Dec 31, 2012

Vanilla


            Matahari pagi menari-nari dalam mataku, memancarkan sinarnya. Aku menyipitkan mata. Gorden ungu di kamarku telah terbuka setengah bagian. Matahari terik yang sangat baik di pagi hari minggu pagi kali ini seakan-akan mengajakku untuk lari pagi. Membakar lemak-lemak yang mengendap di tubuh ini. Lalu, dengan semangat yang tinggi aku bersiap untuk sekedar lari berkeliling kompleks rumahku.
            “Hima! Makan dulu!” Suara nyaring dari lantai bawah rumahku, tepatnya di ruang makan yang berada di sebelah kiri ruang panjang yang cukup luas di lantai bawah. Kamarku memang di lantai 2. Selain itu, hanya ada sisa 5 kamar lain yang berisikan kamar ayah, kamar abangku, gudang, dan 2 kamar kosong jika ada yang ingin menginap ketika terlalu malam bermain ke rumahku.
            Aku bergegas turun dari kamar, memakai training dan baju sekenanya, beserta jaket ungu kesayanganku.
            “Aku mau lari pagi, yah.”
            “Makan dulu gih!” Sigapnya dengan agak melotot.
            “Siap laksanakan komandan!” jawabku.
            Setelah 15 menit menyantap roti dan susu vanilaku, aku masih dengan semangat yang tinggi, meminta izin kepada 2 orang laki-laki dirumah ini; Ayah dan abangku. Sedangkan aku, perempuan tunggal di rumah ini, karena ibuku yang sudah terlebih dahulu menghadap sang khalik sekitar 3 tahun yang lalu, saat aku berumur 11 tahun. Kecelakaan naas yang telah merenggut nyawanya.

***

Senin pagi, 06:35
            Dengan malas, aku berjalan menuju kamar mandi di kamarku, ini sudah amat siang untuk pelajar SMA sepertiku, yang harusnya sudah rapih dan sedang dalam perjalanan menuju sekolah tercinta. Tetapi, berbeda denganku yang dikalahkan oleh rasa kantuk yang teramat sangat dan memaksaku untuk tetap menutup mata saat berjalan, hingga… ‘duk’ kening berbuluku menabrak tembok dekat tempat berbelok untuk menuju toiletku. Aku langsung gelagapan dan hanya ber-aduh-kesakitan dan sedikit lari dengan terburu-buru karena Ayahku yang dengan galaknya member aba-aba untuk segera meninggalkanku jika aku tidak bergegas mandi.

Masih senin pagi, 06:47
            Dengan mandi yang secepat kilat, sekarang aku sudah berubah menjadi pelajar SMA sungguhan, mengenakan seragam putih abu-abu khas dengan sepatu hitam dan kaus kaki putih. Untung saja aku sudah mengerti kebiasaanku yang pasti akan kesiangan, jadi sejak minggu aku sudah mengerjakan tugas dan menyiapkan buku pelajaran. Dan terlebih untung lagi, aku adalah murid yang cukup rajin walaupun memiliki kapasitas otak yang biasa-biasa saja.

07:03
            Aku akhirnya sampai disekolah dengan seember ocehan guru piket dan satpam sekolah, mereka selalu ramah tetapi benci ketika anak murid yang sangat suka terlambat sepertiku.

***

            ‘Brak’ bunyi khas dari dua orang yang bertabrakan bahu dengan cukup keras, yang baru saja aku rasakan. Aku ditabrak dari belakang. Kontan saja, aku langsung tersungkur ke lantai, dengan lutut yang sedikit luka dan buku-buku yang jatuh mencium lantai. Aku buru-buru merapihkannya, sedangkan sang tersangka pemilik buku-buku yang jatuh tersebut seperti tiada dosa tak mengucap satu patah kata pun. Lalu, dengan kesakitan, aku mencoba berdiri mengingat aku sudah hamper terlambat 10 menit.
            “Maaf ya, aku gak sengaja. Tadi buru-buru,” ia berbicara dengan sedikit berteriak karena melihatku berlari dengan pincang, yang sudah jauh dari tempat kejadian perkara. Tidak sempat dan malas membuang waktu, aku berlalu begitu saja tanpa menjawab permintaan maaf tersebut.

Senin sore, 16:35
            Aku baru sempat pulang sekolah karena mampir ke UKS sebentar, karena takut luka kecil itu akan mengakibatkan masalah besar. Karena jujur saja, aku sangat rentan terhadap penyakit. Aku jadi teringat temanku saat TK yang menabrakku dari belakang juga seperti tadi. Lalu, saat aku pulang mamaku sampai kewalahan karena luka di lututku yang kecil namun ketika terlambat diobati menjadi luka yang cukup besar karena infeksi yang cukup parah. Dan sekarang, sudah tidak ada lagi mama, bukannya aku tidak menyayangi ayahku, aku hanya tidak ingin merepotkannya dengan masalah sepele seperti ini.
            Sehabis ini, aku masih harus les bermain biola yang lumayan dekat dari rumahku, masih satu kompleks. Aku memutuskan untuk bersepeda walaupun lututku masih luka.

Masih juga senin, 20:00
            Makan malam ini sangat berisik oleh omelan ayahku yang sangat antusias dengan luka baru yang bersarang di lututku. Sejak 9 tahun lalu, aku tidak pernah terluka. Yang terakhir adalah yang tadi aku ceritakan, ketika aku TK. Karena sejak itu, mama dan seisi rumah menjagaku ketat, lalu ayahku malah mengenang sosok mama dan bernostalgia ke 9 tahun lalu, saat aku TK dan abang Nenoku kelas 2 SD, saat itulah aku dan abangku jarang bermain keluar rumah, jarang bermain layaknya anak-anak seumuran kami, dan kami pun tidak keberatan karena aku dan abangku merupakan tipe orang yang cukup pendiam dan jarang bermain, namun kami sangat baik dalam bersosialisasi dan beradaptasi dengan teman, tetangga, atau orang lain.
            Lalu, lagi-lagi nostalgia ayah berujung matanya yang berkaca-kaca yang meneteskan air matanya yang disekanya cepat saat aku dan abangku pura-pura tidak melihatnya. Padahal kami  sangat tahu kebiasaan pria paruh baya itu, dia adalah batu karang keluarga kami, walaupun kuat dia sebenarnya terkikis oleh kepergian mama 3 tahun lalu.

***

Kamis, 09:47. Sekolah tercinta
            “Hey! Bisa ngomong sebentar?” lelaki itu menepuk pundakku pelan saat sedang di ruang musik. Sebenarnya aku tidak suka diganggu saat sedang bermain piano seperti ini, karena jam istirahat adalah surge bagiku melatih jari-jari lembutku mencium not-not lagu pada piano tua yang masih sangat berguna di ruang musik yang sederhana.
            “Oke.”
            “Maaf ganggu. Aku cuma mau minta maaf.”
            “Oh iya nggk papa.”
            “Lukanya udah sembuh?” dia melirik kearah lututku yang terluka.
            “Sedang proses.”
            “Nih,” dia tersenyum simpul dan merogoh coklat cukup besar dari dalam kantung celananya yang kelihatan kecil.
            “Buat apa?”
            “Kebetulan aja lagi bawa coklat.”
            “Makasih. Eh tapi nggk usah deh. Coklatnya rasa coklat sih.”
            “Lah?” dia mengerutkan dahinya.
            “Hehehe, aku lebih suka yang coklat vanilla.”
            “Besok deh, sekarang yang ini dulu,” dengan sedikit tertawa lalu mengembangkan senyumnya yang sangat manis.
            “Becanda kok! Oke. Aku duluan ya,” aku berdiri bergegas meninggalkan tempat kami berdua duduk. Lalu, dia menarik tangan kiriku. Aku hanya bisa menengok dan menunggu apa yang ingin dia katakan. “Hmm?”
            “Nama kamu?”
            “Hima Anastasya.”
            “Kelas?”
            “10-5”
            “Bima Dimaskara, 12 ipa 5.”
            “Oke, kak Bima!”
            “Ya, makasih untuk waktunya.”
            “Yep! Bukan masalah.”
            Dia melepaskan tangannya dari pergelangan tangan kiriku. Lalu aku hanya berlalu, berjalan dengan hembusan angin yang meniupkan rambutku hingga sedikit terangkat.

***

            Aku menyaksikan rintik-rintik hujan menerjang jendela kamarku. Embun yang terbentuk indah memburamkan apa yang ada diluar hingga samar dilihatnya. Aku hanya berdiam diri, duduk dengan selimut, dan gadget dihadapanku. Hanya aku biarkan. Aku hanya melamun, bertopang dagu memandang jendela tetapi pandanganku kosong, hingga angin yang ditimbulkan dari hujan tersebut merasuk hingga ke tulang rusuk. Aku merebahkan diri. Menatap langit-langit kamarku, ada bintang buatan disana yang dapat glow in the dark, dengan lampu ditengahnya, bulat sederhana namun sangat indah jika malam tiba.
            Aku terbangun karena gadgetku bergetar, layar lebarnya bertuliskan ‘Kak Bima is calling you…’ lalu aku menekan tombol hijau.
            “Hai. Ada acara?”
            “Enggak ada..”
            Sesaat setelah kujawab, terdengar sepercik keceriaan dari ujung sana, “Jalan yuk!”
            “Ini hujan, kak!!!!!”
            “Boleh hujan-hujanan nggak?”
            “Siapa takut!”
            “Tunggu aku..”
            “Oke..”
            Sepersekian detik setelah panggilan itu terhentikan, aku heran dengan diriku sendiri. Kami dekat sejak hari kamis lalu. Dan sekarang baru 3 hari sejak kejadian coklat rasa coklat itu, kami sudah seperti kenal sangat lama. Hingga aku sering smsan dengannya, YM-an, dan terkadang sekedar membalas mention yang agak tidak penting di Twitter. But, I love our conversations, silly but it’s so funny. Bahkan, ayah dan abangku sendiri tidak percaya, selain piano yang kupegang, sekarang hampir tiap waktu aku memegang gadget dengan senyum yang menyimpan arti tertentu.
            Dan yang mengherankan lagi, aku yang lebih suka lagu klasik, sekarang karena kak Bima merekomendasikan lagu-lagu pop dan jazz kesukaannya, sekarang gadget sudah terisi penuh dengan 3 genre musik yang kusebutkan tadi. Falling in love? Apakah begini rasanya? Aku membatin.

***

Masih minggu dengan gerimis, 11:45
            Kak Bima! batinku. Aku sedikit berlari hingga hampir terpeleset mendengar deru kendaraan roda 4 berhenti di depan gerbang rumahku. Hingga hampir menabrak abangku yang sedang mengupas buah di meja makan, aku tersentak melihat ayah yang sudah duduk berdua dengan sosok yang sudah ku tunggu kedatangannya sejak tadi. Mereka terlihat asik mengobrol.
            “Sini! Ada temen kamu.”
            Dengan langkah gontai, aku mendekat kearah sofa berwarna campuran pink, biru muda, dan ungu yang sangat lembut itu. Menunggu apa reaksi dari kedua sosok yang sudah ada tepat dihadapanku.
            “Om, kita boleh hujan-hujanan?”
            “Asal Hima masih bisa sehat-sehat aja setelah main hujan sih nggak masalah,” dengan santainya.
            “Saya jamin!”
            “Jadi aku harus pake baju bagus atau biasa kalo cuma mau main hujan?”
            “Kita kan mau lunch dulu, main kemana dulu, baru main hujan. Kayaknya hujannya awet kok.”
            “Oke, tunggu bentar deh ya..”
            “Oke..”

***

            Memasuki mobil terios silver dengan short dress bermotif bunga-bunga samar berwarna ungu dengan sepatu boots berwarna vanilla, lalu rambut yang ku kuncir setengah asal dengan model rambutku yang keritingnya hanya dari tengah hingga ujung rambut itu menambah kesan kasual. Aku pun sangat cuek dalam berpakaian, hingga aku tidak tahu apakah baju yang kupakai ini cocok atau tidak itu terserah yang melihat, yang pasti kak Bima tidak protes dengan apa yang ku kenakan. Dengan sepatu abu-abu dan baju lengan panjang serta jeans yang ujungnya digulung, kak Bima sangat tampak cool! Yah, benar saja. Dia adalah anak band disekolah kami, sangat lihai berpakaian dan memadukan berbagai jenis sepatu yang cocok dengan tubuhnya yang jenjang dan wajahnya yang manis, terlebih lesung pipinya yang dalam di kedua pipinya. Itu sangat menakjubkan! Bersama dengannya, bisa dekat dan bisa jalan seperti ini, sangatlah keberuntungan bagi perempuan biasa sepertiku.

            “Kamu tau tempat yang enak dan hangat untuk tempat kita makan siang?”
            “Umm.. aku tau!”
            “Oke, tunjukkin jalannya.”
            “Siap!”
            Ketika ditanya tempat makan yang hangat dan enak disantap saat cuaca dingin seperti ini, aku jadi ingat malam dimana aku dan sekeluarga saat masih ada mamaku, makan ditempat makan yang cukup murah dan cukup mewah, serta makanannya yang sangat nikmat! Disana terdapat pisang keju yang paling kusuka dan coklat panas vanilla dengan taburan kayu manis diatasnya yang sangat lezat. Aku rindu masa-masa itu, batinku.

            Saat setelah kami sampai, kak Bima meraih tangan kananku, dia menggenggamnya erat dan mengajakku berlari karena hujan masih turun dengan cukup lebat, hingga sepersekian detik saat sampai di dalam restoran tersebut, aku merasa pipiku memanas dan jantungku yang detakannya sangat tidak teratur. Seakan tidak ingin berakhir, aku menikmati pegangan hangat tangan kak Bima menyentuh lembut dan bersatu dalam sebuah genggaman yang begitu melindungi. Namun setelah kami berdua bertatapan, aku merasa mungkin wajahku sudah memerah dan langsung melepaskan genggaman erat tersebut, walaupun dengan sedikit terpaksa.

***

            “Banana-cheesenya sama hot-chocolate-vanillanya ya mba. Kamu apa ma?”
            Aku hanya ternganga. Itu makanan favoritku dan sekeluargaku disini! Apalagi mamaku, dia sangat menyukai rasa kayu manis yang terselip diantara taburan coklat parut diatas hot-chocolate-vanillanya, aku juga seperti itu, bahkan abangku bisa memesan 2 kali atau lebih saat berada disini. Bagaimana kak Bima bisa tahu!? “Samain,” jawabku singkat.
            “Oke! Banana-cheese 2 dan hot-chocolate-vanilla 2.” Ulang waiter yang rambutnya rapih tergulung tersebut. Kak Bima dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
            Lalu, sambil menunggu pesanan, aku terpacu oleh mata kak Bima yang begitu teduh, hingga ia tersadar sedang diperhatikan dan memergokiku melihat matanya lekat-lekat.
            “Heh! Kenapa?”
            “Alis kakak nyatu,” kujawab asal dengan panik.
            “Yaelah, baru sadar?”
            “Iya, baru liat sekarang,” walaupun sedang panik, tetapi aku tidak berbohong, karena aku memang baru melihat alis menyatunya kak Bima yang begitu manis ketika dilihat dari jarak yang dekat seperti sekarang, walaupun aku lebih tertarik dengan pancaran matanya.
            “Alis kamu juga, sampe rambut-rambut di dahi nyatu banget gitu. Keren!”
            “Masa iya?” aku mencari-cari kaca yang bisa kuperhatikan untuk melihat dengan jelas seperti apa keadaanku sekarang, walaupun aku sudah tahu keadaanku karena aku tidak sedang memakai poni, hinga bulu-bulu halus disekitar dahiku nampak jelas. Lalu, aku tersadar kak Bima sedang memperhatikanku.
            “Heh! Kenapa?”
            “Mata kamu, ma!”
            “Kenapa?” aku merasa sangat ingin melihat kaca sekarang juga!!!!!!!!!!!!
            “Mirip mata mama aku..”
            “Ha?”
            “Lupain deh.”
            “Umm.. oke!”
            Hanya ada hening yang menyelimuti kami. Yang beberapa saat kemudian suasana mencair kembali dengan datangnya waiter yang membawa pesanan kami. Mataku berbinar saat mug cantik berisikan coklat panas yang menguapkan asap yang kelihatannya begitu indah.
            Aku mengintipkan mataku pada cangkir bulat itu, parutan coklat dan bubuk kayu manis yang sangat ingin kuhabiskan saat itu juga sangat menggiurkan. Namun aku mengurungkan niatku karena saat aku melihat kearah laki-laki manis dihadapanku ini, sudah menatapku dengan tatapan geli serta menahan tawa yang membuat lesung pipinya sangat terlihat jelas. Aku hanya nyengir kuda dan menyantap pisang keju dengan keju dan susu vanilla yang melimpah menutupi pisang panggangnya dan meminta sedikit tambahan susu vanilla pada pisang panggang milikku.              
Itulah kebiasaanku saat berada di restoran yang mempunyai nuansa klasik ini, terlihat mewah namun murah meriah.
            Saat sudah menyelesaikan pisang keju gurih yang sangat manis tersebut, aku tak sabar ingin menyeruput coklat panasku yang masih membumbungkan asap transparannya dihadapan wajahku saat aku mencium harumnya. Tidak menunggu lama, aku menyantap coklat panas itu dengan sedikit menutup mata menikmati nikmatnya rasa bubuk kayu manis dan parutan coklatnya yang lezat.

***

            “Udah?”
                        “Hehehehe, udah..”
            “Udah pernah kesini ya sebelumnya?”
            “Iya. Kebetulan, sering. Tapi 3 tahun lalu, kalo sekarang udah nggak pernah.”
            “Kenapa?”
            “Udah nggak ada dinginnya saat ada mama, semua malam atau siang tapi tanpa mama, jadi kerasa ada yang kurang aja, jadi nggak pernah kesini lagi.”
            “Hmm?”
            “Kecelakaan,” aku memalingkan wajah, agar air mataku tidak jatuh, jujur saja aku sangat terluka hal ini dibahas.
            “Ma..?”
            “Hmm?”
            “Would you like to be mine?”
            “Tapi?” kata-kataku terhenti, aku merasa sangat kaget.
            “Lebih enak pacaran baru pendekatan..”
            “Yep..”
            “Jadi?”
            “Hmm.. Iya.. Aku mau.”
            Kami hanya sama-sama mengembangkan senyum yang paling bahagia yang pernah kami perlihatkan.

***

Masih minggu dengan cuaca dingin, 16:05
            Aku sampai dirumah dengan basah kuyup dan tubuhku yang menggigil. Kak Bima member jaket yang ada di bagasi miliknya untukku. Dia mengantarkanku sampai rumah dan meminta maaf kepada ayahku dan abangku, karena sudah membuatku seperti ini.
            Aku hanya bisa tersenyum riang walaupun dalam keadaan yang sudah pasti tidak sehat.
            Ayah dan abangku hanya saling bertatapan, tersenyum, dan mengusap rambut basahku memaklumi dan mengerti apa yang telah terjadi.

0 comments:

Post a Comment

Dec 31, 2012

Vanilla


            Matahari pagi menari-nari dalam mataku, memancarkan sinarnya. Aku menyipitkan mata. Gorden ungu di kamarku telah terbuka setengah bagian. Matahari terik yang sangat baik di pagi hari minggu pagi kali ini seakan-akan mengajakku untuk lari pagi. Membakar lemak-lemak yang mengendap di tubuh ini. Lalu, dengan semangat yang tinggi aku bersiap untuk sekedar lari berkeliling kompleks rumahku.
            “Hima! Makan dulu!” Suara nyaring dari lantai bawah rumahku, tepatnya di ruang makan yang berada di sebelah kiri ruang panjang yang cukup luas di lantai bawah. Kamarku memang di lantai 2. Selain itu, hanya ada sisa 5 kamar lain yang berisikan kamar ayah, kamar abangku, gudang, dan 2 kamar kosong jika ada yang ingin menginap ketika terlalu malam bermain ke rumahku.
            Aku bergegas turun dari kamar, memakai training dan baju sekenanya, beserta jaket ungu kesayanganku.
            “Aku mau lari pagi, yah.”
            “Makan dulu gih!” Sigapnya dengan agak melotot.
            “Siap laksanakan komandan!” jawabku.
            Setelah 15 menit menyantap roti dan susu vanilaku, aku masih dengan semangat yang tinggi, meminta izin kepada 2 orang laki-laki dirumah ini; Ayah dan abangku. Sedangkan aku, perempuan tunggal di rumah ini, karena ibuku yang sudah terlebih dahulu menghadap sang khalik sekitar 3 tahun yang lalu, saat aku berumur 11 tahun. Kecelakaan naas yang telah merenggut nyawanya.

***

Senin pagi, 06:35
            Dengan malas, aku berjalan menuju kamar mandi di kamarku, ini sudah amat siang untuk pelajar SMA sepertiku, yang harusnya sudah rapih dan sedang dalam perjalanan menuju sekolah tercinta. Tetapi, berbeda denganku yang dikalahkan oleh rasa kantuk yang teramat sangat dan memaksaku untuk tetap menutup mata saat berjalan, hingga… ‘duk’ kening berbuluku menabrak tembok dekat tempat berbelok untuk menuju toiletku. Aku langsung gelagapan dan hanya ber-aduh-kesakitan dan sedikit lari dengan terburu-buru karena Ayahku yang dengan galaknya member aba-aba untuk segera meninggalkanku jika aku tidak bergegas mandi.

Masih senin pagi, 06:47
            Dengan mandi yang secepat kilat, sekarang aku sudah berubah menjadi pelajar SMA sungguhan, mengenakan seragam putih abu-abu khas dengan sepatu hitam dan kaus kaki putih. Untung saja aku sudah mengerti kebiasaanku yang pasti akan kesiangan, jadi sejak minggu aku sudah mengerjakan tugas dan menyiapkan buku pelajaran. Dan terlebih untung lagi, aku adalah murid yang cukup rajin walaupun memiliki kapasitas otak yang biasa-biasa saja.

07:03
            Aku akhirnya sampai disekolah dengan seember ocehan guru piket dan satpam sekolah, mereka selalu ramah tetapi benci ketika anak murid yang sangat suka terlambat sepertiku.

***

            ‘Brak’ bunyi khas dari dua orang yang bertabrakan bahu dengan cukup keras, yang baru saja aku rasakan. Aku ditabrak dari belakang. Kontan saja, aku langsung tersungkur ke lantai, dengan lutut yang sedikit luka dan buku-buku yang jatuh mencium lantai. Aku buru-buru merapihkannya, sedangkan sang tersangka pemilik buku-buku yang jatuh tersebut seperti tiada dosa tak mengucap satu patah kata pun. Lalu, dengan kesakitan, aku mencoba berdiri mengingat aku sudah hamper terlambat 10 menit.
            “Maaf ya, aku gak sengaja. Tadi buru-buru,” ia berbicara dengan sedikit berteriak karena melihatku berlari dengan pincang, yang sudah jauh dari tempat kejadian perkara. Tidak sempat dan malas membuang waktu, aku berlalu begitu saja tanpa menjawab permintaan maaf tersebut.

Senin sore, 16:35
            Aku baru sempat pulang sekolah karena mampir ke UKS sebentar, karena takut luka kecil itu akan mengakibatkan masalah besar. Karena jujur saja, aku sangat rentan terhadap penyakit. Aku jadi teringat temanku saat TK yang menabrakku dari belakang juga seperti tadi. Lalu, saat aku pulang mamaku sampai kewalahan karena luka di lututku yang kecil namun ketika terlambat diobati menjadi luka yang cukup besar karena infeksi yang cukup parah. Dan sekarang, sudah tidak ada lagi mama, bukannya aku tidak menyayangi ayahku, aku hanya tidak ingin merepotkannya dengan masalah sepele seperti ini.
            Sehabis ini, aku masih harus les bermain biola yang lumayan dekat dari rumahku, masih satu kompleks. Aku memutuskan untuk bersepeda walaupun lututku masih luka.

Masih juga senin, 20:00
            Makan malam ini sangat berisik oleh omelan ayahku yang sangat antusias dengan luka baru yang bersarang di lututku. Sejak 9 tahun lalu, aku tidak pernah terluka. Yang terakhir adalah yang tadi aku ceritakan, ketika aku TK. Karena sejak itu, mama dan seisi rumah menjagaku ketat, lalu ayahku malah mengenang sosok mama dan bernostalgia ke 9 tahun lalu, saat aku TK dan abang Nenoku kelas 2 SD, saat itulah aku dan abangku jarang bermain keluar rumah, jarang bermain layaknya anak-anak seumuran kami, dan kami pun tidak keberatan karena aku dan abangku merupakan tipe orang yang cukup pendiam dan jarang bermain, namun kami sangat baik dalam bersosialisasi dan beradaptasi dengan teman, tetangga, atau orang lain.
            Lalu, lagi-lagi nostalgia ayah berujung matanya yang berkaca-kaca yang meneteskan air matanya yang disekanya cepat saat aku dan abangku pura-pura tidak melihatnya. Padahal kami  sangat tahu kebiasaan pria paruh baya itu, dia adalah batu karang keluarga kami, walaupun kuat dia sebenarnya terkikis oleh kepergian mama 3 tahun lalu.

***

Kamis, 09:47. Sekolah tercinta
            “Hey! Bisa ngomong sebentar?” lelaki itu menepuk pundakku pelan saat sedang di ruang musik. Sebenarnya aku tidak suka diganggu saat sedang bermain piano seperti ini, karena jam istirahat adalah surge bagiku melatih jari-jari lembutku mencium not-not lagu pada piano tua yang masih sangat berguna di ruang musik yang sederhana.
            “Oke.”
            “Maaf ganggu. Aku cuma mau minta maaf.”
            “Oh iya nggk papa.”
            “Lukanya udah sembuh?” dia melirik kearah lututku yang terluka.
            “Sedang proses.”
            “Nih,” dia tersenyum simpul dan merogoh coklat cukup besar dari dalam kantung celananya yang kelihatan kecil.
            “Buat apa?”
            “Kebetulan aja lagi bawa coklat.”
            “Makasih. Eh tapi nggk usah deh. Coklatnya rasa coklat sih.”
            “Lah?” dia mengerutkan dahinya.
            “Hehehe, aku lebih suka yang coklat vanilla.”
            “Besok deh, sekarang yang ini dulu,” dengan sedikit tertawa lalu mengembangkan senyumnya yang sangat manis.
            “Becanda kok! Oke. Aku duluan ya,” aku berdiri bergegas meninggalkan tempat kami berdua duduk. Lalu, dia menarik tangan kiriku. Aku hanya bisa menengok dan menunggu apa yang ingin dia katakan. “Hmm?”
            “Nama kamu?”
            “Hima Anastasya.”
            “Kelas?”
            “10-5”
            “Bima Dimaskara, 12 ipa 5.”
            “Oke, kak Bima!”
            “Ya, makasih untuk waktunya.”
            “Yep! Bukan masalah.”
            Dia melepaskan tangannya dari pergelangan tangan kiriku. Lalu aku hanya berlalu, berjalan dengan hembusan angin yang meniupkan rambutku hingga sedikit terangkat.

***

            Aku menyaksikan rintik-rintik hujan menerjang jendela kamarku. Embun yang terbentuk indah memburamkan apa yang ada diluar hingga samar dilihatnya. Aku hanya berdiam diri, duduk dengan selimut, dan gadget dihadapanku. Hanya aku biarkan. Aku hanya melamun, bertopang dagu memandang jendela tetapi pandanganku kosong, hingga angin yang ditimbulkan dari hujan tersebut merasuk hingga ke tulang rusuk. Aku merebahkan diri. Menatap langit-langit kamarku, ada bintang buatan disana yang dapat glow in the dark, dengan lampu ditengahnya, bulat sederhana namun sangat indah jika malam tiba.
            Aku terbangun karena gadgetku bergetar, layar lebarnya bertuliskan ‘Kak Bima is calling you…’ lalu aku menekan tombol hijau.
            “Hai. Ada acara?”
            “Enggak ada..”
            Sesaat setelah kujawab, terdengar sepercik keceriaan dari ujung sana, “Jalan yuk!”
            “Ini hujan, kak!!!!!”
            “Boleh hujan-hujanan nggak?”
            “Siapa takut!”
            “Tunggu aku..”
            “Oke..”
            Sepersekian detik setelah panggilan itu terhentikan, aku heran dengan diriku sendiri. Kami dekat sejak hari kamis lalu. Dan sekarang baru 3 hari sejak kejadian coklat rasa coklat itu, kami sudah seperti kenal sangat lama. Hingga aku sering smsan dengannya, YM-an, dan terkadang sekedar membalas mention yang agak tidak penting di Twitter. But, I love our conversations, silly but it’s so funny. Bahkan, ayah dan abangku sendiri tidak percaya, selain piano yang kupegang, sekarang hampir tiap waktu aku memegang gadget dengan senyum yang menyimpan arti tertentu.
            Dan yang mengherankan lagi, aku yang lebih suka lagu klasik, sekarang karena kak Bima merekomendasikan lagu-lagu pop dan jazz kesukaannya, sekarang gadget sudah terisi penuh dengan 3 genre musik yang kusebutkan tadi. Falling in love? Apakah begini rasanya? Aku membatin.

***

Masih minggu dengan gerimis, 11:45
            Kak Bima! batinku. Aku sedikit berlari hingga hampir terpeleset mendengar deru kendaraan roda 4 berhenti di depan gerbang rumahku. Hingga hampir menabrak abangku yang sedang mengupas buah di meja makan, aku tersentak melihat ayah yang sudah duduk berdua dengan sosok yang sudah ku tunggu kedatangannya sejak tadi. Mereka terlihat asik mengobrol.
            “Sini! Ada temen kamu.”
            Dengan langkah gontai, aku mendekat kearah sofa berwarna campuran pink, biru muda, dan ungu yang sangat lembut itu. Menunggu apa reaksi dari kedua sosok yang sudah ada tepat dihadapanku.
            “Om, kita boleh hujan-hujanan?”
            “Asal Hima masih bisa sehat-sehat aja setelah main hujan sih nggak masalah,” dengan santainya.
            “Saya jamin!”
            “Jadi aku harus pake baju bagus atau biasa kalo cuma mau main hujan?”
            “Kita kan mau lunch dulu, main kemana dulu, baru main hujan. Kayaknya hujannya awet kok.”
            “Oke, tunggu bentar deh ya..”
            “Oke..”

***

            Memasuki mobil terios silver dengan short dress bermotif bunga-bunga samar berwarna ungu dengan sepatu boots berwarna vanilla, lalu rambut yang ku kuncir setengah asal dengan model rambutku yang keritingnya hanya dari tengah hingga ujung rambut itu menambah kesan kasual. Aku pun sangat cuek dalam berpakaian, hingga aku tidak tahu apakah baju yang kupakai ini cocok atau tidak itu terserah yang melihat, yang pasti kak Bima tidak protes dengan apa yang ku kenakan. Dengan sepatu abu-abu dan baju lengan panjang serta jeans yang ujungnya digulung, kak Bima sangat tampak cool! Yah, benar saja. Dia adalah anak band disekolah kami, sangat lihai berpakaian dan memadukan berbagai jenis sepatu yang cocok dengan tubuhnya yang jenjang dan wajahnya yang manis, terlebih lesung pipinya yang dalam di kedua pipinya. Itu sangat menakjubkan! Bersama dengannya, bisa dekat dan bisa jalan seperti ini, sangatlah keberuntungan bagi perempuan biasa sepertiku.

            “Kamu tau tempat yang enak dan hangat untuk tempat kita makan siang?”
            “Umm.. aku tau!”
            “Oke, tunjukkin jalannya.”
            “Siap!”
            Ketika ditanya tempat makan yang hangat dan enak disantap saat cuaca dingin seperti ini, aku jadi ingat malam dimana aku dan sekeluarga saat masih ada mamaku, makan ditempat makan yang cukup murah dan cukup mewah, serta makanannya yang sangat nikmat! Disana terdapat pisang keju yang paling kusuka dan coklat panas vanilla dengan taburan kayu manis diatasnya yang sangat lezat. Aku rindu masa-masa itu, batinku.

            Saat setelah kami sampai, kak Bima meraih tangan kananku, dia menggenggamnya erat dan mengajakku berlari karena hujan masih turun dengan cukup lebat, hingga sepersekian detik saat sampai di dalam restoran tersebut, aku merasa pipiku memanas dan jantungku yang detakannya sangat tidak teratur. Seakan tidak ingin berakhir, aku menikmati pegangan hangat tangan kak Bima menyentuh lembut dan bersatu dalam sebuah genggaman yang begitu melindungi. Namun setelah kami berdua bertatapan, aku merasa mungkin wajahku sudah memerah dan langsung melepaskan genggaman erat tersebut, walaupun dengan sedikit terpaksa.

***

            “Banana-cheesenya sama hot-chocolate-vanillanya ya mba. Kamu apa ma?”
            Aku hanya ternganga. Itu makanan favoritku dan sekeluargaku disini! Apalagi mamaku, dia sangat menyukai rasa kayu manis yang terselip diantara taburan coklat parut diatas hot-chocolate-vanillanya, aku juga seperti itu, bahkan abangku bisa memesan 2 kali atau lebih saat berada disini. Bagaimana kak Bima bisa tahu!? “Samain,” jawabku singkat.
            “Oke! Banana-cheese 2 dan hot-chocolate-vanilla 2.” Ulang waiter yang rambutnya rapih tergulung tersebut. Kak Bima dan aku hanya mengangguk mengiyakan.
            Lalu, sambil menunggu pesanan, aku terpacu oleh mata kak Bima yang begitu teduh, hingga ia tersadar sedang diperhatikan dan memergokiku melihat matanya lekat-lekat.
            “Heh! Kenapa?”
            “Alis kakak nyatu,” kujawab asal dengan panik.
            “Yaelah, baru sadar?”
            “Iya, baru liat sekarang,” walaupun sedang panik, tetapi aku tidak berbohong, karena aku memang baru melihat alis menyatunya kak Bima yang begitu manis ketika dilihat dari jarak yang dekat seperti sekarang, walaupun aku lebih tertarik dengan pancaran matanya.
            “Alis kamu juga, sampe rambut-rambut di dahi nyatu banget gitu. Keren!”
            “Masa iya?” aku mencari-cari kaca yang bisa kuperhatikan untuk melihat dengan jelas seperti apa keadaanku sekarang, walaupun aku sudah tahu keadaanku karena aku tidak sedang memakai poni, hinga bulu-bulu halus disekitar dahiku nampak jelas. Lalu, aku tersadar kak Bima sedang memperhatikanku.
            “Heh! Kenapa?”
            “Mata kamu, ma!”
            “Kenapa?” aku merasa sangat ingin melihat kaca sekarang juga!!!!!!!!!!!!
            “Mirip mata mama aku..”
            “Ha?”
            “Lupain deh.”
            “Umm.. oke!”
            Hanya ada hening yang menyelimuti kami. Yang beberapa saat kemudian suasana mencair kembali dengan datangnya waiter yang membawa pesanan kami. Mataku berbinar saat mug cantik berisikan coklat panas yang menguapkan asap yang kelihatannya begitu indah.
            Aku mengintipkan mataku pada cangkir bulat itu, parutan coklat dan bubuk kayu manis yang sangat ingin kuhabiskan saat itu juga sangat menggiurkan. Namun aku mengurungkan niatku karena saat aku melihat kearah laki-laki manis dihadapanku ini, sudah menatapku dengan tatapan geli serta menahan tawa yang membuat lesung pipinya sangat terlihat jelas. Aku hanya nyengir kuda dan menyantap pisang keju dengan keju dan susu vanilla yang melimpah menutupi pisang panggangnya dan meminta sedikit tambahan susu vanilla pada pisang panggang milikku.              
Itulah kebiasaanku saat berada di restoran yang mempunyai nuansa klasik ini, terlihat mewah namun murah meriah.
            Saat sudah menyelesaikan pisang keju gurih yang sangat manis tersebut, aku tak sabar ingin menyeruput coklat panasku yang masih membumbungkan asap transparannya dihadapan wajahku saat aku mencium harumnya. Tidak menunggu lama, aku menyantap coklat panas itu dengan sedikit menutup mata menikmati nikmatnya rasa bubuk kayu manis dan parutan coklatnya yang lezat.

***

            “Udah?”
                        “Hehehehe, udah..”
            “Udah pernah kesini ya sebelumnya?”
            “Iya. Kebetulan, sering. Tapi 3 tahun lalu, kalo sekarang udah nggak pernah.”
            “Kenapa?”
            “Udah nggak ada dinginnya saat ada mama, semua malam atau siang tapi tanpa mama, jadi kerasa ada yang kurang aja, jadi nggak pernah kesini lagi.”
            “Hmm?”
            “Kecelakaan,” aku memalingkan wajah, agar air mataku tidak jatuh, jujur saja aku sangat terluka hal ini dibahas.
            “Ma..?”
            “Hmm?”
            “Would you like to be mine?”
            “Tapi?” kata-kataku terhenti, aku merasa sangat kaget.
            “Lebih enak pacaran baru pendekatan..”
            “Yep..”
            “Jadi?”
            “Hmm.. Iya.. Aku mau.”
            Kami hanya sama-sama mengembangkan senyum yang paling bahagia yang pernah kami perlihatkan.

***

Masih minggu dengan cuaca dingin, 16:05
            Aku sampai dirumah dengan basah kuyup dan tubuhku yang menggigil. Kak Bima member jaket yang ada di bagasi miliknya untukku. Dia mengantarkanku sampai rumah dan meminta maaf kepada ayahku dan abangku, karena sudah membuatku seperti ini.
            Aku hanya bisa tersenyum riang walaupun dalam keadaan yang sudah pasti tidak sehat.
            Ayah dan abangku hanya saling bertatapan, tersenyum, dan mengusap rambut basahku memaklumi dan mengerti apa yang telah terjadi.

No comments:

Post a Comment

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design