“Bagaimana kau bisa
yakin, bukankah dia sudah memiliki pacar? Jangan bermimpi Alena!” ujarnya.
“Tentu saja karena hati
kecilku berkata seperti itu,” kataku tak mau kalah.
Hening. Suasana berubah
menjadi sunyi. Yang ada hanya helaan napas kami yang berat dan panjang. Kami
hampir selalu seperti ini. Bertengkar dalam hal apapun.
Sekarang sosok itu
memandangiku, mengaku kalah dengan tatapan dinginnya.
***
Nada resah itu
terdengar semakin lelah sekarang. Dia sudah menghabiskan waktunya hampir 3 jam
di dalam perpustakaan pengap ini, namun dia tidak berhenti berusaha.
“Bagaimana aku bisa
ujian besok dengan otakku yang kosong ini?” sahutnya gelisah.
“Kimia bukanlah sesuatu
yang buruk, Mia!”
“Kau berkata seperti
itu karena kau menyukai pelajarannya, Al. Bilang saja ingin cepat-cepat melihat
Bil.”
“Kau lebih penting dari
sekedar orang yang aku suka sejak 15 bulan yang lalu, Mia..”
“Ayo pulang dan bertemu
Bil di gerbang jika beruntung!”
Mia selalu menggandeng
tanganku yang berkeringat. Terkadang, dia mengelapnya dengan tisu. Dia sosok
kakak perempuan yang dingin, tetapi lembut. Kami tinggal serumah, tetapi
berbeda kamar. Kami ini kembar, tetapi hampir tidak memiliki kesamaan. Rambutku
ikal panjang dan rambut Mia lurus sebahu, Mia seorang yang kaku dan aku
ekspresif. Mia banyak diam dan aku selalu banyak berbicara, nama kami pun tidak
mirip, hanya nama Josephine di belakang nama kami yang sama. Mia memiliki pacar
yang sempurna dan aku tidak. Bahkan aku tidak punya pacar, tetapi aku tidak
meributkan itu, atau bahkan aku sama sekali tidak iri dengan hidup kakak
perempuanku itu. Iya, dia cantik, tinggi, putih mulus, dan tentu saja pintar
kecuali dalam kimia, tapi dia terlalu banyak diam. Hanya Luki yang berhasil
merampas semua senyum lebar dan pipi merah padamnya. Aku tidak pernah melihat
Mia lebih bahagia saat dia bertemu Luki sehabis pulang sekolah. Bahkan tidak
saat Mia dibelikan boneka baru dari Mommy atau Dad, wajahnya selalu muram
kepada dua orang yang jarang dirumah itu. Aku bahkan tidak mengerti, dari gen
mana sifat kaku Mia itu diturunkan. Tetapi, aku selalu bersyukur mempunyai
kakak perempuan seperti dia, kakak yang tidak pernah berhenti bertengkar
denganku dalam segala hal dan kakak perempuan yang tidak pernah ketinggalan
zaman. Dia adalah perempuan abad 21 yang sangat fashionable. Dia memiliki tahi lalat di dagu bagian bawah sebelah
kanannya, tetapi tidak banyak orang yang tahu, karena Mia terlalu sering
menunduk. Dia suka minder dan tidak suka dilihat orang banyak. Sedangkan aku,
berbeda sekali dengannya.
***
“Aku akan pergi bersama
Luki, kau ingin ikut?” katanya dengan sedikit canggung.
“Bagaimana bisa aku
pergi dengan orang yang sedang berkencan?”
“Jangan begitu, Al,
sungguh, kau tidak mengganggu sama sekali,” katanya seperti memohon maaf.
“Jangan terlalu serius
seperti itu Mia, aku hanya sedang tidak enak badan.”
“Kau sakit?”
“Tidak..”
“Lalu?”
“Aku hanya tidak bisa
melihatmu canggung,” aku menahan senyum.
“Baiklah. Mau pizza?”
“Tentu saja! Jangan
lupa minta tambahan saus cabai yang banyak!”
Aku memandang mobil
Luki yang mengecil menjauh dari tempatku berdiri.
“Hai, Len!” sapanya.
Aku gugup setengah mati
mengapa pria ini tiba-tiba bisa muncul di hadapanku, “Hai, Bill..”
“Apa kau ada acara? Aku
ingin mengajakmu.. umm.. makan siang, mungkin?”
“Umm.. boleh..” kataku
gugup, menyembunyikan rasa senangku yang teramat sangat.
***
Pertemuan-pertemuan
tidak sengajaku tidak sebiasa pertemuanku dengan siapapun. Semuanya berbeda.
Rasa canggungku, rasa gugupku, dan rasa senangku yang beradu. Aku sering
terlihat pucat, tetapi aku selalu mencoba mengendalikan emosiku yang
meletup-letup bahagia. Mungkin ini yang dikatakan Mia saat pertama kali Luki
menggandeng tangannya dengan erat. Bahagia, gugup, dan tentu saja canggung.
“Bill menyatakan cinta
padaku dan aku menerimanya. Dan kau tahu? Dia belum pernah memiliki pacar
sebelum denganku! Betapa menyenangkannya, Mia! Beginikah perasaanmu selama
bertahun-tahun dengan Luki?” kataku penasaran.
“Hubungan tidak ada
yang berjalan baik-baik saja terus-menerus, Alena..”
“Kalau begitu, tolong
berikan contohnya?”
“Pertengkaran, misalnya
kalian berbeda pendapat,” katanya dengan singkat.
“Kurasa itu akan
berlaku jika aku meminta Billy untuk mengajakku untuk ke taman bermain.”
“Jangan main-main
Alena!”
“Aku bercanda, Mia..”
kataku diiringi tawaku yang nyaring.
“Apa dia benar-benar
mencintaimu?”
“Aku tidak tahu, tapi
yang pasti dia bilang iya.”
“Jangan terlalu cepat
percaya..”
“Tapi, dia
membuktikannya kan kepadaku? Perbuatan lebih melambangkan daripada sekedar
kata-kata.”
“Aku tahu itu,” katanya
menyerah.
***
Mawar
putih itu melayu..
“Mia, apa aku kelihatan
buruk?”
“Hmm, ya, kau terlihat
sangat buruk, cekungan hitam di bawah matamu dan wajah pucatmu,” katanya
mengamati. “Alena, apa kau merasa sakit? Aku akan panggil taksi jika kau merasa
benar-benar tidak enak badan,” katanya lagi, sekarang dia khawatir.
“Aku tidak apa-apa. Aku
masih merasa sehat!”
***
“Mia, kau lihat dimana
Alena?”
“Alena sudah pergi. Dia
hanya menitipkan pesan untukku katakan padamu, Billy. Maafkan aku sebelumnya,”
kataku takut. Luki yang berada di sampingku tetap menggenggam tanganku erat dan
hangat. Dia memberi semangat padaku agar mengatakannya.
“Apa Mia?”
“Alena… tidak pernah
mencintaimu. Alena sudah pergi ke Australia dan sudah punya tunangan disana.
Dia..selalu berbohong padamu tentang perasaannya untukmu. Maafkan aku, Billy..”
Hening menyelimuti
percakapan kami, yang seperti biasa selalu di gerbang sekolah.
“Benarkah?” katanya
dengan nada yang sedih, “Aku kira, dia sungguh-sungguh… Dia pernah bilang
padaku, dia sudah menyukaiku sejak lama, sama sepertiku, Mia!”
“Maafkan aku, Billy…”
“Tidak, terimakasih,
Mia..” katanya, lalu pergi berlari meninggalkan aku dan Luki.
“Tidak apa-apa, Mia..
Ini bukan kesalahanmu.” Luki memelukku erat. Aku terisak.
***
Mawar
putih itu kini kian melayu. Merontokkan kelopak-kelopaknya, dan melemah.
Meronta kesakitan, tetapi hanya dapat menahan rasa perihnya.
“Billy!”
“Ada apa, Luki?”
“Mia menitipkanku ini
untukmu. Bacalah besok, Billy.”
“Baiklah,” katanya
langsung pergi.
***
Penyakit yang selalu
kutakutkan itu bisa menyerang Alena kapan saja. Selalu bisa dan tidak mengenal
tempat atau waktu. Penyakit yang sudah merenggut masa-masa normal Alena kecil.
Pil-pil tidak enak itu selalu menjadi kawan setianya. Yang menyangga tubuhnya
agar mencegah penyakit itu kambuh hingga sekarang. Betapa mimpi buruk 7 tahun
yang lalu masih bergelayut bebas menghantui pikiran dan hatiku setiap kali
melihat Alena seperti orang kesakitan. Itu dimulai sejak koridor putih itu
menjadi kawan sehari-hari Alena untuk berobat.
“Systemic
Lupus Erythematosus atau SLE yang menyerang organ tubuh seperti kulit,
persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak, dan
syaraf. Tubuh Alena sudah alergi dengan tubuhnya sendiri. Penyakit ini adalah
kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS, pada Lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing
dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan
untuk melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan kata lain, lupus berarti autoimmune
diseases atau penyakit dengan kekebalan
tubuh berlebihan,” jelas seorang dokter tua di hadapan orang tuaku.
Aku
diam terpaku mendengar kalimat demi kalimat yang dikatakan dokter tua itu,
seakan aku sedang ditusukki dengan ribuan pisau. Ulu hatiku nyeri saat mendengarnya. Tangisku tumpah di toilet
perempuan rumah sakit.
Laki-laki
berambut gondrong menghampiriku saat aku keluar toilet sehabis menangis, “Hi,
mau lollipop?” katanya prihatin.
“Tidak,”
kataku acuh sambil mengusap-ngusap mataku yang sembab.
“Kau
sakit apa?”
“Bukan
aku yang sakit, tapi kembaranku.”
“Perempuan
mungil yang disana?” katanya sambil menunjuk kearah Alena yang baru saja keluar
ruangan dokter.”
“Ya..”
kataku sedih.
“Aku
juga sakit, tapi aku baik-baik saja.”
“Kau
sakit? Bahkan kau terlalu lincah untuk seorang anak yang sakit,” aku terheran-heran
melihat tubuhnya yang agak kuning.
“Bukankah
sudah terlihat? Kau kebingungan mengapa tubuhku menguning..” katanya menunduk,
“Aku Luki,” sambil mengulurkan tangan.
“Mia
Josephine..” kataku, menjabat tangannya.
“Nama
belakang yang bagus..”
Begitulah. Saat di
rumah sakit, aku mulai bertemu Luki. Luki kecil yang penyakitan tetapi kuat.
Luki, pangeran kecilku yang sekarang masih tetap menjadi pangeran lollipopku.
Saat aku mengenal penyakit Alena, Luki adalah satu-satunya orang yang mampu
mengendalikanku saat Mommy dan Dad lebih memperhatikan Alena yang terus-menerus
sakit. Hatiku teriris, tetapi melalui Alena aku malah bersyukur, aku punya
kesehatan yang tidak dimiliki oleh Alena, saudara kembarku. Sejak itu aku mulai
pendiam dan kaku. Luki-lah semangatku. Semenjak itu pula, rasa sayangku terhadap
Alena tak kunjung putus dan kasih sayang serta perhatian Mommy dan Dad yang
sekarang selalu berada di Australia karena bekerja itu selalu terkucur deras
pula, namun tidak sama sekali kepadaku. Tetapi, aku memaklumi, wujud cinta
mereka bukan hanya melalui perhatian, tetapi tanpa ditunjukkanpun, seharusnya
aku mengerti, bahwa mereka juga sangat menyayangiku. Itu yang selalu dikatakan
Luki.
***
Minggu pagi ini sangat
kelabu. Awan hitam menyambut bangun tidurku kali ini. Namun cuaca tidak dapat
mengalihkanku dari sesuatu yang kutunggu-tunggu sejak kemarin sore. Amplop
hitam yang Mia titipkan untukku. Dengan tidak sabar, aku buru-buru membukanya.
“RS Harapan Kasih.
Minggu, 08:15”
Aku mengerutkan kening.
Apa maksudnya? Aku membatin. Tapi
seperti yang tertera pada amplop tersebut, sepertinya aku harus kesana.
“Billy..”
“Hai, Mia. Kenapa aku
kau suruh untuk kesi…”
“Ikuti aku!” pintanya,
memotong perkataanku yang belum sempat kuselesaikan.
Bau rumah sakit yang
khas. Bau obat-obatan yang menyengat dan warna putih yang sangat dominan. Kami sekarang
berada di lantai 12 sebuah ICU. Ruangannya begitu terpencil dan cukup jauh. Mia
menyuruhku mengenakan baju rumah sakit serta perlengkapan lain untuk
menunjukkan sesuatu dalam ruangan yang kebersihannya sangat terjaga tersebut.
Aku tidak mengerti apa maksud Mia. Tetapi, aku mengikuti apa-apa saja yang
disuruhnya. Aku masih penasaran.
Mia berhenti pada pintu
dengan tulisan:
“Mawar:
15”
Aku tidak mengerti. Mia
menyuruhku tinggal diluar. Aku menurutinya. Wajahnya yang kaku itu tidak
memberikanku jawaban apapun, berbeda dengan Alena yang sangat ekspresif yang
dapat mengetahui apa yang terjadi hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.
Mia keluar dengan mata
yang bengkak. Entah apa yang membuatnya menangis di dalam, tetapi sepertinya
itu sangat menyedihkan. Aku semakin tidak sabar.
“Kenapa, Mia? Ada apa?
Siapa di dalam? Kenapa kau menyuruhku kesini?”
“Coba kau lihat
sendiri!” katanya, seperti memberiku kode untuk masuk.
Lalu, aku masuk dengan
ribuan pertanyaan dalam benakku. Aku melihat cahaya lampu yang begitu terang,
bau vanilla yang khas yang sepertinya aku kenal memenuhi ruangan ini. Meja di
samping tempat tidur orang yang tergeletak lemas itu ada vas bunga berisi mawar
putih segar. Jantungku berdebar tak karuan, perasaanku sangat tak enak, aku
semakin penasaran tetapi langkahku malah melambat…
Kuperhatikan sosok itu
lekat-lekat. Wanita kurus dengan warna kulit putih dan rambut panjang ikalnya.
Wajahnya pucat pasi. Tidak ada gelombang lembut pada dadanya yang menyatakan ia
sedang bernapas, lengkungan bibirnya seakan tersenyum. Cantik…
“Alena?”
***
When
God still give me a chance to love you every breath I take
And
as long as I can..
I’ll
never feel tired
To
give you billions trillion seconds in my life
Just
for loving you…
Remember
me,
When
the sun is gone, then I’ll show you my little light…
I’m
here, to see you from the sky
Just
remember me,
Your
love,
Alena
Josephine
Dan
kenanglah aku dalam amplop biru ini, Billy.
***
Mawar
putih ini sekarang sudah layu…
Dalam
“Mawar: 15”
“Apa aku bisa pulang
sekarang, Mia? Apa Billy menanyakan aku?”
“Tidak, Mia. Kau harus
tetap disini. Tentu saja, dia kebingungan mencarimu. Aku berusaha menghindar,
dan aku berhasil kabur darinya.”
“Bilang aku tidak
mencintainya, Mia. Bilang aku ingin putus. Bilang aku tidak mencintainya sama
sekali, bilang aku tidak pernah mencintainya. Tolong, Mia, katakan padanya. Aku
mohon.. dan berjanjilah padaku, akan membawanya kesini saat aku sudah tidak
bernapas lagi, dan tolon berikan ini padanya..” katanya. Air mata menguasai
pipinya sambil memberikan amplop biru kecil.
THE
END
0 comments:
Post a Comment