06/12
Kau terlihat resah. Perasaanmu seakan gelisah. Gerak
tubuhmu kian tidak enak. Sementara pikiranmu, sudah ngalor-ngidul berpikir
entah sudah sampai mana. Matamu menerawang, sambil melamun. Hatimu tidak
tenang. Ada perasaan aneh yang menggelitik hatimu. Aku risih melihatmu seperti
itu. Tentu saja ini mengganggumu. Susunan-susunan kayu ini ber-duk-duk saat
sepatu hakmu menghantamnya. Entah sudah berapa kali kau berbalik-balik arah,
mondar-mandir.
Kau mencoba berpikir tidak akan ada apa-apa, sambil menunggu.
Menunggu sesi ini segera dimulai dan kau dapat cepat pulang dengan perasaan
yang plong. Perasaan itu tentunya membuatmu tidak bisa diam, tetapi sungguh,
kau terlalu cantik untuk gelisah saat mengenakan baju pengantin. Tidak pernah
ada yang seelokmu saat sedang memiliki perasaan kacau.
Aku masih diam, menunggu apa yang akan kau lakukan.
“Al belum datang juga?” katamu, masih dengan
perasaan kalut, antara harus melakukan apa dan bagaimana cara agar perasaan
resah itu pergi.
Aku menggeleng pelan.
Nyatanya, perasaan itu terus menggerogoti energimu,
menyedot seluruh tenagamu hingga kau putuskan untuk bersimpuh duduk di pinggir
sisi. Kau lepas sepatu hakmu, memasukkan separuh kakimu dalam air dan seakan
terhibur saat ombak menyerbu kakimu. Kau mencoba membunuh waktu.
Gulungan ombak yang menabrak kakimu rasanya
membuatmu sedikit lebih tenang. Buih-buih putih diujung pantai kau pandangi
dengan nanar, menebak-nebak berapa lama lagi kau akan menunggu.
Aku tersenyum simpul melihatmu seperti ini, atau
lebih tepatnya tersenyum prihatin?
Anak-anak rambutmu telah basah tersapu keringat,
namun tetap saja terlihat anggun.
Dip… Dip… Dip… bunyi ponselmu yang aneh memecah
suasana yang sedari tadi hening.
“Siapa?” tanyaku. Lalu, sepersekian detik berikutnya
aku menyesali pertanyaanku tadi. Seharusnya aku diam saja. Akhirnya, tidak
mendengar ada jawaban darimu, aku mencoba mendengar angin lewat saja.
Mengira-ngira siapa yang memberimu pesan hingga tidak ada waktu untuk menjawab
pertanyaanku.
“Ibu..” katamu lirih. Kaca-kaca pada matamu hampir
tumpah, tetapi kau tahan. Ada apa!?
Kataku, hanya bisa menggerutu dalam hati, membatin. “Sebaiknya kau pulang,
Alvino tidak akan datang,” lanjutmu dengan suara sangat pelan. Aku tidak tahu
itu sedang membacakan tulisan yang tertera dalam ponselmu atau sedang memberi
kalimat perintah untukku. Tetapi, kukira kau sedang membaca pesan yang ada di
ponselmu.
Aku ikut gelisah. Sesegera mungkin dan secepat yang
aku bisa, aku mengemas semuanya, kamera dan segala tetek-bengeknya ke dalam
satu koper besar.
Kulihat wajahmu dengan ekor mataku. Kau mematung.
Wajahmu pucat, membisu.
Aku teruskan bereskan semuanya, seakan tahu bahwa
segala perabot ini tidak akan berguna hari ini. Bunyi retsleting koper sudah
berbunyi lucu, bertanda aku sudah selesai membereskan semuanya.
“Seharusnya kita tidak berada disini!” isakmu sambil
memelukku lalu mengeratkannya, dan aku hanya bisa diam membalas pelukanmu.
Hanya dengan cara begini, aku tahu kau pilu.
Kau melepas pelukanmu, menyeka peluh dari pelupuk
matamu, dan berlari secepat yang kau bisa. Duk… Duk… Duk… suara langkah kakimu
di atas susunan kayu dermaga tua ini.
Aku berpaling ke belakang, melihat punggung putihmu
dengan gaun pengantin berwarna cokelat muda yang ujungnya terseok-seok kau
paksakan berlari.
“Seharusnya, kita memang tidak melakukan pemotretan
hari ini..” keluhku dengan pelan, protes dengan angin karena tinggal aku
sendirian disini.
“Bukan Alvino yang salah.. telah terjadi kesalahan
pada mesin pesawatnya, dan dia tidak bisa mengendalikan itu. Kau tahu, tidak
ada pilot yang lebih baik darinya. Seharusnya Nayla tidak memajukan jadwal
pemotretan itu.” Ibu paruh baya di hadapanku berbicara dengan sendu sambil
mencoba menyeka air matanya yang hampir
jatuh. Nada bicaranya sedih sekali.
Aku menunduk. Seharusnya
aku tidak mengiyakan permintaanmu untuk memajukan jadwal pemotretan pre-wedding
hari ini, aku membatin.
***
21/12
“Seharusnya, hari ini kita berada di tepi pantai.
Menyalami tamu yang datang lalu berterimakasih karena telah hadir, dan
melakukan perayaan yang meriah.”
Seonggok tanah basah yang ditaburi banyak bunga itu
hanya hening membisu, tak menanggapi.
Angin berhembus cukup ganas, rintik-rintik air dari
langit seperti keran dibuka, cukup untuk membuat kuyup seluruh badan dalam
hitungan menit. Senja seakan berontak, warna jingga hilang dan berganti awan
abu-abu gelap tebal. Sore yang sendu.
0 comments:
Post a Comment