Matahari pagi menari-nari dalam
mataku, memancarkan sinarnya. Aku menyipitkan mata. Gorden ungu di kamarku
telah terbuka setengah bagian. Matahari terik yang sangat baik di pagi hari
minggu pagi kali ini seakan-akan mengajakku untuk lari pagi. Membakar lemak-lemak
yang mengendap di tubuh ini. Lalu, dengan semangat yang tinggi aku bersiap
untuk sekedar lari berkeliling kompleks rumahku.
“Hima!
Makan dulu!” Suara nyaring dari lantai bawah rumahku, tepatnya di ruang makan
yang berada di sebelah kiri ruang panjang yang cukup luas di lantai bawah.
Kamarku memang di lantai 2. Selain itu, hanya ada sisa 5 kamar lain yang
berisikan kamar ayah, kamar abangku, gudang, dan 2 kamar kosong jika ada yang
ingin menginap ketika terlalu malam bermain ke rumahku.
Aku
bergegas turun dari kamar, memakai training dan baju sekenanya, beserta jaket
ungu kesayanganku.
“Aku
mau lari pagi, yah.”
“Makan
dulu gih!” Sigapnya dengan agak melotot.
“Siap
laksanakan komandan!” jawabku.
Setelah
15 menit menyantap roti dan susu vanilaku, aku masih dengan semangat yang
tinggi, meminta izin kepada 2 orang laki-laki dirumah ini; Ayah dan abangku.
Sedangkan aku, perempuan tunggal di rumah ini, karena ibuku yang sudah terlebih
dahulu menghadap sang khalik sekitar 3 tahun yang lalu, saat aku berumur 11
tahun. Kecelakaan naas yang telah merenggut nyawanya.
***
Senin pagi, 06:35
Dengan
malas, aku berjalan menuju kamar mandi di kamarku, ini sudah amat siang untuk
pelajar SMA sepertiku, yang harusnya sudah rapih dan sedang dalam perjalanan
menuju sekolah tercinta. Tetapi, berbeda denganku yang dikalahkan oleh rasa
kantuk yang teramat sangat dan memaksaku untuk tetap menutup mata saat
berjalan, hingga… ‘duk’ kening berbuluku menabrak tembok dekat tempat berbelok
untuk menuju toiletku. Aku langsung gelagapan dan hanya ber-aduh-kesakitan dan
sedikit lari dengan terburu-buru karena Ayahku yang dengan galaknya member
aba-aba untuk segera meninggalkanku jika aku tidak bergegas mandi.
Masih senin pagi, 06:47
Dengan
mandi yang secepat kilat, sekarang aku sudah berubah menjadi pelajar SMA
sungguhan, mengenakan seragam putih abu-abu khas dengan sepatu hitam dan kaus
kaki putih. Untung saja aku sudah mengerti kebiasaanku yang pasti akan
kesiangan, jadi sejak minggu aku sudah mengerjakan tugas dan menyiapkan buku
pelajaran. Dan terlebih untung lagi, aku adalah murid yang cukup rajin walaupun
memiliki kapasitas otak yang biasa-biasa saja.
07:03
Aku
akhirnya sampai disekolah dengan seember ocehan guru piket dan satpam sekolah,
mereka selalu ramah tetapi benci ketika anak murid yang sangat suka terlambat
sepertiku.
***
‘Brak’
bunyi khas dari dua orang yang bertabrakan bahu dengan cukup keras, yang baru
saja aku rasakan. Aku ditabrak dari belakang. Kontan saja, aku langsung
tersungkur ke lantai, dengan lutut yang sedikit luka dan buku-buku yang jatuh
mencium lantai. Aku buru-buru merapihkannya, sedangkan sang tersangka pemilik
buku-buku yang jatuh tersebut seperti tiada dosa tak mengucap satu patah kata
pun. Lalu, dengan kesakitan, aku mencoba berdiri mengingat aku sudah hamper
terlambat 10 menit.
“Maaf
ya, aku gak sengaja. Tadi buru-buru,” ia berbicara dengan sedikit berteriak
karena melihatku berlari dengan pincang, yang sudah jauh dari tempat kejadian
perkara. Tidak sempat dan malas membuang waktu, aku berlalu begitu saja tanpa
menjawab permintaan maaf tersebut.
Senin sore, 16:35
Aku
baru sempat pulang sekolah karena mampir ke UKS sebentar, karena takut luka
kecil itu akan mengakibatkan masalah besar. Karena jujur saja, aku sangat
rentan terhadap penyakit. Aku jadi teringat temanku saat TK yang menabrakku
dari belakang juga seperti tadi. Lalu, saat aku pulang mamaku sampai kewalahan
karena luka di lututku yang kecil namun ketika terlambat diobati menjadi luka
yang cukup besar karena infeksi yang cukup parah. Dan sekarang, sudah tidak ada
lagi mama, bukannya aku tidak menyayangi ayahku, aku hanya tidak ingin
merepotkannya dengan masalah sepele seperti ini.
Sehabis
ini, aku masih harus les bermain biola yang lumayan dekat dari rumahku, masih
satu kompleks. Aku memutuskan untuk bersepeda walaupun lututku masih luka.
Masih juga senin, 20:00
Makan
malam ini sangat berisik oleh omelan ayahku yang sangat antusias dengan luka
baru yang bersarang di lututku. Sejak 9 tahun lalu, aku tidak pernah terluka.
Yang terakhir adalah yang tadi aku ceritakan, ketika aku TK. Karena sejak itu,
mama dan seisi rumah menjagaku ketat, lalu ayahku malah mengenang sosok mama
dan bernostalgia ke 9 tahun lalu, saat aku TK dan abang Nenoku kelas 2 SD, saat
itulah aku dan abangku jarang bermain keluar rumah, jarang bermain layaknya
anak-anak seumuran kami, dan kami pun tidak keberatan karena aku dan abangku
merupakan tipe orang yang cukup pendiam dan jarang bermain, namun kami sangat
baik dalam bersosialisasi dan beradaptasi dengan teman, tetangga, atau orang
lain.
Lalu,
lagi-lagi nostalgia ayah berujung matanya yang berkaca-kaca yang meneteskan air
matanya yang disekanya cepat saat aku dan abangku pura-pura tidak melihatnya.
Padahal kami sangat tahu kebiasaan pria
paruh baya itu, dia adalah batu karang keluarga kami, walaupun kuat dia
sebenarnya terkikis oleh kepergian mama 3 tahun lalu.
***
Kamis, 09:47. Sekolah tercinta
“Hey!
Bisa ngomong sebentar?” lelaki itu menepuk pundakku pelan saat sedang di ruang
musik. Sebenarnya aku tidak suka diganggu saat sedang bermain piano seperti
ini, karena jam istirahat adalah surge bagiku melatih jari-jari lembutku
mencium not-not lagu pada piano tua yang masih sangat berguna di ruang musik
yang sederhana.
“Oke.”
“Maaf
ganggu. Aku cuma mau minta maaf.”
“Oh
iya nggk papa.”
“Lukanya
udah sembuh?” dia melirik kearah lututku yang terluka.
“Sedang
proses.”
“Nih,”
dia tersenyum simpul dan merogoh coklat cukup besar dari dalam kantung
celananya yang kelihatan kecil.
“Buat
apa?”
“Kebetulan
aja lagi bawa coklat.”
“Makasih.
Eh tapi nggk usah deh. Coklatnya rasa coklat sih.”
“Lah?”
dia mengerutkan dahinya.
“Hehehe,
aku lebih suka yang coklat vanilla.”
“Besok
deh, sekarang yang ini dulu,” dengan sedikit tertawa lalu mengembangkan
senyumnya yang sangat manis.
“Becanda
kok! Oke. Aku duluan ya,” aku berdiri bergegas meninggalkan tempat kami berdua
duduk. Lalu, dia menarik tangan kiriku. Aku hanya bisa menengok dan menunggu
apa yang ingin dia katakan. “Hmm?”
“Nama
kamu?”
“Hima
Anastasya.”
“Kelas?”
“10-5”
“Bima
Dimaskara, 12 ipa 5.”
“Oke,
kak Bima!”
“Ya,
makasih untuk waktunya.”
“Yep!
Bukan masalah.”
Dia
melepaskan tangannya dari pergelangan tangan kiriku. Lalu aku hanya berlalu,
berjalan dengan hembusan angin yang meniupkan rambutku hingga sedikit
terangkat.
***
Aku
menyaksikan rintik-rintik hujan menerjang jendela kamarku. Embun yang terbentuk
indah memburamkan apa yang ada diluar hingga samar dilihatnya. Aku hanya
berdiam diri, duduk dengan selimut, dan gadget dihadapanku. Hanya aku biarkan.
Aku hanya melamun, bertopang dagu memandang jendela tetapi pandanganku kosong,
hingga angin yang ditimbulkan dari hujan tersebut merasuk hingga ke tulang
rusuk. Aku merebahkan diri. Menatap langit-langit kamarku, ada bintang buatan
disana yang dapat glow in the dark,
dengan lampu ditengahnya, bulat sederhana namun sangat indah jika malam tiba.
Aku
terbangun karena gadgetku bergetar, layar lebarnya bertuliskan ‘Kak Bima is calling you…’ lalu aku
menekan tombol hijau.
“Hai.
Ada acara?”
“Enggak
ada..”
Sesaat
setelah kujawab, terdengar sepercik keceriaan dari ujung sana, “Jalan yuk!”
“Ini
hujan, kak!!!!!”
“Boleh
hujan-hujanan nggak?”
“Siapa
takut!”
“Tunggu
aku..”
“Oke..”
Sepersekian
detik setelah panggilan itu terhentikan, aku heran dengan diriku sendiri. Kami
dekat sejak hari kamis lalu. Dan sekarang baru 3 hari sejak kejadian coklat
rasa coklat itu, kami sudah seperti kenal sangat lama. Hingga aku sering smsan
dengannya, YM-an, dan terkadang sekedar membalas mention yang agak tidak
penting di Twitter. But, I love our
conversations, silly but it’s so funny. Bahkan, ayah dan abangku sendiri
tidak percaya, selain piano yang kupegang, sekarang hampir tiap waktu aku
memegang gadget dengan senyum yang menyimpan arti tertentu.
Dan
yang mengherankan lagi, aku yang lebih suka lagu klasik, sekarang karena kak
Bima merekomendasikan lagu-lagu pop dan jazz kesukaannya, sekarang gadget sudah
terisi penuh dengan 3 genre musik
yang kusebutkan tadi. Falling in love?
Apakah begini rasanya? Aku membatin.
***
Masih minggu dengan gerimis, 11:45
Kak Bima! batinku. Aku
sedikit berlari hingga hampir terpeleset mendengar deru kendaraan roda 4
berhenti di depan gerbang rumahku. Hingga hampir menabrak abangku yang sedang
mengupas buah di meja makan, aku tersentak melihat ayah yang sudah duduk berdua
dengan sosok yang sudah ku tunggu kedatangannya sejak tadi. Mereka terlihat
asik mengobrol.
“Sini!
Ada temen kamu.”
Dengan
langkah gontai, aku mendekat kearah sofa berwarna campuran pink, biru muda, dan
ungu yang sangat lembut itu. Menunggu apa reaksi dari kedua sosok yang sudah
ada tepat dihadapanku.
“Om,
kita boleh hujan-hujanan?”
“Asal
Hima masih bisa sehat-sehat aja setelah main hujan sih nggak masalah,” dengan
santainya.
“Saya
jamin!”
“Jadi
aku harus pake baju bagus atau biasa kalo cuma mau main hujan?”
“Kita
kan mau lunch dulu, main kemana dulu,
baru main hujan. Kayaknya hujannya awet kok.”
“Oke,
tunggu bentar deh ya..”
“Oke..”
***
Memasuki
mobil terios silver dengan short dress
bermotif bunga-bunga samar berwarna ungu dengan sepatu boots berwarna vanilla,
lalu rambut yang ku kuncir setengah asal dengan model rambutku yang keritingnya
hanya dari tengah hingga ujung rambut itu menambah kesan kasual. Aku pun sangat
cuek dalam berpakaian, hingga aku tidak tahu apakah baju yang kupakai ini cocok
atau tidak itu terserah yang melihat, yang pasti kak Bima tidak protes dengan
apa yang ku kenakan. Dengan sepatu abu-abu dan baju lengan panjang serta jeans
yang ujungnya digulung, kak Bima sangat tampak cool! Yah, benar saja. Dia adalah anak band disekolah kami, sangat
lihai berpakaian dan memadukan berbagai jenis sepatu yang cocok dengan tubuhnya
yang jenjang dan wajahnya yang manis, terlebih lesung pipinya yang dalam di
kedua pipinya. Itu sangat menakjubkan! Bersama dengannya, bisa dekat dan bisa
jalan seperti ini, sangatlah keberuntungan bagi perempuan biasa sepertiku.
“Kamu
tau tempat yang enak dan hangat untuk tempat kita makan siang?”
“Umm..
aku tau!”
“Oke,
tunjukkin jalannya.”
“Siap!”
Ketika
ditanya tempat makan yang hangat dan enak disantap saat cuaca dingin seperti
ini, aku jadi ingat malam dimana aku dan sekeluarga saat masih ada mamaku,
makan ditempat makan yang cukup murah dan cukup mewah, serta makanannya yang
sangat nikmat! Disana terdapat pisang keju yang paling kusuka dan coklat panas
vanilla dengan taburan kayu manis diatasnya yang sangat lezat. Aku rindu masa-masa itu, batinku.
Saat
setelah kami sampai, kak Bima meraih tangan kananku, dia menggenggamnya erat
dan mengajakku berlari karena hujan masih turun dengan cukup lebat, hingga
sepersekian detik saat sampai di dalam restoran tersebut, aku merasa pipiku
memanas dan jantungku yang detakannya sangat tidak teratur. Seakan tidak ingin
berakhir, aku menikmati pegangan hangat tangan kak Bima menyentuh lembut dan
bersatu dalam sebuah genggaman yang begitu melindungi. Namun setelah kami
berdua bertatapan, aku merasa mungkin wajahku sudah memerah dan langsung
melepaskan genggaman erat tersebut, walaupun dengan sedikit terpaksa.
***
“Banana-cheesenya
sama hot-chocolate-vanillanya ya mba. Kamu apa ma?”
Aku
hanya ternganga. Itu makanan favoritku dan sekeluargaku disini! Apalagi mamaku,
dia sangat menyukai rasa kayu manis yang terselip diantara taburan coklat parut
diatas hot-chocolate-vanillanya, aku juga seperti itu, bahkan abangku bisa
memesan 2 kali atau lebih saat berada disini. Bagaimana kak Bima bisa tahu!?
“Samain,” jawabku singkat.
“Oke!
Banana-cheese 2 dan hot-chocolate-vanilla 2.” Ulang waiter yang rambutnya rapih
tergulung tersebut. Kak Bima dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
Lalu,
sambil menunggu pesanan, aku terpacu oleh mata kak Bima yang begitu teduh,
hingga ia tersadar sedang diperhatikan dan memergokiku melihat matanya
lekat-lekat.
“Heh!
Kenapa?”
“Alis
kakak nyatu,” kujawab asal dengan panik.
“Yaelah,
baru sadar?”
“Iya,
baru liat sekarang,” walaupun sedang panik, tetapi aku tidak berbohong, karena
aku memang baru melihat alis menyatunya kak Bima yang begitu manis ketika
dilihat dari jarak yang dekat seperti sekarang, walaupun aku lebih tertarik
dengan pancaran matanya.
“Alis
kamu juga, sampe rambut-rambut di dahi nyatu banget gitu. Keren!”
“Masa
iya?” aku mencari-cari kaca yang bisa kuperhatikan untuk melihat dengan jelas
seperti apa keadaanku sekarang, walaupun aku sudah tahu keadaanku karena aku
tidak sedang memakai poni, hinga bulu-bulu halus disekitar dahiku nampak jelas.
Lalu, aku tersadar kak Bima sedang memperhatikanku.
“Heh!
Kenapa?”
“Mata
kamu, ma!”
“Kenapa?”
aku merasa sangat ingin melihat kaca sekarang juga!!!!!!!!!!!!
“Mirip
mata mama aku..”
“Ha?”
“Lupain
deh.”
“Umm..
oke!”
Hanya
ada hening yang menyelimuti kami. Yang beberapa saat kemudian suasana mencair
kembali dengan datangnya waiter yang membawa pesanan kami. Mataku berbinar saat
mug cantik berisikan coklat panas
yang menguapkan asap yang kelihatannya begitu indah.
Aku
mengintipkan mataku pada cangkir bulat itu, parutan coklat dan bubuk kayu manis
yang sangat ingin kuhabiskan saat itu juga sangat menggiurkan. Namun aku
mengurungkan niatku karena saat aku melihat kearah laki-laki manis dihadapanku
ini, sudah menatapku dengan tatapan geli serta menahan tawa yang membuat lesung
pipinya sangat terlihat jelas. Aku hanya nyengir kuda dan menyantap pisang keju
dengan keju dan susu vanilla yang melimpah menutupi pisang panggangnya dan
meminta sedikit tambahan susu vanilla pada pisang panggang milikku.
Itulah kebiasaanku saat berada di restoran yang mempunyai nuansa klasik ini, terlihat mewah namun murah meriah.
Itulah kebiasaanku saat berada di restoran yang mempunyai nuansa klasik ini, terlihat mewah namun murah meriah.
Saat
sudah menyelesaikan pisang keju gurih yang sangat manis tersebut, aku tak sabar
ingin menyeruput coklat panasku yang masih membumbungkan asap transparannya
dihadapan wajahku saat aku mencium harumnya. Tidak menunggu lama, aku menyantap
coklat panas itu dengan sedikit menutup mata menikmati nikmatnya rasa bubuk
kayu manis dan parutan coklatnya yang lezat.
***
“Udah?”
“Hehehehe,
udah..”
“Udah
pernah kesini ya sebelumnya?”
“Iya.
Kebetulan, sering. Tapi 3 tahun lalu, kalo sekarang udah nggak pernah.”
“Kenapa?”
“Udah
nggak ada dinginnya saat ada mama, semua malam atau siang tapi tanpa mama, jadi
kerasa ada yang kurang aja, jadi nggak pernah kesini lagi.”
“Hmm?”
“Kecelakaan,”
aku memalingkan wajah, agar air mataku tidak jatuh, jujur saja aku sangat
terluka hal ini dibahas.
“Ma..?”
“Hmm?”
“Would
you like to be mine?”
“Tapi?”
kata-kataku terhenti, aku merasa sangat kaget.
“Lebih
enak pacaran baru pendekatan..”
“Yep..”
“Jadi?”
“Hmm..
Iya.. Aku mau.”
Kami
hanya sama-sama mengembangkan senyum yang paling bahagia yang pernah kami
perlihatkan.
***
Masih minggu dengan cuaca dingin, 16:05
Aku
sampai dirumah dengan basah kuyup dan tubuhku yang menggigil. Kak Bima member
jaket yang ada di bagasi miliknya untukku. Dia mengantarkanku sampai rumah dan
meminta maaf kepada ayahku dan abangku, karena sudah membuatku seperti ini.
Aku
hanya bisa tersenyum riang walaupun dalam keadaan yang sudah pasti tidak sehat.
Ayah
dan abangku hanya saling bertatapan, tersenyum, dan mengusap rambut basahku
memaklumi dan mengerti apa yang telah terjadi.
0 comments:
Post a Comment