TOURNESOL
Dengan peluh, mencari-cari
Mana yang paling bersinar
Masih menunggu nama
Nama yang menggetarkan batin
Mendesirkan darah
Merapuhkan benteng perbatasan duniaku dengan dunia mereka
Meretakkan jiwa
Meruntuhkan resah
Menggelitik hati
Meleburkan cinta
Bilamana ada, dimana?
Aku terus berdamai dengan waktu
Mencoba percaya, mungkin sebentar lagi
Waktu terus saja tersenyum
Menunggu… ‘saatnya’ menjadi ‘akhirnya, waktu sudah tiba’
Aku kelelahan
Lalu, kali ini, aku menemukan saat aku hampir menyerah
Waktu berbisik ‘time is yours’
Nama itu kutemukan
Tertulis apik dalam relung jiwa
Dalam setiap aliran darah, helaan napas, dan detakan jantung
Mengeja namanya
TOURNESOL
‘Kau’ tidak perlu kemari, jika kau ingin pergi
TOURNESOL
Bersinarlah, tersenyumlah, jika kau benar akan pergi
Lalu hati dan jiwaku akan berdamai dengan takdir
Pada saat itu, aku mati.
***
Janvier menatap lembut sepasang mata teduh yang
dibalut dengan alis lebat berwarna hitam pekat yang menyatu. “Hai.. sedang apa
kau disini? Bermain kantong plastik?” ramahnya karena penasaran. Pria
berperawakan tinggi besar itu seperti ketakutan sekali.
Dia menggeleng keras. Keringatnya mengucur.
“Siapa namamu?”
Dia tetap fokus dengan apa yang dilakukannya sedari
tadi, Janvier dihiraukannya. Dia terlihat seperti merapikan banyak sekali
kantong plastik yang bermacam-macam jenis dan warna, kantong plastik bekas
sampai kantong plastik yang terlihat masih baru, melipatnya dengan sangat
hati-hati, dan tidak ada diantara kantong plastik tersebut yang terlihat kotor
ataupun lecek.
Banyak sekali kantong plastiknya. Janvier mencoba
untuk menolongnya, lalu dengan cepat Janvier jongkok dan mengambil salah satu
kantong plastik tersebut untuk dirapikannya. Namun, baru 5 detik Janvier
mencoba untuk menolong, pria besar itu mengamuk, marah-marah hingga wajahnya
merah padam, serta memukul bagian tangan Janvier dengan ranting kayu yang pria
itu ambil ketika tidak sengaja melihatnya. Janvier tidak habis pikir dia akan
diperlakukan seperti maling. Matanya mengilat seperti orang kesetanan. Janvier
berdiri dan mundur beberapa langkah. Kenapa
dia? Batinnya.
Perkataannya tidak jelas dan dia tetap tidak mau
diam walaupun Janvier mencoba untuk pergi. Janvier mencoba untuk lari, tetapi
kakinya tertahan. Orang ini gila? Tetapi,
tidak tidak. Dia tidak gila. Batinnya berbisik kembali.
***
“Lho, kok nggak dimakan sarapannya?”
“Aku malas ada kak Fello makan bersamaku!”
“Berarti, kamu yang harus pergi, Rio! Fello ingin
makan.”
“Ti..tidak, Ma. Aku..harus..per..pergi.” katanya
dengan ikhlas untuk meninggalkan meja makan dengan sangat ketakutan.
“Baguslah, kak.” Rio menimpali kakaknya yang tidak
ingin ada keributan.
“Kamu harus makan, Sayang.” Ibu itu melembutkan suara dan menangkap tangan
kiri anak sulungnya, berharap anak istimewanya itu akan kembali duduk.
Tetapi, dilepaskannya genggaman ibunya yang erat
dengan pelan, dan pernyataan pentingnya makan untuknya itu tak ia hiraukan, ia
mengabaikannya lalu pergi untuk mencari sesuatu untuk dilakukan. Ibu parah baya
tersebut tidak aneh lagi dengan tingkah anaknya yang sekarang sudah berumur 23
tahun tetapi tingkah lakunya seperti bukan seorang pria yang semestinya.
“Kamu harusnya pengertian.”
“Aku udah capek, Ma, ngalah hampir selama 17 tahun.”
Katanya melemah sambil menunduk. Kata-katanya ia pelankan, takut menyakiti
perasaan ibunya.
“Mama atau Ayah tidak pernah membedakan kalian.”
Wanita itu berhenti makan, lalu menatap kearah anak bungsunya yang protes.
Rio meremas tangannya dengan tegang. Dia selalu
seperti ini. Terlihat kecil dan selalu di-nomordua-kan oleh orang tuanya sejak
kecil. Anak bungsu yang paling dimanja, kalimat tersebut sangat bohong di mata
Rio. Segalanya berbeda dengan adanya Fello. Berkebutuhan khusus dan selalu
terlihat istimewa.
Ibu itu lalu pergi meninggalkan meja makan, tidak
melanjutkan makan.
Perasaan seorang Ibu yang mudah hancur saat anaknya
tidak diperlakukan dengan semestinya bukan lagi tantangan besar bagi wanita
yang seluruh rambutnya hampir memutih itu. Tetapi, tantangan tersebut semakin
kuat adanya dengan kepergian sang suami 3 tahun lalu karena penyakit stroke
akut.
Fello. Iya, hanya sepenggal nama sederhana yang ia
punya. Sesederhana wajahnya yang tak berdosa. Sepenggal kekhususannya yang
sangat istimewa. Autisme, mereka menyebutnya.
Keterbatasan keuangan yang membuat Fello kekurangan
untuk menerima pelajaran atau sekolah luar biasa yang semestinya ia dapatkan
sejak berumur 3 tahun.
Lelaki bongsor itu memiliki kemahiran dalam
menggesek senar biola dengan baik, bahkan sangat baik. Dia mengikuti semua nada
dan memainkannya ulang dengan biola tua yang sengaja diberikan oleh tetangga
Fello yang peduli terhadapnya. Piano, gitar, dan alat musik lainnya pun mampu
ia mainkan dengan cukup baik.
Ia tidak berbeda, ia hanya sesederhana kata…
istimewa.
***
Janvier masih dalam posisinya yang berdiri mundur
dengan kebingungan. Seharusnya, tidak semaniak itu seseorang terhadap sesuatu.
Ia sadar bahwa ada yang lain dalam diri pria bertubuh agak berisi itu. Pria ini bahkan cukup tampan untuk orang
seumurannya, ia membatin. Masih dipandanginya pria yang mengamuk ini. Dia
ingin menghentikan kemarahan pria tersebut, namun ia tidak tahu harus berbuat
apa. Namun, jalan keluar seakan memasuki otak kreatifnya. Jadilah, ia maju
beberapa langkah lebih dekat dengan pria tadi, lalu dibereskan semuanya kantong
plastik bermacam-macam warna, bentuk, dan jenis tersebut. Pria tersebut diam
saja, lalu ikut membereskan semuanya.
Beberapa saat kemudian, ia mengambil paksa kantong
plastik yang telah Janvier rapikan, lalu pergi begitu saja. Tetapi, wajahnya
memberikan kesan ketakutan.
Janvier melihat punggung tegap pria tadi, dengan
begitu lekat. Rasa penasarannya begitu memuncak.
Rambut pendek Janvier tertiup angin yang bertiup
dari arah belakang, lantas wajahnya hanya tersisa hidung dan bibir yang masih
terlihat karena tertutup hitam rambutnya. Awal
januari yang menarik, pikirnya.
“Asik jalan-jalan di ayunan tua belakang itu, nak?”
“Banyak rumputnya ya yah sekarang, lumayan asik.
Tapi, ayunannya udah rusak, terus sempet bingung juga nyari ayunannya,
ketutupan rumput terus papan kayunya udah agak rapuh.”
“Terus kamu ngapain disana lama banget kalo
ayunannya rusak?”
“Ada cowok aneh, umurnya kayaknya lebih tua aku.”
“Tinggi ya? Namanya, Fello.”
“Ayah kenal?”
“Rumahnya deket dari rumah kita. Orang tuanya pindah
kesini, dia udah umur 8 tahun. Penyandang autis. Mahir main biola. Biola punya
kamu dulu kan Ayah kasihin dia, kamu inget yang Ayah biola kamu hilang?”
Janvier mengangguk. Penasarannya hampir terjawab
semua oleh Ayahnya.
“Oh iya, ngoleksi kantong plastik juga. Ibunya yang dagang jamu keliling tadi
pagi.”
“Ayahnya?”
“Udah gak ada, kena stroke. Adeknya normal, umurnya
seumuran kamu. Fello lebih tua dari kamu kok.”
Janvier melamun sejenak, menyerap kata-kata Ayahnya
yang seperti tahu jelas tentang riwayat hidup si pria aneh tadi.
***
Ibu tua itu menatap wanita anggun yang sepertinya
seumuran dengan anaknya, Rio. Ia tampak terkejut sekali ketika wanita itu–Janvier–menanyakan
soal Fello. Ini kali pertama Fello dijenguk seorang wanita, dan wanita itu
cantik dan mahir bermain biola pula. Ketika ia tahu bahwa namanya Janvier, ibu
itu terlihat aneh, fasih sekali menyebutkan nama yang sepertinya belum pernah
ia dengar sebelumnya. Setelah berbincang cukup lama, ternyata ia tahu bahwa
Janvier adalah bahasa Prancis dari Januari karena itu adalah bulan
kelahirannya. Janvier juga anak dari Pak Kafka yang ternyata pindahan dari
Australia karena baru saja lulus kuliah disana. Betapa bahagianya ia sebagai
seorang Ibu yang memiliki anak penyandang autis dijenguk oleh seorang wanita
seperti Janvier.
Yang semakin membuat Ibu yang bernama Asih tersebut
adalah karena Janvier membawa puluhan kantong plastik yang terlihat sangat
keren. Saat ditanya darimana kantong plastik tersebut, Janvier menjawab saat
berbelanja oleh-oleh di Australia dengan malu-malu. Ibu itu bersyukur karena
Fello pasti akan sangat senang koleksinya bertambah, apalagi itu kantong
plastik yang belum tentu ia dapatkan di Indonesia.
Hampir setengah jam Janvier asik mengobrol dengan
Ibu Asih, dia sampai lupa akan tujuannya kesini untuk mengajak Fello bermain di
taman rumput belakang. Ia merasa seperti anak kecil lagi kalau bermain disana,
tetapi mengingat lawan mainnya adalah Fello, dia memang harus berusaha untuk
menjadi anak berumur 5 tahun lagi.
“Hei, kau curang! Seharusnya giliranku sekarang.”
kata Janvier mengeraskan suara agar terdengar oleh Fello yang sedang asik
dengan ‘dunianya’.
Fello berhenti bermain. Pergi dari tempat itu.
“Hei hei, jangan marah. Aku hanya bercanda, silahkan
teruskan permainanmu. Giliranku hanya setelah kau selesai, benar-benar
selesai.”
Fello berhenti di ayunan tua yang rusak. Mencoba
mencari tempat untuk sandaran punggungnya yang seperti lelah sekali, entah
karena apa. Janvier mengikutinya saja karena tak tahu harus beruat apa lagi.
Jalan satu-satunya hanyalah diam.
Fello lalu berdiri kembali setelah baru sekitar 10
menit bersandar di pohon tua besar menuju ke ayunan tua. Dia membenarkan posisi
ayunan yang sudah tak terurus itu dengan hampir sempurna, hanya saja kayu
dudukannya agak rapuh dan perlu bobot maksimal 50 kg untuk menaikinya. Janvier
sendiri sekitar 49 kg, jadi dengan polosnya dia mencoba ayunan masa
kanak-kanaknya itu dengan penasaran. Bekerjakah hasil ralatan dari Fello?
Benar saja, ayunannya sudah tidak mengalami
ke-cacat-an lagi, penyangganya berupa tali sudah Fello ganti dengan peralatan
seadanya yang ia punya, entah darimana dan kapan ia membawa peralatan aneh
begitu saat sedang bermain biola seperti ini di kantong plastiknya.
***
Ritual itu seperti sudah mulai menjadi rutinitas.
Mulai dari setiap minggu hingga setiap hari. Fello selalu memanggil Janvier
dengan cara bermain biola dengan nada meracaunya yang sangat indah di depan
rumahnya, lalu Janvier yang sudah mengerti akan keluar rumah dengan senyum
ramah dan tidak mengambil waktu lama mereka langsung pergi ke taman belakang,
dan langsung menyambar ayunan tua. Bagi Janvier itu adalah cara ampuh untuk
membunuh waktu, tidak bagi Fello. Kegiatan seperti itu adalah hal yang harus
selalu dilakukan karena ia terlanjur menyukainya. Entah Janvier senang atau
tidak melakukannya, yang pasti Janvier selalu terlihat tersenyum saat memainkan
biola bersamaan dengan Fello. Janvier akan duduk di atas ayunan tetapi tidak
mengayunnya, sedangkan Fello bersandar di pohon besar tempat ayunan itu
digantungkan di rantingnya.
Hari ini Fello terlihat berbeda, ia merapikan bajunya
yang nampak sama saja seperti sebelum dirapikan. Ia tersenyum lebar saat
perjalanan kerumah Janvier dan menggesek biolanya sepanjang perjalanan.
Orang-orang yang melihatnya sudah tidak awam dengan kejadian seperti itu.
Namun, kali ini Fello ketahuan memakai parum nyong-nyong milik almarhum Ayahnya
yang sudah sangat lama tidak terpakai. Ia tidak menyadari bahwa wewangian
tersebut sangat menyengat, namun ia tetap percaya diri dengan senyum yang
menyembul dari bibir tipisnya yang merah.
Ia memelankan langkah kakinya saat sudah sampai di
depan gerbang rumah Janvier. Dia hampir seperti orang tidak sabar tetapi malah
melambatkan jalannya.
Lalu, dengan semangat juang tinggi ia bermain dengan
biolanya, kali ini dengan iringan nanana nanana nanana dan begitu terus dari
bibirnya sambil tersenyum. Fello tetap memainkan nada yang selalu sama untuk
memanggil Janvier keluar agar bermain bersamanya.
Seperti mendapat panggilan alam, Janvier keluar
bersama biolanya. Ia mencium bau menyengat yang akhirnya ia tahu bahwa itu
berasal dari badan Fello. Janvier hanya dapat diam, dia hanya akan berbicara
jika Fello tidak memainkan musiknya, dan itu hampir tidak pernah, hanya terjadi
2 kali dalam 3 bulan terakhir dan itu dikarenakan mood-nya yang sedang tidak baik. Jadi hampir selama dengan Fello,
Janvier bahagia tanpa harus mengeluarkan sepatah katapun. Terdengar mustahil,
namun itu faktanya.
Fello mengeluarkan bunga kuning cerah dari kantong
celananya. Bunga matahari. Agak layu tetapi itu persembahan pertama dari Fello
untuk Janvier. Janvier terlihat canggung saat menerima bunga matahari yang
melayu tersebut, namun ia tidak lupa untuk berterimakasih kepada Fello, yang
masih tersenyum lebar sepanjang hari ini.
Janvier sadar itu bukan hal biasa. Itu bukan kebiasaan
Fello untuk tersenyum sepanjang hari dan bermain biola di sepanjang jalan.
Janvier tertunduk.
***
Asih memandang aneh dengan pemandang yang tidak
biasa ini. Tidak pernah anak sulungnya seperti itu. Puisi yang ditemukan di
tumpukan kantong plastik koleksinya juga membuatnya begitu heran. Namun, ia
tahu, ada hal bahagia yang menyelimuti hati anak istimewanya, dan dia tidak
boleh merusaknya.
“Janvier?” katanya pelan.
Fello mengangguk pelan dengan tersenyum saat Asih
kepergok sedang membaca tulisan tangan Fello yang sangat tidak teratur di atas
kertas berwarna cokelat muda. Fello belajar menulis dan membaca saat ia
didaftarkan Asih di suatu komunitas yang menampung anak autis, namun itu tidak
bertahan lama karena Fello tidak betah dan tidak bisa beradaptasi dengan baik.
Ia tidak terbiasa dengan lingkungan seperti itu. Asih merasa bersalah karena
salahnya yang tidak mampu menyekolahkan Fello di sekolah khusus sejak kecil
hingga berdampak buruk bagi kegiatannya bersosialisasi.
Asih mengundang Janvier untuk kerumahnya. Menanyakan
beberapa hal yang semestinya ia tanyakan sebelum semuanya terlambat seperti
sekarang. Asih sudah membayangkan jika Fello akan mengamuk setiap hari jika ia
tidak melakukan suatu kebiasaan yang sudah biasa ia lakukan. Seperti saat salah
satu koleksi kantong plastiknya dipakai hingga rusak oleh Rio, Fello mengamuk
hingga pingsan, walaupun sebenarnya ia menyayangi adiknya itu.
Kebiasaan yang fatal adalah membiarkan Fello secara
polos jatuh cinta dengan Janvier. Hingga kemarin, ia meminta Asih untuk memetik
setangkai bunga matahari milik tetangga, itu karena Fello menyukai warna kuning.
“Seharusnya ibu tahu ini akan terjadi, maafkan
ibu..”
Janvier diam.
Hening.
“Dia
mencintai bukan cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat
cinta, bukan cuma rayuan gombal, tapi fakta. Dia tidak mungkin cari yang lain.
Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.” Mata Asih berkaca-kaca
disisa-sisa keheningan di antara mereka.
Bulir-bulir bening mengalir pula dari mata Janvier.
***
Janvier mengingat perkataan Ibu Asih kemarin, masih
dalam keadaan menunduk. Lalu, sejenak kemudian, Janvier memeluk Fello yang ikut
terdiam sedari tadi. Angin berhembus meniup rumput-rumput liar di sekitar Fello
dan Janvier.
Lantas, rutinitas Fello dan panggilan ala Fello untuk
Janvier tidak akan pernah berhenti sampai hari ini. Senyum Fello tidak pernah
pudar sejak hari ini. Janvier memastikan itu.
***
created by Fara.
Tournesol = bunga matahari (France)
Yang bercetak tebal di cerpen di atas merupakan
copy-paste dari cerpen di bawah ini.
Terinspirasi oleh salah satu cerpen di novel Rectoverso karya DEE (Dewi
Lestari) yang berjudul “Malaikat Juga Tahu”
Ini cerpennya:
Malaikat
Juga Tahu
Lelahmu
jadi lelahku juga
Bahagiamu,
bahagiaku pasti
Berbagi,
takdir kita selalu
Kecuali
tiap kau jatuh hati
Kali
ini hampir habis dayaku
Membuktikan
padamu ada cinta yang nyata
Setia
hadir setiap hari
Tak
tega biarkan kau sendiri
Meski
seringkali kau malah asyik sendiri
Karena
kau tak lihat
Terkadang
malaikat tak bersayap,
Tak
cemerlang, tak rupawan
Namun
kasih ini, silakan kau adu
Malaikat
juga tahu
Siapa
yang jadi juaranya
Hampamu
tak kan hilang semalam
Oleh
pacar impian, tetapi kesempatan
Untukku
yang mungkin tak sempurna
Tapi
siap untuk diuji
Kupercaya
diri, cintakulah yang sejati
Namun
tak kau lihat
Terkadang
malaikat tak bersayap,
Tak
cemerlang, tak rupawan
Namun
kasih ini, silakan kau adu
Malaikat
juga tahu
Siapa
yang jadi juaranya
Kau
selalu meminta terus kutemani
Dan
kau s’lalu bercanda andai wajahku berganti
Melarangku
pergi karena tak sanggup sendiri
Namun
tak kau lihat
Terkadang
malaikat tak bersayap,
Tak
cemerlang, tak rupawan
Namun
kasih ini, silakan kau adu
Malaikat
juga tahu
Siapa
yang jadi juaranya
Laki-laki dan perempuan
itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan
awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.
Perempuan itu hafal
rutinitas ketat yang berlaku di sana. Laki-laki di sebelahnya memangkas rambut
setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju
berwarna gelap hari Rabu, baju berwarna sedang har Jumat. Menjerang air panas
setiap hari pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi
sabun mandinya yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan
sore.
Banyak orang yang
bertanya-tanya tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran topik
obrolan mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah
jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda,
sangat pandai memasak. Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah
rumah kos paling legendaris. Bahkan ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota
ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setipa Lebaran,
Bunda memasak layaknya catering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus
diberi makan. Namun jika cuma akses tak terbatas atas masakan Bunda yang jadi
alasan persahabatan mereka berdua, orang-orang tidak percaya.
Laki-laki itu, yang
biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah Bunda,
nomor dua sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal tapi untungnya
sekarang sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi
orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap pagi dia
membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas
untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan
warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup, Bunda
tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus
menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah
eksistensial bagi Abang.
Mengubah rutinitas itu
sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.
Bukannya tidak mungkin
berkomunikasi dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tinggi yang berbanding
terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental
anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda. Sekalipun
Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tak bisa mengobrolkan makna. Abang
gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi lebih baik
dari semula. Dia menghafal tahun, hari, jam, bahkan menit dari banyak
peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas piano,
bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi
bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
Perempuan di pekarangan
itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa.
Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan
selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan
solusi. Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis
dari tahun berapa saja terjadi pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan
laki-laki brengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumamam
simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak
seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi
sedetik pun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu
yang orang lain tidak. Laki-laki di sampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar
biasa.
Barangkali segalanya
tetap sama jika Bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk
pertama kalinya, anak itu menuliskan sesuatu yang di luar grup musik art rock atau sejarah musik klasik. Ia
menuliskan surat cinta—kumpulan kalimat tak tertata yang
bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu
ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.
Barangkali segalanya
tetap sama jika adik Abang, anak bungsu Bunda, tidak kembali merantau panjang
di luar negeri. Sang adik, kata orang-orang, adalah dari Tuhan untuk ketabahan
Bunda yang cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak pertamanya,
seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal karena penyakit
langka tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat
dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan
baik. Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur
sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah di rumah
karena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.
Barangkali sang adik
tetap menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan
satu-satunya yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air
panas dan cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas
lain: perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas bukan sekedar hobi, melainkan
eksistensi.
Pertama kali Bunda
mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran, Bunda langsung mengadakan
pertemuan empat mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama
karena dipikirnya akan lebih mudah.
“Bagi kamu pasti ini
terdengar aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang
bisa mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.”
Perempuan itu terenyak.
Apa-apaan ini? Pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih satu itu
untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.
Bunda melanjutkan
dengan suara tertahan, “Dia mencintai bukan cuma dengan hati. Tapi seluruh
jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan cuma rayuan gombal, tapi fakta.
Adiknya bisa cinta sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari
lagi. Tapi Abang tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa
pilihan. Seumur hidupnya.”
“Tapi… Bunda bukan malaikat
yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang
sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.”
Saat itu mata Bunda
berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka nangis berdua. Namun
ia tahu perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan
adalah penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan
karena ia satu-satunya pilihan yang ada.
Masih sambil berbaring,
dengan punggung tangannya perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya
bergerak lambat dan gemulai seolah menarikan tari perpisahan. Ini akan menjadi
malam Minggu terakhirnya di pekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka
berbicara bertiga. Dia, Bunda, dan si bungsu.
“Dia tidak bodoh.”
“Bunda, saya tahu dia
tidak bodoh.”
“Dia akan segera tahu
kalian berpacaran.”
“Mami, lebih baik dia
tahu sekarang daripada nanti setelah kami menikah.”
Bunda melengakkan
kepala dengan tatapan tak percaya. “Bagi abangmu, apa bedanya sekarang dan
nanti?”
“Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi
seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.
“Kalau perlu kalian
harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas.
“Ini tidak adil. Ini
tidak masuk akal…” protes anaknya lagi.
“Jangan bicara soal
adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia…” desis
Bunda, “kamu tidak tinggal di rumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.”
Satu hari, pernah ada
anak kos yang jahil. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang.
Bunda sedang pergi ke pasar waktu itu. abang mengacak-acak satu rumah, lalu
pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi
menelusuri kota mencari jejaknya. Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung.
Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu
masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani
mengusir sendiri.
Kejadian itu
mengharuskan Abang diterapi selama beberapa bulan ke rumah sakit dan diberi
obat-obatan penenang. Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit dan
obat-obatan itu hanya membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa
seratus sabun adalah syarat bag anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.
“Kamu harus tetap
kemari setiap malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda pada perempuan itu.
“Dan selama kalian di rumah ini, kalian tidak boleh kelihatan seperti kekasih.
Buat kalian mungkin tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu abangmu bisa
bertahan.”
Selepas berbicara
dengan Bunda, mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya
pergi dari kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu
di sana. Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju,
dan seratus sabun.
Di pekarangan dengan
tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal dalam hati.
Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas
kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maaf berulang kali dalam hati.
Sejenak lagi, malam
Minggu terakhir mereka telah usai.
***
Bunda menangisi setiap
malam Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia
menangis cukup dalam hati.
Semua anak kos kini
menyingkir jika malam Minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan,
barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap
satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.
Kalau beruntung, Abang
akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur di pangkuan ibunya. Kalau tidak, sang
ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.
Pada setiap penghujung
malam Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh
membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk
kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada
suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.
Bunda tak bisa dan tak
merasa perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dasyatnya api akan
mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energy cinta akan
meledakkannya dengan sia-sia.
Perempuan muda itu
benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk
berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah pakeet air mata,
keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi
tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak
punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.
Tidak pernah ada
kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.
0 comments:
Post a Comment