, dok.”

            Aku melesat ke ruang dimana dia dirawat. Tuhan.. sembuhkan dia! Aku mohon! Sekali ini saja. Biarkan aku yang sakit menggantikannya..
            “Hai..” suara seraknya keluar dengan susah payah. Aku tidak tega melihatnya seperti ini.
            “Hai.. apa kau sudah baikan?”
            I hope so.. tapi nggak tau, kata dokter sudah.”
            “Bagaimana perasaanmu?”
            “Aku hanya agak sulit bernafas. Jadi tolong setelah ini jangan meminta Tuhan untuk mengambil nafasmu, karena rasanya sangat tidak enak!”
            “Hahaha.. istirahat aja gih!”
            “Iya. Tapi temenin ya?”
            “Manja!”
            Dia hanya tersenyum jahil. Manis.

***
           
            Sejak saat itu. Aku merasa, kami saling mengisi kekosongan. Razif dan Ra. Aku dan Ra. Hanya aku dan dia. Dia memberi kehangatan untukku dan aku menyempurnakan dirinya. Kami saling menyempurnakan kekurangan yang ada.
            Kami tidak pernah bosan bercerita. Tetapi tetap seperti yang Ra katakan, Pemendam dan penasaran. Itulah kita. Aku bertugas bertanya dan kau menjawab. Kau bertugas diam dan aku selalu berbicara.
            Aku mencintainya atas nama-Mu, Tuhan. Batinku.
           
            Dan sampai pada saatnya. Ibuku yang meminta Ra menjadi pendampingku. Selamanya.
            Dan yang terakhir, kami menangis bahagia bersama saat di danau ketika aku memintanya menjadi yang terakhir, dan dia memintaku agar aku terus menjaganya. Aku mengiyakan. Lalu kami tertawa setelahnya. Itu menyenangkan.

            “Aku sayang Razif. Sayang banget..” ia teriak di atas dermaga.
            “Banyak orang yang bilang seperti itu, tetapi akhirnya menarik ucapannya tanpa meminta maaf..”
            “Berdoa bersama! Agar kita tidak akan mengenal apa itu perpisahan, maka aku tidak akan menarik kata-kataku yang ‘sayang banget’.”
            “Kalau berpisah?”
            “Apa aku harus meminta maaf?”
            “Ya. Tetapi, berjanjilah untuk tidak akan meninggalkanku. Aku akan menyayangimu selama kamu menyayangiku juga.”
            “Janji jari kelingking!”
            Lalu kelingking kami menyatu. Kami tersenyum bersama. Tertawa. Mentertawakan diri kami sendiri atas kekonyolan yang baru saja kami lakukan.
            Terimakasih, Tuhan.

***

            Orang tuaku tetap hidup. Aku juga. Hidup tidak akan berhenti dan kami juga tidak mati. Broken Home buruk karena pandangan kita yang selalu buruk. Buktinya, aku masih disini. Masih bisa tertawa. Masih dihargai bukan karena latar belakang keluargaku. Melainkan, jati diriku.

No comments:

Post a Comment

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design