Mar 5, 2013

Mawar: 15


“Bagaimana kau bisa yakin, bukankah dia sudah memiliki pacar? Jangan bermimpi Alena!” ujarnya.
“Tentu saja karena hati kecilku berkata seperti itu,” kataku tak mau kalah.
Hening. Suasana berubah menjadi sunyi. Yang ada hanya helaan napas kami yang berat dan panjang. Kami hampir selalu seperti ini. Bertengkar dalam hal apapun.
Sekarang sosok itu memandangiku, mengaku kalah dengan tatapan dinginnya.
***

Nada resah itu terdengar semakin lelah sekarang. Dia sudah menghabiskan waktunya hampir 3 jam di dalam perpustakaan pengap ini, namun dia tidak berhenti berusaha.
“Bagaimana aku bisa ujian besok dengan otakku yang kosong ini?” sahutnya gelisah.
“Kimia bukanlah sesuatu yang buruk, Mia!”
“Kau berkata seperti itu karena kau menyukai pelajarannya, Al. Bilang saja ingin cepat-cepat melihat Bil.”
“Kau lebih penting dari sekedar orang yang aku suka sejak 15 bulan yang lalu, Mia..”
“Ayo pulang dan bertemu Bil di gerbang jika beruntung!”
Mia selalu menggandeng tanganku yang berkeringat. Terkadang, dia mengelapnya dengan tisu. Dia sosok kakak perempuan yang dingin, tetapi lembut. Kami tinggal serumah, tetapi berbeda kamar. Kami ini kembar, tetapi hampir tidak memiliki kesamaan. Rambutku ikal panjang dan rambut Mia lurus sebahu, Mia seorang yang kaku dan aku ekspresif. Mia banyak diam dan aku selalu banyak berbicara, nama kami pun tidak mirip, hanya nama Josephine di belakang nama kami yang sama. Mia memiliki pacar yang sempurna dan aku tidak. Bahkan aku tidak punya pacar, tetapi aku tidak meributkan itu, atau bahkan aku sama sekali tidak iri dengan hidup kakak perempuanku itu. Iya, dia cantik, tinggi, putih mulus, dan tentu saja pintar kecuali dalam kimia, tapi dia terlalu banyak diam. Hanya Luki yang berhasil merampas semua senyum lebar dan pipi merah padamnya. Aku tidak pernah melihat Mia lebih bahagia saat dia bertemu Luki sehabis pulang sekolah. Bahkan tidak saat Mia dibelikan boneka baru dari Mommy atau Dad, wajahnya selalu muram kepada dua orang yang jarang dirumah itu. Aku bahkan tidak mengerti, dari gen mana sifat kaku Mia itu diturunkan. Tetapi, aku selalu bersyukur mempunyai kakak perempuan seperti dia, kakak yang tidak pernah berhenti bertengkar denganku dalam segala hal dan kakak perempuan yang tidak pernah ketinggalan zaman. Dia adalah perempuan abad 21 yang sangat fashionable. Dia memiliki tahi lalat di dagu bagian bawah sebelah kanannya, tetapi tidak banyak orang yang tahu, karena Mia terlalu sering menunduk. Dia suka minder dan tidak suka dilihat orang banyak. Sedangkan aku, berbeda sekali dengannya.
***

“Aku akan pergi bersama Luki, kau ingin ikut?” katanya dengan sedikit canggung.
“Bagaimana bisa aku pergi dengan orang yang sedang berkencan?”
“Jangan begitu, Al, sungguh, kau tidak mengganggu sama sekali,” katanya seperti memohon maaf.
“Jangan terlalu serius seperti itu Mia, aku hanya sedang tidak enak badan.”
“Kau sakit?”
“Tidak..”
“Lalu?”
“Aku hanya tidak bisa melihatmu canggung,” aku menahan senyum.
“Baiklah. Mau pizza?”
“Tentu saja! Jangan lupa minta tambahan saus cabai yang banyak!”
Aku memandang mobil Luki yang mengecil menjauh dari tempatku berdiri.

“Hai, Len!” sapanya.
Aku gugup setengah mati mengapa pria ini tiba-tiba bisa muncul di hadapanku, “Hai, Bill..”
“Apa kau ada acara? Aku ingin mengajakmu.. umm.. makan siang, mungkin?”
“Umm.. boleh..” kataku gugup, menyembunyikan rasa senangku yang teramat sangat.
***

Pertemuan-pertemuan tidak sengajaku tidak sebiasa pertemuanku dengan siapapun. Semuanya berbeda. Rasa canggungku, rasa gugupku, dan rasa senangku yang beradu. Aku sering terlihat pucat, tetapi aku selalu mencoba mengendalikan emosiku yang meletup-letup bahagia. Mungkin ini yang dikatakan Mia saat pertama kali Luki menggandeng tangannya dengan erat. Bahagia, gugup, dan tentu saja canggung.

“Bill menyatakan cinta padaku dan aku menerimanya. Dan kau tahu? Dia belum pernah memiliki pacar sebelum denganku! Betapa menyenangkannya, Mia! Beginikah perasaanmu selama bertahun-tahun dengan Luki?” kataku penasaran.
“Hubungan tidak ada yang berjalan baik-baik saja terus-menerus, Alena..”
“Kalau begitu, tolong berikan contohnya?”
“Pertengkaran, misalnya kalian berbeda pendapat,” katanya dengan singkat.
“Kurasa itu akan berlaku jika aku meminta Billy untuk mengajakku untuk ke taman bermain.”
“Jangan main-main Alena!”
“Aku bercanda, Mia..” kataku diiringi tawaku yang nyaring.
“Apa dia benar-benar mencintaimu?”
“Aku tidak tahu, tapi yang pasti dia bilang iya.”
“Jangan terlalu cepat percaya..”
“Tapi, dia membuktikannya kan kepadaku? Perbuatan lebih melambangkan daripada sekedar kata-kata.”
“Aku tahu itu,” katanya menyerah.
***

Mawar putih itu melayu..
“Mia, apa aku kelihatan buruk?”
“Hmm, ya, kau terlihat sangat buruk, cekungan hitam di bawah matamu dan wajah pucatmu,” katanya mengamati. “Alena, apa kau merasa sakit? Aku akan panggil taksi jika kau merasa benar-benar tidak enak badan,” katanya lagi, sekarang dia khawatir.
“Aku tidak apa-apa. Aku masih merasa sehat!”
***

“Mia, kau lihat dimana Alena?”
“Alena sudah pergi. Dia hanya menitipkan pesan untukku katakan padamu, Billy. Maafkan aku sebelumnya,” kataku takut. Luki yang berada di sampingku tetap menggenggam tanganku erat dan hangat. Dia memberi semangat padaku agar mengatakannya.
“Apa Mia?”
“Alena… tidak pernah mencintaimu. Alena sudah pergi ke Australia dan sudah punya tunangan disana. Dia..selalu berbohong padamu tentang perasaannya untukmu. Maafkan aku, Billy..”
Hening menyelimuti percakapan kami, yang seperti biasa selalu di gerbang sekolah.
“Benarkah?” katanya dengan nada yang sedih, “Aku kira, dia sungguh-sungguh… Dia pernah bilang padaku, dia sudah menyukaiku sejak lama, sama sepertiku, Mia!”
“Maafkan aku, Billy…”
“Tidak, terimakasih, Mia..” katanya, lalu pergi berlari meninggalkan aku dan Luki.

“Tidak apa-apa, Mia.. Ini bukan kesalahanmu.” Luki memelukku erat. Aku terisak.
***

Mawar putih itu kini kian melayu. Merontokkan kelopak-kelopaknya, dan melemah. Meronta kesakitan, tetapi hanya dapat menahan rasa perihnya.
“Billy!”
“Ada apa, Luki?”
“Mia menitipkanku ini untukmu. Bacalah besok, Billy.”
“Baiklah,” katanya langsung pergi.
***

Penyakit yang selalu kutakutkan itu bisa menyerang Alena kapan saja. Selalu bisa dan tidak mengenal tempat atau waktu. Penyakit yang sudah merenggut masa-masa normal Alena kecil. Pil-pil tidak enak itu selalu menjadi kawan setianya. Yang menyangga tubuhnya agar mencegah penyakit itu kambuh hingga sekarang. Betapa mimpi buruk 7 tahun yang lalu masih bergelayut bebas menghantui pikiran dan hatiku setiap kali melihat Alena seperti orang kesakitan. Itu dimulai sejak koridor putih itu menjadi kawan sehari-hari Alena untuk berobat.
“Systemic Lupus Erythematosus atau SLE yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Tubuh Alena sudah alergi dengan tubuhnya sendiri. Penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS, pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan kata lain, lupus berarti autoimmune diseases atau penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan,” jelas seorang dokter tua di hadapan orang tuaku.
Aku diam terpaku mendengar kalimat demi kalimat yang dikatakan dokter tua itu, seakan aku sedang ditusukki dengan ribuan pisau. Ulu hatiku nyeri  saat mendengarnya. Tangisku tumpah di toilet perempuan rumah sakit.
Laki-laki berambut gondrong menghampiriku saat aku keluar toilet sehabis menangis, “Hi, mau lollipop?” katanya prihatin.
“Tidak,” kataku acuh sambil mengusap-ngusap mataku yang sembab.
“Kau sakit apa?”
“Bukan aku yang sakit, tapi kembaranku.”
“Perempuan mungil yang disana?” katanya sambil menunjuk kearah Alena yang baru saja keluar ruangan dokter.”
“Ya..” kataku sedih.
“Aku juga sakit, tapi aku baik-baik saja.”
“Kau sakit? Bahkan kau terlalu lincah untuk seorang anak yang sakit,” aku terheran-heran melihat tubuhnya yang agak kuning.
“Bukankah sudah terlihat? Kau kebingungan mengapa tubuhku menguning..” katanya menunduk, “Aku Luki,” sambil mengulurkan tangan.
“Mia Josephine..” kataku, menjabat tangannya.
“Nama belakang yang bagus..”
Begitulah. Saat di rumah sakit, aku mulai bertemu Luki. Luki kecil yang penyakitan tetapi kuat. Luki, pangeran kecilku yang sekarang masih tetap menjadi pangeran lollipopku. Saat aku mengenal penyakit Alena, Luki adalah satu-satunya orang yang mampu mengendalikanku saat Mommy dan Dad lebih memperhatikan Alena yang terus-menerus sakit. Hatiku teriris, tetapi melalui Alena aku malah bersyukur, aku punya kesehatan yang tidak dimiliki oleh Alena, saudara kembarku. Sejak itu aku mulai pendiam dan kaku. Luki-lah semangatku. Semenjak itu pula, rasa sayangku terhadap Alena tak kunjung putus dan kasih sayang serta perhatian Mommy dan Dad yang sekarang selalu berada di Australia karena bekerja itu selalu terkucur deras pula, namun tidak sama sekali kepadaku. Tetapi, aku memaklumi, wujud cinta mereka bukan hanya melalui perhatian, tetapi tanpa ditunjukkanpun, seharusnya aku mengerti, bahwa mereka juga sangat menyayangiku. Itu yang selalu dikatakan Luki.
***

Minggu pagi ini sangat kelabu. Awan hitam menyambut bangun tidurku kali ini. Namun cuaca tidak dapat mengalihkanku dari sesuatu yang kutunggu-tunggu sejak kemarin sore. Amplop hitam yang Mia titipkan untukku. Dengan tidak sabar, aku buru-buru membukanya.
“RS Harapan Kasih. Minggu, 08:15”
Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya? Aku membatin. Tapi seperti yang tertera pada amplop tersebut, sepertinya aku harus kesana.

“Billy..”
“Hai, Mia. Kenapa aku kau suruh untuk kesi…”
“Ikuti aku!” pintanya, memotong perkataanku yang belum sempat kuselesaikan.
Bau rumah sakit yang khas. Bau obat-obatan yang menyengat dan warna putih yang sangat dominan. Kami sekarang berada di lantai 12 sebuah ICU. Ruangannya begitu terpencil dan cukup jauh. Mia menyuruhku mengenakan baju rumah sakit serta perlengkapan lain untuk menunjukkan sesuatu dalam ruangan yang kebersihannya sangat terjaga tersebut. Aku tidak mengerti apa maksud Mia. Tetapi, aku mengikuti apa-apa saja yang disuruhnya. Aku masih penasaran.
Mia berhenti pada pintu dengan tulisan:
“Mawar: 15”
Aku tidak mengerti. Mia menyuruhku tinggal diluar. Aku menurutinya. Wajahnya yang kaku itu tidak memberikanku jawaban apapun, berbeda dengan Alena yang sangat ekspresif yang dapat mengetahui apa yang terjadi hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.
Mia keluar dengan mata yang bengkak. Entah apa yang membuatnya menangis di dalam, tetapi sepertinya itu sangat menyedihkan. Aku semakin tidak sabar.
“Kenapa, Mia? Ada apa? Siapa di dalam? Kenapa kau menyuruhku kesini?”
“Coba kau lihat sendiri!” katanya, seperti memberiku kode untuk masuk.
Lalu, aku masuk dengan ribuan pertanyaan dalam benakku. Aku melihat cahaya lampu yang begitu terang, bau vanilla yang khas yang sepertinya aku kenal memenuhi ruangan ini. Meja di samping tempat tidur orang yang tergeletak lemas itu ada vas bunga berisi mawar putih segar. Jantungku berdebar tak karuan, perasaanku sangat tak enak, aku semakin penasaran tetapi langkahku malah melambat…
Kuperhatikan sosok itu lekat-lekat. Wanita kurus dengan warna kulit putih dan rambut panjang ikalnya. Wajahnya pucat pasi. Tidak ada gelombang lembut pada dadanya yang menyatakan ia sedang bernapas, lengkungan bibirnya seakan tersenyum. Cantik…
“Alena?”
***

When God still give me a chance to love you every breath I take
And as long as I can..
I’ll never feel tired
To give you billions trillion seconds in my life
Just for loving you…

Remember me,
When the sun is gone, then I’ll show you my little light…
I’m here, to see you from the sky
Just remember me,
Your love,
Alena Josephine
Dan kenanglah aku dalam amplop biru ini, Billy.
***

Mawar putih ini sekarang sudah layu…
Dalam “Mawar: 15”
“Apa aku bisa pulang sekarang, Mia? Apa Billy menanyakan aku?”
“Tidak, Mia. Kau harus tetap disini. Tentu saja, dia kebingungan mencarimu. Aku berusaha menghindar, dan aku berhasil kabur darinya.”
“Bilang aku tidak mencintainya, Mia. Bilang aku ingin putus. Bilang aku tidak mencintainya sama sekali, bilang aku tidak pernah mencintainya. Tolong, Mia, katakan padanya. Aku mohon.. dan berjanjilah padaku, akan membawanya kesini saat aku sudah tidak bernapas lagi, dan tolon berikan ini padanya..” katanya. Air mata menguasai pipinya sambil memberikan amplop biru kecil.

THE END

created by: Fara Dwitya

0 comments:

Post a Comment

Mar 5, 2013

Mawar: 15


“Bagaimana kau bisa yakin, bukankah dia sudah memiliki pacar? Jangan bermimpi Alena!” ujarnya.
“Tentu saja karena hati kecilku berkata seperti itu,” kataku tak mau kalah.
Hening. Suasana berubah menjadi sunyi. Yang ada hanya helaan napas kami yang berat dan panjang. Kami hampir selalu seperti ini. Bertengkar dalam hal apapun.
Sekarang sosok itu memandangiku, mengaku kalah dengan tatapan dinginnya.
***

Nada resah itu terdengar semakin lelah sekarang. Dia sudah menghabiskan waktunya hampir 3 jam di dalam perpustakaan pengap ini, namun dia tidak berhenti berusaha.
“Bagaimana aku bisa ujian besok dengan otakku yang kosong ini?” sahutnya gelisah.
“Kimia bukanlah sesuatu yang buruk, Mia!”
“Kau berkata seperti itu karena kau menyukai pelajarannya, Al. Bilang saja ingin cepat-cepat melihat Bil.”
“Kau lebih penting dari sekedar orang yang aku suka sejak 15 bulan yang lalu, Mia..”
“Ayo pulang dan bertemu Bil di gerbang jika beruntung!”
Mia selalu menggandeng tanganku yang berkeringat. Terkadang, dia mengelapnya dengan tisu. Dia sosok kakak perempuan yang dingin, tetapi lembut. Kami tinggal serumah, tetapi berbeda kamar. Kami ini kembar, tetapi hampir tidak memiliki kesamaan. Rambutku ikal panjang dan rambut Mia lurus sebahu, Mia seorang yang kaku dan aku ekspresif. Mia banyak diam dan aku selalu banyak berbicara, nama kami pun tidak mirip, hanya nama Josephine di belakang nama kami yang sama. Mia memiliki pacar yang sempurna dan aku tidak. Bahkan aku tidak punya pacar, tetapi aku tidak meributkan itu, atau bahkan aku sama sekali tidak iri dengan hidup kakak perempuanku itu. Iya, dia cantik, tinggi, putih mulus, dan tentu saja pintar kecuali dalam kimia, tapi dia terlalu banyak diam. Hanya Luki yang berhasil merampas semua senyum lebar dan pipi merah padamnya. Aku tidak pernah melihat Mia lebih bahagia saat dia bertemu Luki sehabis pulang sekolah. Bahkan tidak saat Mia dibelikan boneka baru dari Mommy atau Dad, wajahnya selalu muram kepada dua orang yang jarang dirumah itu. Aku bahkan tidak mengerti, dari gen mana sifat kaku Mia itu diturunkan. Tetapi, aku selalu bersyukur mempunyai kakak perempuan seperti dia, kakak yang tidak pernah berhenti bertengkar denganku dalam segala hal dan kakak perempuan yang tidak pernah ketinggalan zaman. Dia adalah perempuan abad 21 yang sangat fashionable. Dia memiliki tahi lalat di dagu bagian bawah sebelah kanannya, tetapi tidak banyak orang yang tahu, karena Mia terlalu sering menunduk. Dia suka minder dan tidak suka dilihat orang banyak. Sedangkan aku, berbeda sekali dengannya.
***

“Aku akan pergi bersama Luki, kau ingin ikut?” katanya dengan sedikit canggung.
“Bagaimana bisa aku pergi dengan orang yang sedang berkencan?”
“Jangan begitu, Al, sungguh, kau tidak mengganggu sama sekali,” katanya seperti memohon maaf.
“Jangan terlalu serius seperti itu Mia, aku hanya sedang tidak enak badan.”
“Kau sakit?”
“Tidak..”
“Lalu?”
“Aku hanya tidak bisa melihatmu canggung,” aku menahan senyum.
“Baiklah. Mau pizza?”
“Tentu saja! Jangan lupa minta tambahan saus cabai yang banyak!”
Aku memandang mobil Luki yang mengecil menjauh dari tempatku berdiri.

“Hai, Len!” sapanya.
Aku gugup setengah mati mengapa pria ini tiba-tiba bisa muncul di hadapanku, “Hai, Bill..”
“Apa kau ada acara? Aku ingin mengajakmu.. umm.. makan siang, mungkin?”
“Umm.. boleh..” kataku gugup, menyembunyikan rasa senangku yang teramat sangat.
***

Pertemuan-pertemuan tidak sengajaku tidak sebiasa pertemuanku dengan siapapun. Semuanya berbeda. Rasa canggungku, rasa gugupku, dan rasa senangku yang beradu. Aku sering terlihat pucat, tetapi aku selalu mencoba mengendalikan emosiku yang meletup-letup bahagia. Mungkin ini yang dikatakan Mia saat pertama kali Luki menggandeng tangannya dengan erat. Bahagia, gugup, dan tentu saja canggung.

“Bill menyatakan cinta padaku dan aku menerimanya. Dan kau tahu? Dia belum pernah memiliki pacar sebelum denganku! Betapa menyenangkannya, Mia! Beginikah perasaanmu selama bertahun-tahun dengan Luki?” kataku penasaran.
“Hubungan tidak ada yang berjalan baik-baik saja terus-menerus, Alena..”
“Kalau begitu, tolong berikan contohnya?”
“Pertengkaran, misalnya kalian berbeda pendapat,” katanya dengan singkat.
“Kurasa itu akan berlaku jika aku meminta Billy untuk mengajakku untuk ke taman bermain.”
“Jangan main-main Alena!”
“Aku bercanda, Mia..” kataku diiringi tawaku yang nyaring.
“Apa dia benar-benar mencintaimu?”
“Aku tidak tahu, tapi yang pasti dia bilang iya.”
“Jangan terlalu cepat percaya..”
“Tapi, dia membuktikannya kan kepadaku? Perbuatan lebih melambangkan daripada sekedar kata-kata.”
“Aku tahu itu,” katanya menyerah.
***

Mawar putih itu melayu..
“Mia, apa aku kelihatan buruk?”
“Hmm, ya, kau terlihat sangat buruk, cekungan hitam di bawah matamu dan wajah pucatmu,” katanya mengamati. “Alena, apa kau merasa sakit? Aku akan panggil taksi jika kau merasa benar-benar tidak enak badan,” katanya lagi, sekarang dia khawatir.
“Aku tidak apa-apa. Aku masih merasa sehat!”
***

“Mia, kau lihat dimana Alena?”
“Alena sudah pergi. Dia hanya menitipkan pesan untukku katakan padamu, Billy. Maafkan aku sebelumnya,” kataku takut. Luki yang berada di sampingku tetap menggenggam tanganku erat dan hangat. Dia memberi semangat padaku agar mengatakannya.
“Apa Mia?”
“Alena… tidak pernah mencintaimu. Alena sudah pergi ke Australia dan sudah punya tunangan disana. Dia..selalu berbohong padamu tentang perasaannya untukmu. Maafkan aku, Billy..”
Hening menyelimuti percakapan kami, yang seperti biasa selalu di gerbang sekolah.
“Benarkah?” katanya dengan nada yang sedih, “Aku kira, dia sungguh-sungguh… Dia pernah bilang padaku, dia sudah menyukaiku sejak lama, sama sepertiku, Mia!”
“Maafkan aku, Billy…”
“Tidak, terimakasih, Mia..” katanya, lalu pergi berlari meninggalkan aku dan Luki.

“Tidak apa-apa, Mia.. Ini bukan kesalahanmu.” Luki memelukku erat. Aku terisak.
***

Mawar putih itu kini kian melayu. Merontokkan kelopak-kelopaknya, dan melemah. Meronta kesakitan, tetapi hanya dapat menahan rasa perihnya.
“Billy!”
“Ada apa, Luki?”
“Mia menitipkanku ini untukmu. Bacalah besok, Billy.”
“Baiklah,” katanya langsung pergi.
***

Penyakit yang selalu kutakutkan itu bisa menyerang Alena kapan saja. Selalu bisa dan tidak mengenal tempat atau waktu. Penyakit yang sudah merenggut masa-masa normal Alena kecil. Pil-pil tidak enak itu selalu menjadi kawan setianya. Yang menyangga tubuhnya agar mencegah penyakit itu kambuh hingga sekarang. Betapa mimpi buruk 7 tahun yang lalu masih bergelayut bebas menghantui pikiran dan hatiku setiap kali melihat Alena seperti orang kesakitan. Itu dimulai sejak koridor putih itu menjadi kawan sehari-hari Alena untuk berobat.
“Systemic Lupus Erythematosus atau SLE yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan syaraf. Tubuh Alena sudah alergi dengan tubuhnya sendiri. Penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS, pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan kata lain, lupus berarti autoimmune diseases atau penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan,” jelas seorang dokter tua di hadapan orang tuaku.
Aku diam terpaku mendengar kalimat demi kalimat yang dikatakan dokter tua itu, seakan aku sedang ditusukki dengan ribuan pisau. Ulu hatiku nyeri  saat mendengarnya. Tangisku tumpah di toilet perempuan rumah sakit.
Laki-laki berambut gondrong menghampiriku saat aku keluar toilet sehabis menangis, “Hi, mau lollipop?” katanya prihatin.
“Tidak,” kataku acuh sambil mengusap-ngusap mataku yang sembab.
“Kau sakit apa?”
“Bukan aku yang sakit, tapi kembaranku.”
“Perempuan mungil yang disana?” katanya sambil menunjuk kearah Alena yang baru saja keluar ruangan dokter.”
“Ya..” kataku sedih.
“Aku juga sakit, tapi aku baik-baik saja.”
“Kau sakit? Bahkan kau terlalu lincah untuk seorang anak yang sakit,” aku terheran-heran melihat tubuhnya yang agak kuning.
“Bukankah sudah terlihat? Kau kebingungan mengapa tubuhku menguning..” katanya menunduk, “Aku Luki,” sambil mengulurkan tangan.
“Mia Josephine..” kataku, menjabat tangannya.
“Nama belakang yang bagus..”
Begitulah. Saat di rumah sakit, aku mulai bertemu Luki. Luki kecil yang penyakitan tetapi kuat. Luki, pangeran kecilku yang sekarang masih tetap menjadi pangeran lollipopku. Saat aku mengenal penyakit Alena, Luki adalah satu-satunya orang yang mampu mengendalikanku saat Mommy dan Dad lebih memperhatikan Alena yang terus-menerus sakit. Hatiku teriris, tetapi melalui Alena aku malah bersyukur, aku punya kesehatan yang tidak dimiliki oleh Alena, saudara kembarku. Sejak itu aku mulai pendiam dan kaku. Luki-lah semangatku. Semenjak itu pula, rasa sayangku terhadap Alena tak kunjung putus dan kasih sayang serta perhatian Mommy dan Dad yang sekarang selalu berada di Australia karena bekerja itu selalu terkucur deras pula, namun tidak sama sekali kepadaku. Tetapi, aku memaklumi, wujud cinta mereka bukan hanya melalui perhatian, tetapi tanpa ditunjukkanpun, seharusnya aku mengerti, bahwa mereka juga sangat menyayangiku. Itu yang selalu dikatakan Luki.
***

Minggu pagi ini sangat kelabu. Awan hitam menyambut bangun tidurku kali ini. Namun cuaca tidak dapat mengalihkanku dari sesuatu yang kutunggu-tunggu sejak kemarin sore. Amplop hitam yang Mia titipkan untukku. Dengan tidak sabar, aku buru-buru membukanya.
“RS Harapan Kasih. Minggu, 08:15”
Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya? Aku membatin. Tapi seperti yang tertera pada amplop tersebut, sepertinya aku harus kesana.

“Billy..”
“Hai, Mia. Kenapa aku kau suruh untuk kesi…”
“Ikuti aku!” pintanya, memotong perkataanku yang belum sempat kuselesaikan.
Bau rumah sakit yang khas. Bau obat-obatan yang menyengat dan warna putih yang sangat dominan. Kami sekarang berada di lantai 12 sebuah ICU. Ruangannya begitu terpencil dan cukup jauh. Mia menyuruhku mengenakan baju rumah sakit serta perlengkapan lain untuk menunjukkan sesuatu dalam ruangan yang kebersihannya sangat terjaga tersebut. Aku tidak mengerti apa maksud Mia. Tetapi, aku mengikuti apa-apa saja yang disuruhnya. Aku masih penasaran.
Mia berhenti pada pintu dengan tulisan:
“Mawar: 15”
Aku tidak mengerti. Mia menyuruhku tinggal diluar. Aku menurutinya. Wajahnya yang kaku itu tidak memberikanku jawaban apapun, berbeda dengan Alena yang sangat ekspresif yang dapat mengetahui apa yang terjadi hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.
Mia keluar dengan mata yang bengkak. Entah apa yang membuatnya menangis di dalam, tetapi sepertinya itu sangat menyedihkan. Aku semakin tidak sabar.
“Kenapa, Mia? Ada apa? Siapa di dalam? Kenapa kau menyuruhku kesini?”
“Coba kau lihat sendiri!” katanya, seperti memberiku kode untuk masuk.
Lalu, aku masuk dengan ribuan pertanyaan dalam benakku. Aku melihat cahaya lampu yang begitu terang, bau vanilla yang khas yang sepertinya aku kenal memenuhi ruangan ini. Meja di samping tempat tidur orang yang tergeletak lemas itu ada vas bunga berisi mawar putih segar. Jantungku berdebar tak karuan, perasaanku sangat tak enak, aku semakin penasaran tetapi langkahku malah melambat…
Kuperhatikan sosok itu lekat-lekat. Wanita kurus dengan warna kulit putih dan rambut panjang ikalnya. Wajahnya pucat pasi. Tidak ada gelombang lembut pada dadanya yang menyatakan ia sedang bernapas, lengkungan bibirnya seakan tersenyum. Cantik…
“Alena?”
***

When God still give me a chance to love you every breath I take
And as long as I can..
I’ll never feel tired
To give you billions trillion seconds in my life
Just for loving you…

Remember me,
When the sun is gone, then I’ll show you my little light…
I’m here, to see you from the sky
Just remember me,
Your love,
Alena Josephine
Dan kenanglah aku dalam amplop biru ini, Billy.
***

Mawar putih ini sekarang sudah layu…
Dalam “Mawar: 15”
“Apa aku bisa pulang sekarang, Mia? Apa Billy menanyakan aku?”
“Tidak, Mia. Kau harus tetap disini. Tentu saja, dia kebingungan mencarimu. Aku berusaha menghindar, dan aku berhasil kabur darinya.”
“Bilang aku tidak mencintainya, Mia. Bilang aku ingin putus. Bilang aku tidak mencintainya sama sekali, bilang aku tidak pernah mencintainya. Tolong, Mia, katakan padanya. Aku mohon.. dan berjanjilah padaku, akan membawanya kesini saat aku sudah tidak bernapas lagi, dan tolon berikan ini padanya..” katanya. Air mata menguasai pipinya sambil memberikan amplop biru kecil.

THE END

created by: Fara Dwitya

No comments:

Post a Comment

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design