Selalu
ada rindu yang menyeruak menyesakkan dada. Selalu ada ruang peluh yang selalu
ingin keluar di pelupuk mata. Jarak memisahkan seorang anak dengan seorang gagah
yang biasa disebut Ayah. Perceraian membuat hidup dan silsilah keluarga semakin
pelik untuk dimengerti. Tidak selalu mudah rasanya menjalani hari-hari tanpa
orang tua kandung yang utuh. Tetapi, ia tetap berdiri dengan dagu diangkat dan
punggung yang tegap, memandang kedepan dengan harapan; masih ada sepercik
kebahagiaan untuknya. Percaya, bahwa didepan akan selalu terselip keajaiban;
rencana Tuhan yang selalu indah pada masanya.
Dia
belajar, banyak sekali belajar; apa arti semua ini. Belajar menjadi sosok
lelaki yang bertanggung jawab dan tahan banting, serta tidak emosional dan
setia. Dia belajar dari semua yang telah ia lihat dan lewati. Memahami apa arti
bertemu dan kehilangan. Bahwa, memang tidak ada yang abadi. Dan ketika sesuatu
yang mungkin bukan lagi milik kita, kita hanya perlu merelakannya pergi dan
mencoba ikhlas.
Guratan-guratan
bayangan tentang kebahagiaan ketika ia berumur 3 tahun, masih selalu dapat ia
rasakan, namun tetap tidak mampu kembali ia gapai. Kepedihan instan yang ia
rasakan saat itu, yang selalu berhasil membuat ia menitihkan titik-titik
kepiluan. Merenggut senyum tulusnya secara perlahan. Aku tersentuh.
Selalu
ada waktu dimana dia akan berpura-pura tersenyum, memaksakan tawa, menyerupai
orang lain yang bahagia. Namun tidak dalam hatinya. Hatinya, berontak. Selalu
meronta meminta keadaan berbalik. Selalu menyeka air matanya ketika ia
menyadari ia sedang dirundu emosi yang menahan nafasnya hingga sesak dan tidak
dapat lagi mengeluarkan kata-kata; menangis.
Dia
masih sering terenyuh oleh masa-masa dimana semua masih indah. Tetapi, dia tetap
kokoh dan tidak pernah tumbang. Namun, dia seolah bimbang, ada anak dari rahim
ibu kandungnya atas nama ayah tirinya dan ada anak dari rahim ibu tirinya atas
nama ayah kandungnya. Lagi-lagi takdir memaksanya untuk merasakan kepiluan;
entah siapa yang akan dia anggap adik dan dianggap ‘siapa’ ia dimata adik-adik
tirinya. Semuanya, dia anggap sebagai nestapa pelajaran hidup yang ketika
diingat masih menyisakan air mata.
Lihat
dia. Penampilannya brutal tetapi jiwanya rapuh. Wajahnya anarkis tetapi hatinya
miris. Tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, cuek, namun diam-diam
menyembunyikan luka lama yang belum kering dan dibiarkan menganga.
Dia
selalu seperti itu. peluhnya selalu bisa saja meleleh dan tumpah tiba-tiba
tetapi selalu ia tahan. Namun, nyatanya; dia membutuhkan tempat bersandar,
tempat dimana ia akan selalu dihormati bukan karena latar belakang keluarganya,
selalu didengarkan, lalu diberi petuah menenangkan jiwa. Tempat luapan hatinya
yang bergejolak selain kamarnya yang bisu.
Dia
bisa meledak kapan saja. Sewaktu-waktu. Bahkan, dalam gelak tawanya maupun
dalam rekahan senyumnya. Hatinya masih penuh luka.
Aku
bangga bertemu dia. Dia yang selalu menyulut rokoknya ketika kembali mengingat
masa kelamnya. Dia yang selalu menjadi batu karang yang diam-diam terkikis oleh
air laut. Dia yang memiliki hidupnya sendiri ketika bertemu kamarnya. Kamarnya
yang selalu suram, kamarnya yang selalu ia pakai untuk berpikir keras sepanjang
waktu, berdoa, berharap, dan tidak lupa mengucap syukur, beribadah, dan tentu
saja melampiaskan kemarahan. Dia yang selalu punya tatapan penuh goresan
kesepian dan binar kehampaan. Dia yang selalu mengepal tangannya dan
mengatupkan rahang ketika sedang marah walau tetap dalam diam. Dan, aku. Aku
yang selalu ingin mendampinginya, menjadi tempatnya bersandar, dan menerima
apapun keadaannya; susah-senangnya, sehat-sakitnya, dan tangis-tawanya. Aku
selalu ingin. Akan selalu ingin. Sambil meraba-raba keajaiban, apakah dia dan
aku akan bersatu dalam satu kemasan rencana Tuhan yang apik; takdir.
***
Aku
berlari menuju persimpangan lorong tua yang gelap gulita. Hanya ada lampu
pinggir jalan yang hampir redup.
“Bisa
tunjukkan dimana ujung lorong ini? Saya tidak tahu harus menuju kanan atau
kiri.” Kataku dengan wajah yang hampir memohon.
“Anda salah jalan nona. Berputarlah, belok kanan, dan
Anda akan menemukan gang yang akan menuju jalan raya.” Kata pak tua yang
menanggapiku dengan matanya yang sayu.
“Tidak. Kau harus ke kiri. Dan disitu akan ada jalan
raya. Ikuti saja jalan. Jangan ikuti kata berengsek tua ini.”
Lalu terdengar desah miris dari pak tua bermata sayu yang
berada tepat disamping kiri lelaki yang barusan menjawab pertanyaanku dengan
jujur.
“Terimakasih.. siapa?”
“Bukankah kau hanya bertanya ujung lorong tua ini? Nama
saya bukanlah bagian dari itu.”
“Baiklah, teman.”
Aku melanjutkan jalan. Gontai hingga hamir jatuh beberapa
kali karena tersandung batu-batu kecil. Gelap. Samar, hingga baru kusadari
sepanjang lorong itu berjejer para gelandangan sedang terlelap. Bukankah hidup
ini begitu kejam?
Tepat 15 menit setelah menyusuri jalan, aku akhirnya
bertemu dengan jalan raya.
Terimakasih, Tuhan.
Aku membatin.
***
Aku
ingat pagi itu. Ya! Sangat. Aku mengingatnya dengan sangat baik.
“Hai.”
“Anda salah orang,” katanya.
“Tidak,” aku menatapnya tajam “Saya
hampir hapal dan wajahmu seperti apa, walaupun semalam gelap. Saya bukan
pengingat yang buruk.”
“Oh benarkah? Gadis berkuncir kuda
semalam?”
“Ya, tentu saja. Terimakasih atas
bantuanmu.”
“Bukan apa-apa.”
Hanya ada hening setelahnya. Aku berpikir
keras apa yang harus kulakukan agar bisa berlama-lama dengannya. Terlalu
misterius.
“Ingin minum kopi?” kataku,
mendapatkan ide cemerlang.
“Saya tidak memiliki cukup uang
untuk pergi ke tempat yang mungkin biasa anda datangi.”
“Tentu saja ini ucapan terimakasih.”
“Baiklah,” dengan sedikit terpaksa
dan ragu, matanya berbicara.
Kami berjalan beriringan. Ia
disamping kananku. Gagah. Dengan badannya yang kelihatan sangat tangguh. Hanya
saja.. matanya.. hitam pekat yang banyak menyimpan banyak luka, itu sangat
terlihat. Bukan orang biasa. Dia berbeda, batinku.
Dia menarik.
Ketika sudah memilih tempat di kedai
kopi yang cukup luas. Aku memilih untuk membuyarkan keheningan, “Bisakah kita
bicara sedikit?”
“Tentang apa?” ia menaikkan alisnya,
seperti tidak menyukai perkataanku barusan.
“Bisa nggak kita nggak usah pake
Saya-Anda?”
“Terserah,” katanya acuh.
Aku belum pernah merasakan
ketegangan yang seluar biasa ini. Semuanya seakan beku seketika. Hingga suara
angin bisa kami dengar. Aku tidak tahu akan membicarakan apa, tetapi aku ingin
sekali mengetahui semuanya. Bahkan, namanya pun aku belum tahu. Aha!
“Ra Anasty,” aku mengulurkan tangan
kananku kedepan wajahnya, tentu saja dengan senyum yang mengembang, begitu
lebar.
“Razif,” dia mengulurkan tangan
dengan sangat ragu.
“Dimana rumahmu? Sekolah dimana?
Kelas berapa? Dan siapa orang tuamu?” pertanyaan-pertanyaan itu terlontar
dengan sangat frontal dan refleks, aku merasa sedikit tidak enak. Apalagi,
wajah Razif seperti bicara ‘Siapa kau? Berani-beraninya menanyakan yang bukan
urusanmu!’ dan jantungku rasanya seperti ingin aku makan saja karena detakannya
sudah tidak teratur dan begitu cepat, aku benci mendengar detakan jantungku
ketika sedang khawatir.
“Perumahan belakang lorong tua
semalam. SMA Harapan Bangsa. Kelas 11. Apakah itu penting? Maksudku, orang
tuaku bukanlah urusanmu.”
“Maaf. Aku refleks. Mohon sedikit
mengerti, aku hanya… gerogi?” cara bicaraku seperti orang tolol! Oh Tuhan.. aku
berharap sekarang juga aku bisa menghilang secara tiba-tiba hanya dengan
mengucapkan kata ajaib seperti ‘Tring!’ misalnya. Uh.
“Apa?”
“Ha? Tidak. Lupakan!”
“Bisakah kita pulang sekarang? aku
memiliki urusan lain.”
“Ba..ba..i...k.. Kau duluan saja.
Terimakasih atas waktumu…”
Dengan menyerangku dengan tatapan aneh.
Sepersekian detik berikutnya dia pergi, “Ya, bukan masalah.” Adalah kalimat
terakhirnya.
Bukankah aku melakukan hal yang
sangat konyol barusan? Tuhan!
***
Aku
pulang dengan badan yang sempoyongan, dan sering kali hampir hilang
keseimbangan. Rasanya aku sudah lelah hidup dan bernafas. God! Take me, batinku.
“Darimana
saja?”
“Bermalam
dengan teman-teman.”
“Bandmu?”
“Begitulah.”
“Bukankah
ibu sudah bilang untuk fokus pada sekolahmu dan berhenti main-main!”
“Aku
hanya menghilangkan rasa bosan.”
“Nak,
hanya saja.. Ibu terkadang sering merasa sudah kehilanganmu. Maksud Ibu, kita
hampir tidak saling mengenal.”
“Bisakah
kita bahas ini lain kali? Aku hampir tidak tidur semalam.”
“Istirahatlah..”
“Ya,
memang itu yang ingin kulakukan.”
Aku
menutup pintu kamarku. Menguncinya. Benar-benar menguncinya; mengunci diri dan
pikiranku, berbicara lantang dan bertengkar dengan anggota tubuhku dalam
bisunya keadaan, di kamarku; satu-satunya tempat pribadiku.
Aku
memutuskan untuk tidak tidur. Aku menyerap kata-kata ibuku tadi. Melihat
goresan matanya yang penuh rasa rindu pada anaknya. Dan disini anaknya
menyendiri, bergulat dengan mulut tertutup. Otakku marah, hatiku menangis,
mataku hampir tidak mau terbuka sangking lelahnya, badanku tergulai lemah
menahan capek. Namun, disinilah aku; duduk termangu di pojok kanan kamarku yang
gelap. Disinilah jati diriku. Diriku yang sebenarnya; kokoh namun rapuh.
Tidak
ada yang lebih menyakitkan dari melihat Ibu berbicara seperti tadi. Ia
kehilanganku dari peredaran hidupnya. Merasa aku adalah orang asing yang ia
lahirkan, sejak hari itu. Hari dimana semua keadaan seperti habis terkena
badai. Hancur berantakan. Hidup tidak lagi mudah, banyak sesak yang
menyelimuti. Terlalu banyak, hingga hampir membuatku sulit bernafas.
***
Persimpangan
lorong tua. Razif! Satu nama yang
terlintas dalam otakku. Kebetulan ini siang hari, mungkin sedikit harapan ia
ada disana. Tapi semoga firasatku benar.
“Haiiii,
Razif..”
“Ada
apa lagi?”
“Bisakah
kita berbicara tentang hal tidak penting hari ini? Aku butuh teman.”
Aku gemetaran. Getaran itu, membuat aku
hampir beku di hadapannya! Walaupun takut, aku terpaksa harus nekad. Aku hanya
sedikit ‘kepo’ maksudku mungkin, aku benar-benar sangat ingin tahu semua
tentangnya!!!!! God…
“Razif?”
“Ayo!”
10
menit setelahnya, aku sudah sampai di sebuah danau yang sangat asing. Letaknya
terpencil, harus masuk beberapa gang kecil yang panjang, jalannya juga sangat
rumit, becek, dan kurang terawat. Tapi, disini sangat.. awesome. Hanya ada aku dan Razif. Dengan air yang tenang. Suara
angin yang terdengar, goyangan rumput yang sejuk, dan nafas kami yang hampir
jelas terdengar.
Razif
berjalan. Agak jauh dari tempat kami berdiri sebelumnya. Lalu berhenti di
sebuah dermaga kayu yang tidak lebar, tidak ada pegangan kayu, tidak luas, dan
biasa saja. Kayunya juga sudah tua. Dia berdiri diujungnya, lalu melepas
sepatunya. Membiarkan kakinya menyentuh dinginnya danau, lalu sedetik setelah
itu aku menirukan hal yang sama seperti yang Razif lakukan. Aku duduk membelakanginya,
dia menghadap timur dan aku menghadap barat. Hanya ada suara alami dari alam
yang terdengar menenangkan jiwa kami.
Aku
menyukai tempat ini.
“Aku
tidak salah mencarimu. Kau membawaku ke tempat yang kurasa menyatukan jiwa
kita. Pemendam dan penasaran. Itulah kita. Aku bertugas bertanya dan kau
menjawab. Kau bertugas diam dan aku selalu berbicara. Bukankah Tuhan
menakdirkan umatnya untuk saling mengisi kekurangan jodohnya? Maksudku, saling
menyempurnakan. Kau percaya keajaiban? Aku percaya. Dan aku akan terus berharap
pada keajaiban, bahwa kita akan menjadi pasangan yang ditakdirkan Tuhan.”
“Apa?”
“Aku
hanya berharap. Jika kau tidak mendukung, itu urusanmu.”
“Sebaiknya
memang jangan terlalu berharap.”
“Kenapa?
Semua berawal dari harapan.”
“Bukan.
Tapi harapan, doa, dan usaha.”
“Well, yah.. kau benar. Tapi setidaknya
aku sudah memasuki 1 step, right?”
“Terserah,”
katanya dengan nada yang seolah berkata ‘Aku lelah dengan ocehanmu’.
“Tell me something I don’t know about you,
Razif!”
“Terlalu
banyak..”
“Jika
kau mengenalkan siapa dirimu, kau tidak perlu menceritakan semuanya. I mean, inti dari dirimu. Aku bisa
melihatnya dari apa yang terjadi, misalnya masalah dalam hidupmu. Kepribadian
tercipta karena lingkungan.”
“Apa
itu kata-kata pancingan?” aku merasa dia sedikit menarik salah satu sudut
bibirnya keatas, seperti orang sedang meremehkan.
“Ya!”
“Agresif.”
“Aku
memang tipe orang seperti itu.”
“Aku
akan menjelaskannya singkat, jadi gunakanlah telinga dan otakmu dengan
maksimal.”
“Pasti!”
aku tersenyum lebar, mungkin sangat lebar. Entahlah. Aku hanya terlalu
bergembira.
Aku tidak pernah lupa sebelum aku umur 3
tahun, hidupku hampir sempurna. Anak sulung dari pasangan yang bahagia. Aku mensyukuri
itu. Tapi tidak saat aku umur 3 tahun. Seperti ada kabut hitam yang menyelimuti
keluarga mungilku. Semuanya, hampir berbalik. Bahkan sudah berbalik. Sejak hari
itu. Perceraian. Melumerkan semua kebahagiaan. Bahkan untuk tersenyum tulus pun
sulit. Senyum rasanya sangat menyakitkan sekali dalam keadaan seperti itu.
Untung saja aku masih terlalu kecil untuk mencerna semua itu, masih terlalu kecil
untuk mengerti.
Mereka berpisah. Aku bersama Ibuku.
Dan sekarang, aku punya Ayah tiri dan ibu tiri. Namun ibu tiriku sudah wafat
beberapa tahun yang lalu. Ayahku di Bandung. Keluarga baru yang sangat rumit
untuk aku mengerti.
Mereka mempunyai anak-anak baru.
Bayi-bayi kecil yang tidak sanggup untuk kusebut adik tiri. Bayi-bayi kecil
yang entah akan menganggapku apa, kelak.
Aku marah. Aku benci. Aku mengeluh.
Aku menolak. Bukan, sia-sia, tapi percuma.
Keadaan seakan memusuhiku. Semuanya
jauh dari kata senang.
Aku sering merasa seperti hidupku
kosong dan sepi.
Aku tidak mengenal lagi aku yang
dulu. Aku hampir lupa bagaimana rasanya bahagia. Berpura-pura bahagia semakin
menyiksaku. Membuat hatiku beku oleh dunia luar.
Suaranya
serak sekarang. Kurasa dia menangis.
Hidup hampir tidak adil untukku. Tidak ada
ruang yang mampu membuatku bahagia di dunia ini. Aku hampir bosan bernafas.
Tapi, aku selalu mencoba bersyukur. Karena, aku masih diberikan kehidupan.
Walaupun, gerah dengan semuanya. Muak, bahkan.
“Tuhan memiliki hadiah suatu saat
untukmu, bersabarlah.”
“I hope so..”
“Percayalah!”
“Aku
sedang mencoba!”
“Tidak
rindu dengan ayahmu?”
“Rindu
sekali, bodoh!”
“Temui..”
“Belum
ada waktu senggang.”
“Tapi
kau terus bermain dengan teman-temanmu!”
“Itu
bukan bagian dari waktu senggangku!”
“Oh..” aku berpikir keras apa yang
ingin kulakukan, “Ayo kita pulang. Ini sudah hampir senja!”
***
Rasanya.. aku ingin sekali mengangkat
bebannya. Menjadi sandarannya. Mendengarkan setiap masalahnya. Menyediakan
pundak untuknya menangis. Memberikan solusi sebisaku. Meringankan hidupnya.
Melihatnya tersenyum dan tertawa tulus dan lepas, tidak seperti sekarang yang
dipaksakan dan penuh kepura-puraan.
Aku menghela napas panjang…
Berpikir kembali dengan semua
harapanku. Terlalu mustahil.
Siapa
kau? Memang Razif mau punya kekasih sepertimu? Gadis aneh yang tidak pernah
berhenti bicara? Apa kau sudah cukup cantik hingga berani berharap dia akan
jatuh cinta padamu hanya karena kau dipercaya mendengarkan keluh-kesahnya? Hatiku
mengejek.
Ya! Aku memang tidak cukup pantas
untuknya. Aku tidak cantik dan kukira Razif tidak akan pernah menyukaiku sampai
kapanpun, apalagi akan jatuh cinta, sepertinya itu.. sangatlah mustahil.
***
Aku
sering memikirkannya belakangan ini.
Baru
kali ini aku benar-benar bercerita.. apa yang terjadi, hampir semuanya, hampir
lengkap. Tetapi, luka itu bukan semakin terbuka.. malah perlahan menutup. Dia
menghangatkan setiap keadaan. Memberiku pencerahan agar menutup luka lama,
membiarkannya berlalu dan menjadikannya kisah; latar belakang pembentuk jati
diri.
Jadi,
selama ini yang aku butuhkan hanyalah; teman? Tempat bercerita dan meminta
pendapat?
***
Dia
sudah bisa tertawa dan tersenyum! Aku bahagia.. kali ini benar-benar gembira.
Aku melihat sulutan api kebahagiaan dimatanya. Tuhan.. indah sekali!!!!!!!
“Ra..” ia menyulutkan api ke ujung batang
rokoknya, bersiap menghisapnya dalam-dalam.
“Ya?”
“Orang tua kamu…” kata-katanya
berhenti menggantungkan kalimat.
Aku menengok sambil tersenyum kecut,
“Mereka ada disana.” Aku menunjuk kearah langit.
“Aku percaya itu.”
“Kau masih lebih beruntung..”
“Bukan maksudku..”
“Ayolah, jangan terlalu serius. Nikmati
hidupmu dengan banyak tertawa. Kau terlalu peka dan sensitive, tau!”
“Hahaha..” kali ini dia benar-benar
tertawa.. tertawa yang sebelumnya belum pernah kulihat. Manis sekali. Bibirnya
membentuk luas yang agak lebar, tersenyum berlebihan; tertawa.
Dan, disinilah
aku dengannya. Menyelupkan sebagian kaki kami ke danau sambil duduk
membelakangi, tentu saja di dermaga kayu. Melawan angin. Berbicara sendiri
dalam diri masing-masing, yang ada hanya hembusan nafas kami yang untung saja
tidak berbentuk uap seperti di film-film, karena udara disini sedang sangat
dingin.
Ini
ritual kami.
“Aku
mulai mencintai danau ini, dan..” kalimatku tertahan dan hampir keluar; dan tentu saja mencintai kau! Batinku
menggerutu dalam hati.
“Dan
apa?”
“Dan
keindahannya!”
“Hampir
saja aku mengira kau mulai mencintaiku..” dia tidak tertawa, kukira dia sedang
melucu. Malah kalimatnya terdengar begitu serius.
Hening.
Masih
diam.
“Apa?”
kataku, seperti orang bodoh…
“Apa
kau tuli?”
“Aku
hanya tidak mengerti.”
Dia
diam.
Rambutku
bergoyang dimainkan oleh angin. Dan entah mengapa sekarang aku merasa sedikit
kedinginan. Jangan sekarang, Tuhan.. aku
masih ingin disini. Sebentar saja. Aku menggigil.
Pandanganku
hitam. Semuanya gelap. Aku pingsan.
Terakhir
yang aku rasakan, Razif menggoyang-goyangkan tubuhku memohon agar aku bangun dan tidak bercanda. Namun, aku sudah
tidak mampu lagi membuka mata. Badanku letih.
***
“Bagaimana
keadaannya, dok?”
“Dia
hanya kurang istirahat..” kata dokter muda yang wajahnya hampir tidak mirip
dokter, “Jangan main terlalu berlebihan, dia sangat rentan dengan penyakit,”
lanjutnya.
“Baik,
dok.”
Aku
melesat ke ruang dimana dia dirawat. Tuhan..
sembuhkan dia! Aku mohon! Sekali ini saja. Biarkan aku yang sakit
menggantikannya..
“Hai..”
suara seraknya keluar dengan susah payah. Aku tidak tega melihatnya seperti
ini.
“Hai..
apa kau sudah baikan?”
“I hope so.. tapi nggak tau, kata dokter
sudah.”
“Bagaimana
perasaanmu?”
“Aku
hanya agak sulit bernafas. Jadi tolong setelah ini jangan meminta Tuhan untuk
mengambil nafasmu, karena rasanya sangat tidak enak!”
“Hahaha..
istirahat aja gih!”
“Iya.
Tapi temenin ya?”
“Manja!”
Dia
hanya tersenyum jahil. Manis.
***
Sejak
saat itu. Aku merasa, kami saling mengisi kekosongan. Razif dan Ra. Aku dan Ra.
Hanya aku dan dia. Dia memberi kehangatan untukku dan aku menyempurnakan
dirinya. Kami saling menyempurnakan kekurangan yang ada.
Kami
tidak pernah bosan bercerita. Tetapi tetap seperti yang Ra katakan, Pemendam dan penasaran. Itulah kita. Aku
bertugas bertanya dan kau menjawab. Kau bertugas diam dan aku selalu berbicara.
Aku mencintainya atas nama-Mu,
Tuhan. Batinku.
Dan
sampai pada saatnya. Ibuku yang meminta Ra menjadi pendampingku. Selamanya.
Dan
yang terakhir, kami menangis bahagia bersama saat di danau ketika aku
memintanya menjadi yang terakhir, dan dia memintaku agar aku terus menjaganya.
Aku mengiyakan. Lalu kami tertawa setelahnya. Itu menyenangkan.
“Aku
sayang Razif. Sayang banget..” ia teriak di atas dermaga.
“Banyak
orang yang bilang seperti itu, tetapi akhirnya menarik ucapannya tanpa meminta
maaf..”
“Berdoa
bersama! Agar kita tidak akan mengenal apa itu perpisahan, maka aku tidak akan
menarik kata-kataku yang ‘sayang banget’.”
“Kalau
berpisah?”
“Apa
aku harus meminta maaf?”
“Ya.
Tetapi, berjanjilah untuk tidak akan meninggalkanku. Aku akan menyayangimu
selama kamu menyayangiku juga.”
“Janji
jari kelingking!”
Lalu
kelingking kami menyatu. Kami tersenyum bersama. Tertawa. Mentertawakan diri
kami sendiri atas kekonyolan yang baru saja kami lakukan.
Terimakasih, Tuhan.
***
Orang
tuaku tetap hidup. Aku juga. Hidup tidak akan berhenti dan kami juga tidak
mati. Broken Home buruk karena
pandangan kita yang selalu buruk. Buktinya, aku masih disini. Masih bisa
tertawa. Masih dihargai bukan karena latar belakang keluargaku. Melainkan, jati
diriku.
0 comments:
Post a Comment