Apr 3, 2013

Tournesol


TOURNESOL

Dengan peluh, mencari-cari

Mana yang paling bersinar

Masih menunggu nama

Nama yang menggetarkan batin

Mendesirkan darah

Merapuhkan benteng perbatasan duniaku dengan dunia mereka

Meretakkan jiwa

Meruntuhkan resah

Menggelitik hati

Meleburkan cinta

Bilamana ada, dimana?

Aku terus berdamai dengan waktu

Mencoba percaya, mungkin sebentar lagi

Waktu terus saja tersenyum

Menunggu… ‘saatnya’ menjadi ‘akhirnya, waktu sudah tiba’

Aku kelelahan

 

Lalu, kali ini, aku menemukan saat aku hampir menyerah

Waktu berbisik ‘time is yours’

Nama itu kutemukan

Tertulis apik dalam relung jiwa

 

Dalam setiap aliran darah, helaan napas, dan detakan jantung

Mengeja namanya

TOURNESOL

 

‘Kau’ tidak perlu kemari, jika kau ingin pergi

TOURNESOL

Bersinarlah, tersenyumlah, jika kau benar akan pergi

Lalu hati dan jiwaku akan berdamai dengan takdir

Pada saat itu, aku mati.

***

Janvier menatap lembut sepasang mata teduh yang dibalut dengan alis lebat berwarna hitam pekat yang menyatu. “Hai.. sedang apa kau disini? Bermain kantong plastik?” ramahnya karena penasaran. Pria berperawakan tinggi besar itu seperti ketakutan sekali.
Dia menggeleng keras. Keringatnya mengucur.
“Siapa namamu?”
Dia tetap fokus dengan apa yang dilakukannya sedari tadi, Janvier dihiraukannya. Dia terlihat seperti merapikan banyak sekali kantong plastik yang bermacam-macam jenis dan warna, kantong plastik bekas sampai kantong plastik yang terlihat masih baru, melipatnya dengan sangat hati-hati, dan tidak ada diantara kantong plastik tersebut yang terlihat kotor ataupun lecek.
Banyak sekali kantong plastiknya. Janvier mencoba untuk menolongnya, lalu dengan cepat Janvier jongkok dan mengambil salah satu kantong plastik tersebut untuk dirapikannya. Namun, baru 5 detik Janvier mencoba untuk menolong, pria besar itu mengamuk, marah-marah hingga wajahnya merah padam, serta memukul bagian tangan Janvier dengan ranting kayu yang pria itu ambil ketika tidak sengaja melihatnya. Janvier tidak habis pikir dia akan diperlakukan seperti maling. Matanya mengilat seperti orang kesetanan. Janvier berdiri dan mundur beberapa langkah. Kenapa dia? Batinnya.
Perkataannya tidak jelas dan dia tetap tidak mau diam walaupun Janvier mencoba untuk pergi. Janvier mencoba untuk lari, tetapi kakinya tertahan. Orang ini gila? Tetapi, tidak tidak. Dia tidak gila. Batinnya berbisik kembali.
***

“Lho, kok nggak dimakan sarapannya?”
“Aku malas ada kak Fello makan bersamaku!”
“Berarti, kamu yang harus pergi, Rio! Fello ingin makan.”
“Ti..tidak, Ma. Aku..harus..per..pergi.” katanya dengan ikhlas untuk meninggalkan meja makan dengan sangat ketakutan.
“Baguslah, kak.” Rio menimpali kakaknya yang tidak ingin ada keributan.
“Kamu harus makan, Sayang.”  Ibu itu melembutkan suara dan menangkap tangan kiri anak sulungnya, berharap anak istimewanya itu akan kembali duduk.
Tetapi, dilepaskannya genggaman ibunya yang erat dengan pelan, dan pernyataan pentingnya makan untuknya itu tak ia hiraukan, ia mengabaikannya lalu pergi untuk mencari sesuatu untuk dilakukan. Ibu parah baya tersebut tidak aneh lagi dengan tingkah anaknya yang sekarang sudah berumur 23 tahun tetapi tingkah lakunya seperti bukan seorang pria yang semestinya.
“Kamu harusnya pengertian.”
“Aku udah capek, Ma, ngalah hampir selama 17 tahun.” Katanya melemah sambil menunduk. Kata-katanya ia pelankan, takut menyakiti perasaan ibunya.
“Mama atau Ayah tidak pernah membedakan kalian.” Wanita itu berhenti makan, lalu menatap kearah anak bungsunya yang protes.
Rio meremas tangannya dengan tegang. Dia selalu seperti ini. Terlihat kecil dan selalu di-nomordua-kan oleh orang tuanya sejak kecil. Anak bungsu yang paling dimanja, kalimat tersebut sangat bohong di mata Rio. Segalanya berbeda dengan adanya Fello. Berkebutuhan khusus dan selalu terlihat istimewa.
Ibu itu lalu pergi meninggalkan meja makan, tidak melanjutkan makan.


Perasaan seorang Ibu yang mudah hancur saat anaknya tidak diperlakukan dengan semestinya bukan lagi tantangan besar bagi wanita yang seluruh rambutnya hampir memutih itu. Tetapi, tantangan tersebut semakin kuat adanya dengan kepergian sang suami 3 tahun lalu karena penyakit stroke akut.
Fello. Iya, hanya sepenggal nama sederhana yang ia punya. Sesederhana wajahnya yang tak berdosa. Sepenggal kekhususannya yang sangat istimewa. Autisme, mereka menyebutnya.
Keterbatasan keuangan yang membuat Fello kekurangan untuk menerima pelajaran atau sekolah luar biasa yang semestinya ia dapatkan sejak berumur 3 tahun.
Lelaki bongsor itu memiliki kemahiran dalam menggesek senar biola dengan baik, bahkan sangat baik. Dia mengikuti semua nada dan memainkannya ulang dengan biola tua yang sengaja diberikan oleh tetangga Fello yang peduli terhadapnya. Piano, gitar, dan alat musik lainnya pun mampu ia mainkan dengan cukup baik.
Ia tidak berbeda, ia hanya sesederhana kata… istimewa.
***

Janvier masih dalam posisinya yang berdiri mundur dengan kebingungan. Seharusnya, tidak semaniak itu seseorang terhadap sesuatu. Ia sadar bahwa ada yang lain dalam diri pria bertubuh agak berisi itu. Pria ini bahkan cukup tampan untuk orang seumurannya, ia membatin. Masih dipandanginya pria yang mengamuk ini. Dia ingin menghentikan kemarahan pria tersebut, namun ia tidak tahu harus berbuat apa. Namun, jalan keluar seakan memasuki otak kreatifnya. Jadilah, ia maju beberapa langkah lebih dekat dengan pria tadi, lalu dibereskan semuanya kantong plastik bermacam-macam warna, bentuk, dan jenis tersebut. Pria tersebut diam saja, lalu ikut membereskan semuanya.
Beberapa saat kemudian, ia mengambil paksa kantong plastik yang telah Janvier rapikan, lalu pergi begitu saja. Tetapi, wajahnya memberikan kesan ketakutan.
Janvier melihat punggung tegap pria tadi, dengan begitu lekat. Rasa penasarannya begitu memuncak.
Rambut pendek Janvier tertiup angin yang bertiup dari arah belakang, lantas wajahnya hanya tersisa hidung dan bibir yang masih terlihat karena tertutup hitam rambutnya. Awal januari yang menarik, pikirnya.


“Asik jalan-jalan di ayunan tua belakang itu, nak?”
“Banyak rumputnya ya yah sekarang, lumayan asik. Tapi, ayunannya udah rusak, terus sempet bingung juga nyari ayunannya, ketutupan rumput terus papan kayunya udah agak rapuh.”
“Terus kamu ngapain disana lama banget kalo ayunannya rusak?”
“Ada cowok aneh, umurnya kayaknya lebih tua aku.”
“Tinggi ya? Namanya, Fello.”
“Ayah kenal?”
“Rumahnya deket dari rumah kita. Orang tuanya pindah kesini, dia udah umur 8 tahun. Penyandang autis. Mahir main biola. Biola punya kamu dulu kan Ayah kasihin dia, kamu inget yang Ayah biola kamu hilang?”
Janvier mengangguk. Penasarannya hampir terjawab semua oleh Ayahnya.
“Oh iya, ngoleksi kantong plastik  juga. Ibunya yang dagang jamu keliling tadi pagi.”
“Ayahnya?”
“Udah gak ada, kena stroke. Adeknya normal, umurnya seumuran kamu. Fello lebih tua dari kamu kok.”
Janvier melamun sejenak, menyerap kata-kata Ayahnya yang seperti tahu jelas tentang riwayat hidup si pria aneh tadi.
***

Ibu tua itu menatap wanita anggun yang sepertinya seumuran dengan anaknya, Rio. Ia tampak terkejut sekali ketika wanita ituJanviermenanyakan soal Fello. Ini kali pertama Fello dijenguk seorang wanita, dan wanita itu cantik dan mahir bermain biola pula. Ketika ia tahu bahwa namanya Janvier, ibu itu terlihat aneh, fasih sekali menyebutkan nama yang sepertinya belum pernah ia dengar sebelumnya. Setelah berbincang cukup lama, ternyata ia tahu bahwa Janvier adalah bahasa Prancis dari Januari karena itu adalah bulan kelahirannya. Janvier juga anak dari Pak Kafka yang ternyata pindahan dari Australia karena baru saja lulus kuliah disana. Betapa bahagianya ia sebagai seorang Ibu yang memiliki anak penyandang autis dijenguk oleh seorang wanita seperti Janvier.
Yang semakin membuat Ibu yang bernama Asih tersebut adalah karena Janvier membawa puluhan kantong plastik yang terlihat sangat keren. Saat ditanya darimana kantong plastik tersebut, Janvier menjawab saat berbelanja oleh-oleh di Australia dengan malu-malu. Ibu itu bersyukur karena Fello pasti akan sangat senang koleksinya bertambah, apalagi itu kantong plastik yang belum tentu ia dapatkan di Indonesia.
Hampir setengah jam Janvier asik mengobrol dengan Ibu Asih, dia sampai lupa akan tujuannya kesini untuk mengajak Fello bermain di taman rumput belakang. Ia merasa seperti anak kecil lagi kalau bermain disana, tetapi mengingat lawan mainnya adalah Fello, dia memang harus berusaha untuk menjadi anak berumur 5 tahun lagi.


“Hei, kau curang! Seharusnya giliranku sekarang.” kata Janvier mengeraskan suara agar terdengar oleh Fello yang sedang asik dengan ‘dunianya’.
Fello berhenti bermain. Pergi dari tempat itu.
“Hei hei, jangan marah. Aku hanya bercanda, silahkan teruskan permainanmu. Giliranku hanya setelah kau selesai, benar-benar selesai.”
Fello berhenti di ayunan tua yang rusak. Mencoba mencari tempat untuk sandaran punggungnya yang seperti lelah sekali, entah karena apa. Janvier mengikutinya saja karena tak tahu harus beruat apa lagi. Jalan satu-satunya hanyalah diam.
Fello lalu berdiri kembali setelah baru sekitar 10 menit bersandar di pohon tua besar menuju ke ayunan tua. Dia membenarkan posisi ayunan yang sudah tak terurus itu dengan hampir sempurna, hanya saja kayu dudukannya agak rapuh dan perlu bobot maksimal 50 kg untuk menaikinya. Janvier sendiri sekitar 49 kg, jadi dengan polosnya dia mencoba ayunan masa kanak-kanaknya itu dengan penasaran. Bekerjakah hasil ralatan dari Fello?
Benar saja, ayunannya sudah tidak mengalami ke-cacat-an lagi, penyangganya berupa tali sudah Fello ganti dengan peralatan seadanya yang ia punya, entah darimana dan kapan ia membawa peralatan aneh begitu saat sedang bermain biola seperti ini di kantong plastiknya.
***

Ritual itu seperti sudah mulai menjadi rutinitas. Mulai dari setiap minggu hingga setiap hari. Fello selalu memanggil Janvier dengan cara bermain biola dengan nada meracaunya yang sangat indah di depan rumahnya, lalu Janvier yang sudah mengerti akan keluar rumah dengan senyum ramah dan tidak mengambil waktu lama mereka langsung pergi ke taman belakang, dan langsung menyambar ayunan tua. Bagi Janvier itu adalah cara ampuh untuk membunuh waktu, tidak bagi Fello. Kegiatan seperti itu adalah hal yang harus selalu dilakukan karena ia terlanjur menyukainya. Entah Janvier senang atau tidak melakukannya, yang pasti Janvier selalu terlihat tersenyum saat memainkan biola bersamaan dengan Fello. Janvier akan duduk di atas ayunan tetapi tidak mengayunnya, sedangkan Fello bersandar di pohon besar tempat ayunan itu digantungkan di rantingnya.


Hari ini Fello terlihat berbeda, ia merapikan bajunya yang nampak sama saja seperti sebelum dirapikan. Ia tersenyum lebar saat perjalanan kerumah Janvier dan menggesek biolanya sepanjang perjalanan. Orang-orang yang melihatnya sudah tidak awam dengan kejadian seperti itu. Namun, kali ini Fello ketahuan memakai parum nyong-nyong milik almarhum Ayahnya yang sudah sangat lama tidak terpakai. Ia tidak menyadari bahwa wewangian tersebut sangat menyengat, namun ia tetap percaya diri dengan senyum yang menyembul dari bibir tipisnya yang merah.
Ia memelankan langkah kakinya saat sudah sampai di depan gerbang rumah Janvier. Dia hampir seperti orang tidak sabar tetapi malah melambatkan jalannya.
Lalu, dengan semangat juang tinggi ia bermain dengan biolanya, kali ini dengan iringan nanana nanana nanana dan begitu terus dari bibirnya sambil tersenyum. Fello tetap memainkan nada yang selalu sama untuk memanggil Janvier keluar agar bermain bersamanya.
Seperti mendapat panggilan alam, Janvier keluar bersama biolanya. Ia mencium bau menyengat yang akhirnya ia tahu bahwa itu berasal dari badan Fello. Janvier hanya dapat diam, dia hanya akan berbicara jika Fello tidak memainkan musiknya, dan itu hampir tidak pernah, hanya terjadi 2 kali dalam 3 bulan terakhir dan itu dikarenakan mood-nya yang sedang tidak baik. Jadi hampir selama dengan Fello, Janvier bahagia tanpa harus mengeluarkan sepatah katapun. Terdengar mustahil, namun itu faktanya.

Fello mengeluarkan bunga kuning cerah dari kantong celananya. Bunga matahari. Agak layu tetapi itu persembahan pertama dari Fello untuk Janvier. Janvier terlihat canggung saat menerima bunga matahari yang melayu tersebut, namun ia tidak lupa untuk berterimakasih kepada Fello, yang masih tersenyum lebar sepanjang hari ini.
Janvier sadar itu bukan hal biasa. Itu bukan kebiasaan Fello untuk tersenyum sepanjang hari dan bermain biola di sepanjang jalan.
Janvier tertunduk.
***

Asih memandang aneh dengan pemandang yang tidak biasa ini. Tidak pernah anak sulungnya seperti itu. Puisi yang ditemukan di tumpukan kantong plastik koleksinya juga membuatnya begitu heran. Namun, ia tahu, ada hal bahagia yang menyelimuti hati anak istimewanya, dan dia tidak boleh merusaknya.
“Janvier?” katanya pelan.
Fello mengangguk pelan dengan tersenyum saat Asih kepergok sedang membaca tulisan tangan Fello yang sangat tidak teratur di atas kertas berwarna cokelat muda. Fello belajar menulis dan membaca saat ia didaftarkan Asih di suatu komunitas yang menampung anak autis, namun itu tidak bertahan lama karena Fello tidak betah dan tidak bisa beradaptasi dengan baik. Ia tidak terbiasa dengan lingkungan seperti itu. Asih merasa bersalah karena salahnya yang tidak mampu menyekolahkan Fello di sekolah khusus sejak kecil hingga berdampak buruk bagi kegiatannya bersosialisasi.


Asih mengundang Janvier untuk kerumahnya. Menanyakan beberapa hal yang semestinya ia tanyakan sebelum semuanya terlambat seperti sekarang. Asih sudah membayangkan jika Fello akan mengamuk setiap hari jika ia tidak melakukan suatu kebiasaan yang sudah biasa ia lakukan. Seperti saat salah satu koleksi kantong plastiknya dipakai hingga rusak oleh Rio, Fello mengamuk hingga pingsan, walaupun sebenarnya ia menyayangi adiknya itu.
Kebiasaan yang fatal adalah membiarkan Fello secara polos jatuh cinta dengan Janvier. Hingga kemarin, ia meminta Asih untuk memetik setangkai bunga matahari milik tetangga, itu karena Fello menyukai warna kuning.
“Seharusnya ibu tahu ini akan terjadi, maafkan ibu..”
Janvier diam.
Hening.
Dia mencintai bukan cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan cuma rayuan gombal, tapi fakta. Dia tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.” Mata Asih berkaca-kaca disisa-sisa keheningan di antara mereka.
Bulir-bulir bening mengalir pula dari mata Janvier.
***

Janvier mengingat perkataan Ibu Asih kemarin, masih dalam keadaan menunduk. Lalu, sejenak kemudian, Janvier memeluk Fello yang ikut terdiam sedari tadi. Angin berhembus meniup rumput-rumput liar di sekitar Fello dan Janvier.

Lantas, rutinitas Fello dan panggilan ala Fello untuk Janvier tidak akan pernah berhenti sampai hari ini. Senyum Fello tidak pernah pudar sejak hari ini. Janvier memastikan itu.
***
created by Fara.

Tournesol = bunga matahari (France)
Yang bercetak tebal di cerpen di atas merupakan copy-paste dari cerpen di bawah ini.
Terinspirasi oleh salah satu cerpen di novel Rectoverso karya DEE (Dewi Lestari) yang berjudul “Malaikat Juga Tahu”
Ini cerpennya:

Malaikat Juga Tahu
Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu, bahagiaku pasti
Berbagi, takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri

Karena kau tak lihat
Terkadang malaikat tak bersayap,
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian, tetapi kesempatan
Untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Kupercaya diri, cintakulah yang sejati

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap,
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Kau selalu meminta terus kutemani
Dan kau s’lalu bercanda andai wajahku berganti
Melarangku pergi karena tak sanggup sendiri

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap,
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya


Laki-laki dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.
Perempuan itu hafal rutinitas ketat yang berlaku di sana. Laki-laki di sebelahnya memangkas rambut setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju berwarna gelap hari Rabu, baju berwarna sedang har Jumat. Menjerang air panas setiap hari pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.


Banyak orang yang bertanya-tanya tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran topik obrolan mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda, sangat pandai memasak. Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah kos paling legendaris. Bahkan ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setipa Lebaran, Bunda memasak layaknya catering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus diberi makan. Namun jika cuma akses tak terbatas atas masakan Bunda yang jadi alasan persahabatan mereka berdua, orang-orang tidak percaya.


Laki-laki itu, yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah Bunda, nomor dua sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal tapi untungnya sekarang sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup, Bunda tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah eksistensial bagi Abang.
Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.
Bukannya tidak mungkin berkomunikasi dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tak bisa mengobrolkan makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi lebih baik dari semula. Dia menghafal tahun, hari, jam, bahkan menit dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas piano, bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
Perempuan di pekarangan itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa. Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan solusi. Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis dari tahun berapa saja terjadi pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan laki-laki brengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumamam simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi sedetik pun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu yang orang lain tidak. Laki-laki di sampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar biasa.
Barangkali segalanya tetap sama jika Bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk pertama kalinya, anak itu menuliskan sesuatu yang di luar grup musik art rock atau sejarah musik klasik. Ia menuliskan surat cintakumpulan kalimat tak tertata yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.
Barangkali segalanya tetap sama jika adik Abang, anak bungsu Bunda, tidak kembali merantau panjang di luar negeri. Sang adik, kata orang-orang, adalah dari Tuhan untuk ketabahan Bunda yang cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak pertamanya, seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal karena penyakit langka tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan baik. Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah di rumah karena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.
Barangkali sang adik tetap menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain: perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas bukan sekedar hobi, melainkan eksistensi.
Pertama kali Bunda mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran, Bunda langsung mengadakan pertemuan empat mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya akan lebih mudah.
“Bagi kamu pasti ini terdengar aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.”
Perempuan itu terenyak. Apa-apaan ini? Pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih satu itu untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.
Bunda melanjutkan dengan suara tertahan, “Dia mencintai bukan cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.”
“Tapi… Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.”
Saat itu mata Bunda berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka nangis berdua. Namun ia tahu perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.
Masih sambil berbaring, dengan punggung tangannya perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak lambat dan gemulai seolah menarikan tari perpisahan. Ini akan menjadi malam Minggu terakhirnya di pekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka berbicara bertiga. Dia, Bunda, dan si bungsu.
“Dia tidak bodoh.”
“Bunda, saya tahu dia tidak bodoh.”
“Dia akan segera tahu kalian berpacaran.”
“Mami, lebih baik dia tahu sekarang daripada nanti setelah kami menikah.”
Bunda melengakkan kepala dengan tatapan tak percaya. “Bagi abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?”
“Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.
“Kalau perlu kalian harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas.
“Ini tidak adil. Ini tidak masuk akal…” protes anaknya lagi.
“Jangan bicara soal adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia…” desis Bunda, “kamu tidak tinggal di rumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.”
Satu hari, pernah ada anak kos yang jahil. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang. Bunda sedang pergi ke pasar waktu itu. abang mengacak-acak satu rumah, lalu pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi menelusuri kota mencari jejaknya. Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani mengusir sendiri.
Kejadian itu mengharuskan Abang diterapi selama beberapa bulan ke rumah sakit dan diberi obat-obatan penenang. Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit dan obat-obatan itu hanya membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat bag anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.
“Kamu harus tetap kemari setiap malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda pada perempuan itu. “Dan selama kalian di rumah ini, kalian tidak boleh kelihatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu abangmu bisa bertahan.”
Selepas berbicara dengan Bunda, mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana. Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus sabun.
Di pekarangan dengan tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal dalam hati. Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maaf berulang kali dalam hati.
Sejenak lagi, malam Minggu terakhir mereka telah usai.
***

Bunda menangisi setiap malam Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.
Semua anak kos kini menyingkir jika malam Minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan, barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.
Kalau beruntung, Abang akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur di pangkuan ibunya. Kalau tidak, sang ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.
Pada setiap penghujung malam Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.
Bunda tak bisa dan tak merasa perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dasyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energy cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.
Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah pakeet air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.
Tidak pernah ada kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.

0 comments:

Post a Comment

Apr 3, 2013

Tournesol


TOURNESOL

Dengan peluh, mencari-cari

Mana yang paling bersinar

Masih menunggu nama

Nama yang menggetarkan batin

Mendesirkan darah

Merapuhkan benteng perbatasan duniaku dengan dunia mereka

Meretakkan jiwa

Meruntuhkan resah

Menggelitik hati

Meleburkan cinta

Bilamana ada, dimana?

Aku terus berdamai dengan waktu

Mencoba percaya, mungkin sebentar lagi

Waktu terus saja tersenyum

Menunggu… ‘saatnya’ menjadi ‘akhirnya, waktu sudah tiba’

Aku kelelahan

 

Lalu, kali ini, aku menemukan saat aku hampir menyerah

Waktu berbisik ‘time is yours’

Nama itu kutemukan

Tertulis apik dalam relung jiwa

 

Dalam setiap aliran darah, helaan napas, dan detakan jantung

Mengeja namanya

TOURNESOL

 

‘Kau’ tidak perlu kemari, jika kau ingin pergi

TOURNESOL

Bersinarlah, tersenyumlah, jika kau benar akan pergi

Lalu hati dan jiwaku akan berdamai dengan takdir

Pada saat itu, aku mati.

***

Janvier menatap lembut sepasang mata teduh yang dibalut dengan alis lebat berwarna hitam pekat yang menyatu. “Hai.. sedang apa kau disini? Bermain kantong plastik?” ramahnya karena penasaran. Pria berperawakan tinggi besar itu seperti ketakutan sekali.
Dia menggeleng keras. Keringatnya mengucur.
“Siapa namamu?”
Dia tetap fokus dengan apa yang dilakukannya sedari tadi, Janvier dihiraukannya. Dia terlihat seperti merapikan banyak sekali kantong plastik yang bermacam-macam jenis dan warna, kantong plastik bekas sampai kantong plastik yang terlihat masih baru, melipatnya dengan sangat hati-hati, dan tidak ada diantara kantong plastik tersebut yang terlihat kotor ataupun lecek.
Banyak sekali kantong plastiknya. Janvier mencoba untuk menolongnya, lalu dengan cepat Janvier jongkok dan mengambil salah satu kantong plastik tersebut untuk dirapikannya. Namun, baru 5 detik Janvier mencoba untuk menolong, pria besar itu mengamuk, marah-marah hingga wajahnya merah padam, serta memukul bagian tangan Janvier dengan ranting kayu yang pria itu ambil ketika tidak sengaja melihatnya. Janvier tidak habis pikir dia akan diperlakukan seperti maling. Matanya mengilat seperti orang kesetanan. Janvier berdiri dan mundur beberapa langkah. Kenapa dia? Batinnya.
Perkataannya tidak jelas dan dia tetap tidak mau diam walaupun Janvier mencoba untuk pergi. Janvier mencoba untuk lari, tetapi kakinya tertahan. Orang ini gila? Tetapi, tidak tidak. Dia tidak gila. Batinnya berbisik kembali.
***

“Lho, kok nggak dimakan sarapannya?”
“Aku malas ada kak Fello makan bersamaku!”
“Berarti, kamu yang harus pergi, Rio! Fello ingin makan.”
“Ti..tidak, Ma. Aku..harus..per..pergi.” katanya dengan ikhlas untuk meninggalkan meja makan dengan sangat ketakutan.
“Baguslah, kak.” Rio menimpali kakaknya yang tidak ingin ada keributan.
“Kamu harus makan, Sayang.”  Ibu itu melembutkan suara dan menangkap tangan kiri anak sulungnya, berharap anak istimewanya itu akan kembali duduk.
Tetapi, dilepaskannya genggaman ibunya yang erat dengan pelan, dan pernyataan pentingnya makan untuknya itu tak ia hiraukan, ia mengabaikannya lalu pergi untuk mencari sesuatu untuk dilakukan. Ibu parah baya tersebut tidak aneh lagi dengan tingkah anaknya yang sekarang sudah berumur 23 tahun tetapi tingkah lakunya seperti bukan seorang pria yang semestinya.
“Kamu harusnya pengertian.”
“Aku udah capek, Ma, ngalah hampir selama 17 tahun.” Katanya melemah sambil menunduk. Kata-katanya ia pelankan, takut menyakiti perasaan ibunya.
“Mama atau Ayah tidak pernah membedakan kalian.” Wanita itu berhenti makan, lalu menatap kearah anak bungsunya yang protes.
Rio meremas tangannya dengan tegang. Dia selalu seperti ini. Terlihat kecil dan selalu di-nomordua-kan oleh orang tuanya sejak kecil. Anak bungsu yang paling dimanja, kalimat tersebut sangat bohong di mata Rio. Segalanya berbeda dengan adanya Fello. Berkebutuhan khusus dan selalu terlihat istimewa.
Ibu itu lalu pergi meninggalkan meja makan, tidak melanjutkan makan.


Perasaan seorang Ibu yang mudah hancur saat anaknya tidak diperlakukan dengan semestinya bukan lagi tantangan besar bagi wanita yang seluruh rambutnya hampir memutih itu. Tetapi, tantangan tersebut semakin kuat adanya dengan kepergian sang suami 3 tahun lalu karena penyakit stroke akut.
Fello. Iya, hanya sepenggal nama sederhana yang ia punya. Sesederhana wajahnya yang tak berdosa. Sepenggal kekhususannya yang sangat istimewa. Autisme, mereka menyebutnya.
Keterbatasan keuangan yang membuat Fello kekurangan untuk menerima pelajaran atau sekolah luar biasa yang semestinya ia dapatkan sejak berumur 3 tahun.
Lelaki bongsor itu memiliki kemahiran dalam menggesek senar biola dengan baik, bahkan sangat baik. Dia mengikuti semua nada dan memainkannya ulang dengan biola tua yang sengaja diberikan oleh tetangga Fello yang peduli terhadapnya. Piano, gitar, dan alat musik lainnya pun mampu ia mainkan dengan cukup baik.
Ia tidak berbeda, ia hanya sesederhana kata… istimewa.
***

Janvier masih dalam posisinya yang berdiri mundur dengan kebingungan. Seharusnya, tidak semaniak itu seseorang terhadap sesuatu. Ia sadar bahwa ada yang lain dalam diri pria bertubuh agak berisi itu. Pria ini bahkan cukup tampan untuk orang seumurannya, ia membatin. Masih dipandanginya pria yang mengamuk ini. Dia ingin menghentikan kemarahan pria tersebut, namun ia tidak tahu harus berbuat apa. Namun, jalan keluar seakan memasuki otak kreatifnya. Jadilah, ia maju beberapa langkah lebih dekat dengan pria tadi, lalu dibereskan semuanya kantong plastik bermacam-macam warna, bentuk, dan jenis tersebut. Pria tersebut diam saja, lalu ikut membereskan semuanya.
Beberapa saat kemudian, ia mengambil paksa kantong plastik yang telah Janvier rapikan, lalu pergi begitu saja. Tetapi, wajahnya memberikan kesan ketakutan.
Janvier melihat punggung tegap pria tadi, dengan begitu lekat. Rasa penasarannya begitu memuncak.
Rambut pendek Janvier tertiup angin yang bertiup dari arah belakang, lantas wajahnya hanya tersisa hidung dan bibir yang masih terlihat karena tertutup hitam rambutnya. Awal januari yang menarik, pikirnya.


“Asik jalan-jalan di ayunan tua belakang itu, nak?”
“Banyak rumputnya ya yah sekarang, lumayan asik. Tapi, ayunannya udah rusak, terus sempet bingung juga nyari ayunannya, ketutupan rumput terus papan kayunya udah agak rapuh.”
“Terus kamu ngapain disana lama banget kalo ayunannya rusak?”
“Ada cowok aneh, umurnya kayaknya lebih tua aku.”
“Tinggi ya? Namanya, Fello.”
“Ayah kenal?”
“Rumahnya deket dari rumah kita. Orang tuanya pindah kesini, dia udah umur 8 tahun. Penyandang autis. Mahir main biola. Biola punya kamu dulu kan Ayah kasihin dia, kamu inget yang Ayah biola kamu hilang?”
Janvier mengangguk. Penasarannya hampir terjawab semua oleh Ayahnya.
“Oh iya, ngoleksi kantong plastik  juga. Ibunya yang dagang jamu keliling tadi pagi.”
“Ayahnya?”
“Udah gak ada, kena stroke. Adeknya normal, umurnya seumuran kamu. Fello lebih tua dari kamu kok.”
Janvier melamun sejenak, menyerap kata-kata Ayahnya yang seperti tahu jelas tentang riwayat hidup si pria aneh tadi.
***

Ibu tua itu menatap wanita anggun yang sepertinya seumuran dengan anaknya, Rio. Ia tampak terkejut sekali ketika wanita ituJanviermenanyakan soal Fello. Ini kali pertama Fello dijenguk seorang wanita, dan wanita itu cantik dan mahir bermain biola pula. Ketika ia tahu bahwa namanya Janvier, ibu itu terlihat aneh, fasih sekali menyebutkan nama yang sepertinya belum pernah ia dengar sebelumnya. Setelah berbincang cukup lama, ternyata ia tahu bahwa Janvier adalah bahasa Prancis dari Januari karena itu adalah bulan kelahirannya. Janvier juga anak dari Pak Kafka yang ternyata pindahan dari Australia karena baru saja lulus kuliah disana. Betapa bahagianya ia sebagai seorang Ibu yang memiliki anak penyandang autis dijenguk oleh seorang wanita seperti Janvier.
Yang semakin membuat Ibu yang bernama Asih tersebut adalah karena Janvier membawa puluhan kantong plastik yang terlihat sangat keren. Saat ditanya darimana kantong plastik tersebut, Janvier menjawab saat berbelanja oleh-oleh di Australia dengan malu-malu. Ibu itu bersyukur karena Fello pasti akan sangat senang koleksinya bertambah, apalagi itu kantong plastik yang belum tentu ia dapatkan di Indonesia.
Hampir setengah jam Janvier asik mengobrol dengan Ibu Asih, dia sampai lupa akan tujuannya kesini untuk mengajak Fello bermain di taman rumput belakang. Ia merasa seperti anak kecil lagi kalau bermain disana, tetapi mengingat lawan mainnya adalah Fello, dia memang harus berusaha untuk menjadi anak berumur 5 tahun lagi.


“Hei, kau curang! Seharusnya giliranku sekarang.” kata Janvier mengeraskan suara agar terdengar oleh Fello yang sedang asik dengan ‘dunianya’.
Fello berhenti bermain. Pergi dari tempat itu.
“Hei hei, jangan marah. Aku hanya bercanda, silahkan teruskan permainanmu. Giliranku hanya setelah kau selesai, benar-benar selesai.”
Fello berhenti di ayunan tua yang rusak. Mencoba mencari tempat untuk sandaran punggungnya yang seperti lelah sekali, entah karena apa. Janvier mengikutinya saja karena tak tahu harus beruat apa lagi. Jalan satu-satunya hanyalah diam.
Fello lalu berdiri kembali setelah baru sekitar 10 menit bersandar di pohon tua besar menuju ke ayunan tua. Dia membenarkan posisi ayunan yang sudah tak terurus itu dengan hampir sempurna, hanya saja kayu dudukannya agak rapuh dan perlu bobot maksimal 50 kg untuk menaikinya. Janvier sendiri sekitar 49 kg, jadi dengan polosnya dia mencoba ayunan masa kanak-kanaknya itu dengan penasaran. Bekerjakah hasil ralatan dari Fello?
Benar saja, ayunannya sudah tidak mengalami ke-cacat-an lagi, penyangganya berupa tali sudah Fello ganti dengan peralatan seadanya yang ia punya, entah darimana dan kapan ia membawa peralatan aneh begitu saat sedang bermain biola seperti ini di kantong plastiknya.
***

Ritual itu seperti sudah mulai menjadi rutinitas. Mulai dari setiap minggu hingga setiap hari. Fello selalu memanggil Janvier dengan cara bermain biola dengan nada meracaunya yang sangat indah di depan rumahnya, lalu Janvier yang sudah mengerti akan keluar rumah dengan senyum ramah dan tidak mengambil waktu lama mereka langsung pergi ke taman belakang, dan langsung menyambar ayunan tua. Bagi Janvier itu adalah cara ampuh untuk membunuh waktu, tidak bagi Fello. Kegiatan seperti itu adalah hal yang harus selalu dilakukan karena ia terlanjur menyukainya. Entah Janvier senang atau tidak melakukannya, yang pasti Janvier selalu terlihat tersenyum saat memainkan biola bersamaan dengan Fello. Janvier akan duduk di atas ayunan tetapi tidak mengayunnya, sedangkan Fello bersandar di pohon besar tempat ayunan itu digantungkan di rantingnya.


Hari ini Fello terlihat berbeda, ia merapikan bajunya yang nampak sama saja seperti sebelum dirapikan. Ia tersenyum lebar saat perjalanan kerumah Janvier dan menggesek biolanya sepanjang perjalanan. Orang-orang yang melihatnya sudah tidak awam dengan kejadian seperti itu. Namun, kali ini Fello ketahuan memakai parum nyong-nyong milik almarhum Ayahnya yang sudah sangat lama tidak terpakai. Ia tidak menyadari bahwa wewangian tersebut sangat menyengat, namun ia tetap percaya diri dengan senyum yang menyembul dari bibir tipisnya yang merah.
Ia memelankan langkah kakinya saat sudah sampai di depan gerbang rumah Janvier. Dia hampir seperti orang tidak sabar tetapi malah melambatkan jalannya.
Lalu, dengan semangat juang tinggi ia bermain dengan biolanya, kali ini dengan iringan nanana nanana nanana dan begitu terus dari bibirnya sambil tersenyum. Fello tetap memainkan nada yang selalu sama untuk memanggil Janvier keluar agar bermain bersamanya.
Seperti mendapat panggilan alam, Janvier keluar bersama biolanya. Ia mencium bau menyengat yang akhirnya ia tahu bahwa itu berasal dari badan Fello. Janvier hanya dapat diam, dia hanya akan berbicara jika Fello tidak memainkan musiknya, dan itu hampir tidak pernah, hanya terjadi 2 kali dalam 3 bulan terakhir dan itu dikarenakan mood-nya yang sedang tidak baik. Jadi hampir selama dengan Fello, Janvier bahagia tanpa harus mengeluarkan sepatah katapun. Terdengar mustahil, namun itu faktanya.

Fello mengeluarkan bunga kuning cerah dari kantong celananya. Bunga matahari. Agak layu tetapi itu persembahan pertama dari Fello untuk Janvier. Janvier terlihat canggung saat menerima bunga matahari yang melayu tersebut, namun ia tidak lupa untuk berterimakasih kepada Fello, yang masih tersenyum lebar sepanjang hari ini.
Janvier sadar itu bukan hal biasa. Itu bukan kebiasaan Fello untuk tersenyum sepanjang hari dan bermain biola di sepanjang jalan.
Janvier tertunduk.
***

Asih memandang aneh dengan pemandang yang tidak biasa ini. Tidak pernah anak sulungnya seperti itu. Puisi yang ditemukan di tumpukan kantong plastik koleksinya juga membuatnya begitu heran. Namun, ia tahu, ada hal bahagia yang menyelimuti hati anak istimewanya, dan dia tidak boleh merusaknya.
“Janvier?” katanya pelan.
Fello mengangguk pelan dengan tersenyum saat Asih kepergok sedang membaca tulisan tangan Fello yang sangat tidak teratur di atas kertas berwarna cokelat muda. Fello belajar menulis dan membaca saat ia didaftarkan Asih di suatu komunitas yang menampung anak autis, namun itu tidak bertahan lama karena Fello tidak betah dan tidak bisa beradaptasi dengan baik. Ia tidak terbiasa dengan lingkungan seperti itu. Asih merasa bersalah karena salahnya yang tidak mampu menyekolahkan Fello di sekolah khusus sejak kecil hingga berdampak buruk bagi kegiatannya bersosialisasi.


Asih mengundang Janvier untuk kerumahnya. Menanyakan beberapa hal yang semestinya ia tanyakan sebelum semuanya terlambat seperti sekarang. Asih sudah membayangkan jika Fello akan mengamuk setiap hari jika ia tidak melakukan suatu kebiasaan yang sudah biasa ia lakukan. Seperti saat salah satu koleksi kantong plastiknya dipakai hingga rusak oleh Rio, Fello mengamuk hingga pingsan, walaupun sebenarnya ia menyayangi adiknya itu.
Kebiasaan yang fatal adalah membiarkan Fello secara polos jatuh cinta dengan Janvier. Hingga kemarin, ia meminta Asih untuk memetik setangkai bunga matahari milik tetangga, itu karena Fello menyukai warna kuning.
“Seharusnya ibu tahu ini akan terjadi, maafkan ibu..”
Janvier diam.
Hening.
Dia mencintai bukan cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan cuma rayuan gombal, tapi fakta. Dia tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.” Mata Asih berkaca-kaca disisa-sisa keheningan di antara mereka.
Bulir-bulir bening mengalir pula dari mata Janvier.
***

Janvier mengingat perkataan Ibu Asih kemarin, masih dalam keadaan menunduk. Lalu, sejenak kemudian, Janvier memeluk Fello yang ikut terdiam sedari tadi. Angin berhembus meniup rumput-rumput liar di sekitar Fello dan Janvier.

Lantas, rutinitas Fello dan panggilan ala Fello untuk Janvier tidak akan pernah berhenti sampai hari ini. Senyum Fello tidak pernah pudar sejak hari ini. Janvier memastikan itu.
***
created by Fara.

Tournesol = bunga matahari (France)
Yang bercetak tebal di cerpen di atas merupakan copy-paste dari cerpen di bawah ini.
Terinspirasi oleh salah satu cerpen di novel Rectoverso karya DEE (Dewi Lestari) yang berjudul “Malaikat Juga Tahu”
Ini cerpennya:

Malaikat Juga Tahu
Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu, bahagiaku pasti
Berbagi, takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri

Karena kau tak lihat
Terkadang malaikat tak bersayap,
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian, tetapi kesempatan
Untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Kupercaya diri, cintakulah yang sejati

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap,
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Kau selalu meminta terus kutemani
Dan kau s’lalu bercanda andai wajahku berganti
Melarangku pergi karena tak sanggup sendiri

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap,
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya


Laki-laki dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.
Perempuan itu hafal rutinitas ketat yang berlaku di sana. Laki-laki di sebelahnya memangkas rambut setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju berwarna gelap hari Rabu, baju berwarna sedang har Jumat. Menjerang air panas setiap hari pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya yang bermerek sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.


Banyak orang yang bertanya-tanya tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran topik obrolan mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda, sangat pandai memasak. Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah kos paling legendaris. Bahkan ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setipa Lebaran, Bunda memasak layaknya catering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus diberi makan. Namun jika cuma akses tak terbatas atas masakan Bunda yang jadi alasan persahabatan mereka berdua, orang-orang tidak percaya.


Laki-laki itu, yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah Bunda, nomor dua sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal tapi untungnya sekarang sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup, Bunda tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah eksistensial bagi Abang.
Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengedari matahari.
Bukannya tidak mungkin berkomunikasi dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tak bisa mengobrolkan makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi lebih baik dari semula. Dia menghafal tahun, hari, jam, bahkan menit dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas piano, bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.
Perempuan di pekarangan itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa. Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan solusi. Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis dari tahun berapa saja terjadi pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan laki-laki brengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumamam simfoni Beethoven dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi sedetik pun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu yang orang lain tidak. Laki-laki di sampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar biasa.
Barangkali segalanya tetap sama jika Bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk pertama kalinya, anak itu menuliskan sesuatu yang di luar grup musik art rock atau sejarah musik klasik. Ia menuliskan surat cintakumpulan kalimat tak tertata yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.
Barangkali segalanya tetap sama jika adik Abang, anak bungsu Bunda, tidak kembali merantau panjang di luar negeri. Sang adik, kata orang-orang, adalah dari Tuhan untuk ketabahan Bunda yang cepat menjanda, disusul musibah yang menimpa anak pertamanya, seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, yang meninggal karena penyakit langka tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan baik. Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah di rumah karena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.
Barangkali sang adik tetap menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain: perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas bukan sekedar hobi, melainkan eksistensi.
Pertama kali Bunda mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran, Bunda langsung mengadakan pertemuan empat mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya akan lebih mudah.
“Bagi kamu pasti ini terdengar aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.”
Perempuan itu terenyak. Apa-apaan ini? Pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih satu itu untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.
Bunda melanjutkan dengan suara tertahan, “Dia mencintai bukan cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.”
“Tapi… Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.”
Saat itu mata Bunda berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka nangis berdua. Namun ia tahu perbedaan dirinya dengan Bunda. Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.
Masih sambil berbaring, dengan punggung tangannya perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak lambat dan gemulai seolah menarikan tari perpisahan. Ini akan menjadi malam Minggu terakhirnya di pekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka berbicara bertiga. Dia, Bunda, dan si bungsu.
“Dia tidak bodoh.”
“Bunda, saya tahu dia tidak bodoh.”
“Dia akan segera tahu kalian berpacaran.”
“Mami, lebih baik dia tahu sekarang daripada nanti setelah kami menikah.”
Bunda melengakkan kepala dengan tatapan tak percaya. “Bagi abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?”
“Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!” Anak laki-lakinya setengah berseru.
“Kalau perlu kalian harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!” balas Bunda lebih tegas.
“Ini tidak adil. Ini tidak masuk akal…” protes anaknya lagi.
“Jangan bicara soal adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia…” desis Bunda, “kamu tidak tinggal di rumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Mami.”
Satu hari, pernah ada anak kos yang jahil. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang. Bunda sedang pergi ke pasar waktu itu. abang mengacak-acak satu rumah, lalu pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi menelusuri kota mencari jejaknya. Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani mengusir sendiri.
Kejadian itu mengharuskan Abang diterapi selama beberapa bulan ke rumah sakit dan diberi obat-obatan penenang. Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit dan obat-obatan itu hanya membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat bag anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.
“Kamu harus tetap kemari setiap malam minggu. Tidak bisa tidak,” kata Bunda pada perempuan itu. “Dan selama kalian di rumah ini, kalian tidak boleh kelihatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu abangmu bisa bertahan.”
Selepas berbicara dengan Bunda, mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana. Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus sabun.
Di pekarangan dengan tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal dalam hati. Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maaf berulang kali dalam hati.
Sejenak lagi, malam Minggu terakhir mereka telah usai.
***

Bunda menangisi setiap malam Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.
Semua anak kos kini menyingkir jika malam Minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan, barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.
Kalau beruntung, Abang akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur di pangkuan ibunya. Kalau tidak, sang ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.
Pada setiap penghujung malam Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.
Bunda tak bisa dan tak merasa perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dasyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energy cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.
Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah pakeet air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.
Tidak pernah ada kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.

No comments:

Post a Comment

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design