Mar 25, 2013

Seharusnya


06/12
Kau terlihat resah. Perasaanmu seakan gelisah. Gerak tubuhmu kian tidak enak. Sementara pikiranmu, sudah ngalor-ngidul berpikir entah sudah sampai mana. Matamu menerawang, sambil melamun. Hatimu tidak tenang. Ada perasaan aneh yang menggelitik hatimu. Aku risih melihatmu seperti itu. Tentu saja ini mengganggumu. Susunan-susunan kayu ini ber-duk-duk saat sepatu hakmu menghantamnya. Entah sudah berapa kali kau berbalik-balik arah, mondar-mandir.
Kau mencoba berpikir tidak akan ada apa-apa, sambil menunggu. Menunggu sesi ini segera dimulai dan kau dapat cepat pulang dengan perasaan yang plong. Perasaan itu tentunya membuatmu tidak bisa diam, tetapi sungguh, kau terlalu cantik untuk gelisah saat mengenakan baju pengantin. Tidak pernah ada yang seelokmu saat sedang memiliki perasaan kacau.
Aku masih diam, menunggu apa yang akan kau lakukan.
“Al belum datang juga?” katamu, masih dengan perasaan kalut, antara harus melakukan apa dan bagaimana cara agar perasaan resah itu pergi.
Aku menggeleng pelan.
Nyatanya, perasaan itu terus menggerogoti energimu, menyedot seluruh tenagamu hingga kau putuskan untuk bersimpuh duduk di pinggir sisi. Kau lepas sepatu hakmu, memasukkan separuh kakimu dalam air dan seakan terhibur saat ombak menyerbu kakimu. Kau mencoba membunuh waktu.
Gulungan ombak yang menabrak kakimu rasanya membuatmu sedikit lebih tenang. Buih-buih putih diujung pantai kau pandangi dengan nanar, menebak-nebak berapa lama lagi kau akan menunggu.
Aku tersenyum simpul melihatmu seperti ini, atau lebih tepatnya tersenyum prihatin?
Anak-anak rambutmu telah basah tersapu keringat, namun tetap saja terlihat anggun.
Dip… Dip… Dip… bunyi ponselmu yang aneh memecah suasana yang sedari tadi hening.
“Siapa?” tanyaku. Lalu, sepersekian detik berikutnya aku menyesali pertanyaanku tadi. Seharusnya aku diam saja. Akhirnya, tidak mendengar ada jawaban darimu, aku mencoba mendengar angin lewat saja. Mengira-ngira siapa yang memberimu pesan hingga tidak ada waktu untuk menjawab pertanyaanku.
“Ibu..” katamu lirih. Kaca-kaca pada matamu hampir tumpah, tetapi kau tahan. Ada apa!? Kataku, hanya bisa menggerutu dalam hati, membatin. “Sebaiknya kau pulang, Alvino tidak akan datang,” lanjutmu dengan suara sangat pelan. Aku tidak tahu itu sedang membacakan tulisan yang tertera dalam ponselmu atau sedang memberi kalimat perintah untukku. Tetapi, kukira kau sedang membaca pesan yang ada di ponselmu.
Aku ikut gelisah. Sesegera mungkin dan secepat yang aku bisa, aku mengemas semuanya, kamera dan segala tetek-bengeknya ke dalam satu koper besar.
Kulihat wajahmu dengan ekor mataku. Kau mematung. Wajahmu pucat, membisu.
Aku teruskan bereskan semuanya, seakan tahu bahwa segala perabot ini tidak akan berguna hari ini. Bunyi retsleting koper sudah berbunyi lucu, bertanda aku sudah selesai membereskan semuanya.
“Seharusnya kita tidak berada disini!” isakmu sambil memelukku lalu mengeratkannya, dan aku hanya bisa diam membalas pelukanmu. Hanya dengan cara begini, aku tahu kau pilu.
Kau melepas pelukanmu, menyeka peluh dari pelupuk matamu, dan berlari secepat yang kau bisa. Duk… Duk… Duk… suara langkah kakimu di atas susunan kayu dermaga tua ini.
Aku berpaling ke belakang, melihat punggung putihmu dengan gaun pengantin berwarna cokelat muda yang ujungnya terseok-seok kau paksakan berlari.
“Seharusnya, kita memang tidak melakukan pemotretan hari ini..” keluhku dengan pelan, protes dengan angin karena tinggal aku sendirian disini.


“Bukan Alvino yang salah.. telah terjadi kesalahan pada mesin pesawatnya, dan dia tidak bisa mengendalikan itu. Kau tahu, tidak ada pilot yang lebih baik darinya. Seharusnya Nayla tidak memajukan jadwal pemotretan itu.” Ibu paruh baya di hadapanku berbicara dengan sendu sambil mencoba menyeka air matanya yang  hampir jatuh. Nada bicaranya sedih sekali.
Aku menunduk. Seharusnya aku tidak mengiyakan permintaanmu untuk memajukan jadwal pemotretan pre-wedding hari ini, aku membatin.
***

21/12
“Seharusnya, hari ini kita berada di tepi pantai. Menyalami tamu yang datang lalu berterimakasih karena telah hadir, dan melakukan perayaan yang meriah.”
Seonggok tanah basah yang ditaburi banyak bunga itu hanya hening membisu, tak menanggapi.
Angin berhembus cukup ganas, rintik-rintik air dari langit seperti keran dibuka, cukup untuk membuat kuyup seluruh badan dalam hitungan menit. Senja seakan berontak, warna jingga hilang dan berganti awan abu-abu gelap tebal. Sore yang sendu.

0 comments:

Post a Comment

Mar 25, 2013

Seharusnya


06/12
Kau terlihat resah. Perasaanmu seakan gelisah. Gerak tubuhmu kian tidak enak. Sementara pikiranmu, sudah ngalor-ngidul berpikir entah sudah sampai mana. Matamu menerawang, sambil melamun. Hatimu tidak tenang. Ada perasaan aneh yang menggelitik hatimu. Aku risih melihatmu seperti itu. Tentu saja ini mengganggumu. Susunan-susunan kayu ini ber-duk-duk saat sepatu hakmu menghantamnya. Entah sudah berapa kali kau berbalik-balik arah, mondar-mandir.
Kau mencoba berpikir tidak akan ada apa-apa, sambil menunggu. Menunggu sesi ini segera dimulai dan kau dapat cepat pulang dengan perasaan yang plong. Perasaan itu tentunya membuatmu tidak bisa diam, tetapi sungguh, kau terlalu cantik untuk gelisah saat mengenakan baju pengantin. Tidak pernah ada yang seelokmu saat sedang memiliki perasaan kacau.
Aku masih diam, menunggu apa yang akan kau lakukan.
“Al belum datang juga?” katamu, masih dengan perasaan kalut, antara harus melakukan apa dan bagaimana cara agar perasaan resah itu pergi.
Aku menggeleng pelan.
Nyatanya, perasaan itu terus menggerogoti energimu, menyedot seluruh tenagamu hingga kau putuskan untuk bersimpuh duduk di pinggir sisi. Kau lepas sepatu hakmu, memasukkan separuh kakimu dalam air dan seakan terhibur saat ombak menyerbu kakimu. Kau mencoba membunuh waktu.
Gulungan ombak yang menabrak kakimu rasanya membuatmu sedikit lebih tenang. Buih-buih putih diujung pantai kau pandangi dengan nanar, menebak-nebak berapa lama lagi kau akan menunggu.
Aku tersenyum simpul melihatmu seperti ini, atau lebih tepatnya tersenyum prihatin?
Anak-anak rambutmu telah basah tersapu keringat, namun tetap saja terlihat anggun.
Dip… Dip… Dip… bunyi ponselmu yang aneh memecah suasana yang sedari tadi hening.
“Siapa?” tanyaku. Lalu, sepersekian detik berikutnya aku menyesali pertanyaanku tadi. Seharusnya aku diam saja. Akhirnya, tidak mendengar ada jawaban darimu, aku mencoba mendengar angin lewat saja. Mengira-ngira siapa yang memberimu pesan hingga tidak ada waktu untuk menjawab pertanyaanku.
“Ibu..” katamu lirih. Kaca-kaca pada matamu hampir tumpah, tetapi kau tahan. Ada apa!? Kataku, hanya bisa menggerutu dalam hati, membatin. “Sebaiknya kau pulang, Alvino tidak akan datang,” lanjutmu dengan suara sangat pelan. Aku tidak tahu itu sedang membacakan tulisan yang tertera dalam ponselmu atau sedang memberi kalimat perintah untukku. Tetapi, kukira kau sedang membaca pesan yang ada di ponselmu.
Aku ikut gelisah. Sesegera mungkin dan secepat yang aku bisa, aku mengemas semuanya, kamera dan segala tetek-bengeknya ke dalam satu koper besar.
Kulihat wajahmu dengan ekor mataku. Kau mematung. Wajahmu pucat, membisu.
Aku teruskan bereskan semuanya, seakan tahu bahwa segala perabot ini tidak akan berguna hari ini. Bunyi retsleting koper sudah berbunyi lucu, bertanda aku sudah selesai membereskan semuanya.
“Seharusnya kita tidak berada disini!” isakmu sambil memelukku lalu mengeratkannya, dan aku hanya bisa diam membalas pelukanmu. Hanya dengan cara begini, aku tahu kau pilu.
Kau melepas pelukanmu, menyeka peluh dari pelupuk matamu, dan berlari secepat yang kau bisa. Duk… Duk… Duk… suara langkah kakimu di atas susunan kayu dermaga tua ini.
Aku berpaling ke belakang, melihat punggung putihmu dengan gaun pengantin berwarna cokelat muda yang ujungnya terseok-seok kau paksakan berlari.
“Seharusnya, kita memang tidak melakukan pemotretan hari ini..” keluhku dengan pelan, protes dengan angin karena tinggal aku sendirian disini.


“Bukan Alvino yang salah.. telah terjadi kesalahan pada mesin pesawatnya, dan dia tidak bisa mengendalikan itu. Kau tahu, tidak ada pilot yang lebih baik darinya. Seharusnya Nayla tidak memajukan jadwal pemotretan itu.” Ibu paruh baya di hadapanku berbicara dengan sendu sambil mencoba menyeka air matanya yang  hampir jatuh. Nada bicaranya sedih sekali.
Aku menunduk. Seharusnya aku tidak mengiyakan permintaanmu untuk memajukan jadwal pemotretan pre-wedding hari ini, aku membatin.
***

21/12
“Seharusnya, hari ini kita berada di tepi pantai. Menyalami tamu yang datang lalu berterimakasih karena telah hadir, dan melakukan perayaan yang meriah.”
Seonggok tanah basah yang ditaburi banyak bunga itu hanya hening membisu, tak menanggapi.
Angin berhembus cukup ganas, rintik-rintik air dari langit seperti keran dibuka, cukup untuk membuat kuyup seluruh badan dalam hitungan menit. Senja seakan berontak, warna jingga hilang dan berganti awan abu-abu gelap tebal. Sore yang sendu.

No comments:

Post a Comment

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design