Seorang wanita yang mereka juluki ‘gila’ karena
tingkah lakunya yang selalu tidak wajar. Dia akan selalu lari setiap sabtu
malam mengelilingi lapangan bola selama 8 kali dan akan pulang setiap pukul
20.30. Cekungan pada matanya begitu hitam dan selalu terlihat seperti sehabis
menangis. Ritual seperti itu sudah berlangsung hampir selama 8 bulan lamanya.
Orang tuanya yang sudah mencoba melakukan segala macam cara pasrah menerima
anaknya yang seperti tidak memiliki dunia itu.
Dia hanya akan keluar kamar setiap ingin makan atau
sekedar mengambil cemilan saat dia bosan. Ketika dia merasa jenuh dengan
kondisi yang dia lakukan, dia akan pergi ke toko bunga miliknya yang megah di
seberang jalan rumahnya. Dia hanya akan memperhatikan dan menyirami bunga-bunganya.
Sedangkan segala urusan sudah dipegang kendali oleh sepupunya, Diana. Masih
semenjak 8 bulan yang lalu dia tidak pernah tersenyum saat melihat warna ungu
bermekaran pada bunganya, tidak seperti dulu.
Tidak ada yang tahu dan tidak ada satupun yang menyadari
bahwa segalanya berawal ketika dunia tidak lagi melanjutkan kisah mereka.
Rupanya, Tuhan lelah melukis takdir mereka.
Tidak ada satu orang pun yang mengerti, bahwa jutaan
titik air mata yang mengalir bahkan saat ia diam, hanya karena dunia enggan menyatukan
mereka lagi—kematian.
Tidak ada seorang yang paham, bahwa kebiasaannya
berlari setiap sabtu malam sebanyak 8 kali adalah suatu keharusan yang tak
dapat juga ia tinggalkan. Tidak seorang pun yang paham, bagaimana dia harus
menahan hari-hari kelabu tanpa sosok itu.
Dia tidak akan tertarik ketika diajak berbicara. Dia
akan menghabiskan banyak waktu untuk melamun dan berdiam diri.
Dan tidak ada yang tahu, bahwa saat dia mengenakan
gaun berwarna ungu yang selalu sama setiap tanggal 8 tepat pada pukul 20.30
adalah suatu rutinitas yang harus dijalaninya agar sosok ‘dia’ selalu terasa
tetap ada.
***
Lelaki itu selalu bersama Violetta setiap sabtu
malam. Mereka akan menghabiskan waktunya dengan lari mengelilingi lapangan bola
sambil mengobrol tentang segala hal. Violetta akan selalu nampak istimewa pada
saat-saat seperti ini. Mereka tidak akan kehabisan bahan obrolan, mereka akan
membahas tentang hal-hal kecil yang jarang dibicarakan orang pada umumnya.
Mereka selalu tampak konyol bermalam-mingguan di lapangan bola dan akan selalu
pulang tepat pada pukul 20.30. Penjaga sekaligus petugas kebersihan di lapangan
bola tersebut sudah hapal sekali kebiasaan mereka.
Setiap tanggal 8 mereka akan merayakan hari jadi
mereka itu di sebuah café atau tempat-tempat lain dengan berjanjian di lapangan
bola terlebih dahulu. Mereka lebih suka tempat yang ramai, karena mereka sangat
senang berbicara di tengah kerumunan orang-orang, karena mereka menganggap itu
ujian berbicara dan mendengar dengan fokus. Terlalu konyol bila dijelaskan
secara lengap, mereka selalu bilang ‘sudah, tidak usah dipikirkan’.
Mereka tidak pernah bergandengan tangan ataupun
berpelukan. Mereka akan sama-sama berjalan beriringan, tetapi sama-sama menjaga
jarak pula. Mereka terlalu munafik untuk memberanikan diri.
Terkadang, mereka akan berdiam sangat lama hanya
untuk menikmati pemandangan ketika mereka pergi ke suatu tempat asing. Bukan.
Bukan karena mereka terlalu terpesona, tetapi mereka sedang berpikir dimana
waktu yang tepat kapan jemari itu akan saling menyatu membentuk satu-kesatuan
yang elok. Namun, mereka terlalu malu untuk saling memulai.
Mereka diam karena mereka sama-sama tau, bahwa hati
mereka sedang bersahutan berbicara tentang isi hati masing-masing. Karena
cinta, bukan sekedar kata-kata manis belaka.
Tuhan menambah tokoh lelaki pada goresan-goresan
lukisan takdir Violetta, dengan menghapus lelaki yang sebelumnya ada. Tidak ada
yang pernah mengira kapan Tuhan akan menghapus seseorang dalam hidup. Tuhan
punya hak atas semua itu. Dan ketika waktunya tiba, tidak ada yang dapat
mengembalikan seseorang tersebut selain merelakannya.
Rasa tak rela itu yang menjadikan Violetta
terus-menerus berontak tak terima.
Violetta benci saat-saat jantungnya berdebar kencang
dan gelisah. Ia tahu, malam itu akan terjadi sesuatu, maka ia memutuskan untuk
tidur, berharap debar jantungnya dan gelisahnya akan sirna saat bangun tidur
nanti.
Malam itu hujan, Violetta tidak menjawab panggilan
masuk Aga. Hampir selama 2 jam Aga terus menelepon ke ponsel Violetta, tetapi tidak
menjawabnya.
“Aku lagi di jalan ke Surabaya, don’t miss me,
Oleee.” Bunyi pesan singkat yang dikirim Aga karena Violetta tidak juga bangun
saat dihubungi oleh Aga.
Violetta terbangun, tubuhnya berkeringat banyak
sekali dan jantungnya masih berdebar kencang. Lalu, ia menangis. Sangat lama.
Hingga ia baru sadar ada LED merah berkedap-kedip dari ponselnya. Gemuruh hujan
dari balik jendela dan angin yang berhembus kencang meraba seluruh tubuh
Violetta yang mati rasa. Sekejap ia terdiam, cukup lama sehabis fokus dari
ponselnya yang LED-nya sekarang tidak berkedap-kedip lagi. Ia terpaku dan
kembali menangis. Keringat dingin di tubuhnya mengucur lagi. Kali ini suara
tangisannya mengeras, cukup untuk membangunkan seluruh isi rumah. Ibunya yang
sudah paruh baya memeluknya erat. Ia merengkuh Violetta yang hampir tidak
sanggup lagi mengatur napasnya dengan benar.
Firasatnya.
Iya, firasat keji itu. Yang selalu membuat
jantungnya berdebar dan gelisah. Ia benci mengapa Tuhan memberinya kelebihan
seperti itu. Ia tidak ingin tahu siapa yang akan pergi, tetapi ia merasakannya.
Padahal, ia sama sekali tidak ingin merasakan hal menyakitkan itu. Baginya,
kelebihan seperti itu sangatlah percuma dan melelahkan. Ia tahu, tetapi ia
tidak bisa merubahnya.
Sekitar pukul 03.45 sebuah panggilan masuk di ponsel
Violetta, kebetulan semua orang rumah masih berjaga-jaga di kamar Violetta,
terutama ibunya yang memomong Violetta agar tidur kembali dan mencoba mengusir
kegelisahannya.
Ibunya mengambil secara perlahan sumber getaran
ber-dert di atas meja kecil di samping kasur Violetta. Ia langsung menekan
tombol hijau yang bergambar telepon saat yang tertera di layar ponsel adalah
nama Aga. Lalu dengan suara pelan menerima panggilan masuk di ponsel Violetta.
“Baik pak, terimakasih.” Ia mengakhiri obrolan
singkat dan memijat tomblo merah.
Ibu paruh baya itu menunduk, lalu setetes demi
setetes air matanya mengalir yang tidak sengaja mengenai wajah Violetta, tak
tunggu lama Violetta bangun dengan wajah terheran-heran sambil mengumpulkan
nyawa karena baru terlelap sebentar.
“Aku udah gak deg-deg-an lagi kok, bu.”
“Ibu tau, karena sekarang Aga udah sampe di rumahnya..”
“Maksud ibu?”
“Tadi Aga telpon, tapi yang ngomong polisi.. Ada
kecelakaan dan Aga salah satu korbannya..” ibu yang usianya sudah lanjut itu
menunduk saat bercerita, takut menyakiti hati anak bungsunya.
Violetta membisu.
***
Violetta mengunci kamarnya saat sebelumnya ia
kelelahan karena menulis banyak sekali di toko bunganya. Entah apa yang
ditulisnya. Yang pasti bertumpuk kertas ia bawa sebagai oleh-oleh saat sampai
rumah.
“Ibu mau cari psikolog buat nyembuhin Vio..”
“Temen bapak ada yang tau dimana kita harus cari.”
Suara lelaki tangguh itu bersemangat.
Lebih dari kekhawatiran seorang ibu, Pak Gio—ayah
Violetta—adalah
yang hampir tidak pernah malu-malu meneteskan air matanya saat melihat Violetta
tidak ingin makan selama seharian atau saat Violetta menangis merengkuhnya erat
sambil meracau tentang Aga.
Tetapi, tidak pernah sekalipun Violetta meninggalkan
sholat. Ia tahu Tuhan itu adil dan berhak untuk mengambil apapun titipannya di
dunia ini, tetapi ia tetap belum menerima kematian itu. Ia tetap belum bisa
menerima kelebihannya ketika ia memiliki firasat buruk. Firasatnya sangat
manjur dan hampir tidak pernah salah. Tetapi, Tuhan tahu mana yang lebih baik,
untuk hamba-Nya yang baik.
Malam ini tanggal 8. Tepat pada pukul 20.30 seorang
pria datang dengan mengenakan kaos oblong berwarna bitu muda dan sepatu casual
yang cukup enak dipandang. Ia mengetuk pintu dengan lumayan keras. Cukup untuk
membuat Violetta keluar kamar dan membukakan pintu dengan sangat pelan.
Jantungnya berdebar, tapi ia sama sekali tidak gelisah. Siapa dia? Batin Violetta menyahut. Violetta terpaku beberapa saat.
Hening.
“Sopo, nduk?”1
Violetta menggeleng pelan. “Aku harus pergi.”
“Bukankah tujuan kita sama? Lapangan bola?”
Violetta terdiam sekejap, lalu ia membuang pandangan
dan pergi begitu saja.
“Ole, tunggu!”
Violetta menghentikan langkah kakinya. Gaun ungunya
tertiup angin dingin yang menusuk kulit. Rintik-rintik hujan mulai turun dan
sekarang sudah sangat telat bagi Violetta untuk kesana. Violetta bingung, baru
kali ini dia memiliki perasaan seperti ini, apakah dia masih harus kesana hanya
untuk berharap Aga akan disana, menunggu sambil mengayun-ngayunkan kakinya di
atas tempat duduk yang disediakan di sekeliling lapangan bola ketika Violetta
belum juga datang. Violetta suka melihat pemandangan konyol itu, terlebih wajah
Aga yang sangat tegang saat tau Violetta sudah datang.
Violetta melangkahkan kakinya kembali ke rumahnya.
Ia abaikan pria yang sama sekali tidak ia kenal itu.
“Mengapa tidak ke lapangan?”
Langkah Violetta terhenti oleh ucapan itu, “Karena
aku tidak biasa dijemput oleh Aga. Dia akan menungguku disana, tidak kemari.
Hanya setiap tanggal 8. Dan dia tidak suka memakai kaos berwarna cerah.”
***
“Life goes on and you’ve to move on, Vio.”
“Apa yang dilakukan mereka?”
“Mereka?”
“Orang yang putus asa..”
“Mereka berusaha untuk menjadi ‘baru’. Mereka akan
lebih bijak melihat hidup, akan lebih menghargai apa yang mereka punya,
memperbaiki kesalahan, dan mereka berdiri tegap tanpa bantuan, tanpa bimbingan.
Mereka tetap bernapas. Mereka…”
“Apa mereka bahagia setelah itu?” Violetta memotong
suara Dino yang berkobar-kobarkan semangat Violetta dengan lembut, tidak
seperti yang ia lakukan kepada pasien-pasien lainnya.
“Itu pilihan mereka, aku tidak bisa menjamin.
Tetapi, setahuku semua orang ingin bahagia dan mereka akan berusaha untuk itu.”
Bagi Dino, memakai kaos oblong setiap tanggal 8
adalah perbuatan yang konyol. Sudah 3 kali atau sama saja dengan 3 bulan ia
melakukan itu terus-menerus. Ia akan membicarakan hal konyol seperti tidak
kebanyakan orang pada umumnya. Seorang psikolog memang selalu memiliki
tantangan untuk mengatasi masalah pasien. Tetapi, Violetta berbeda dari
pasiennya yang lain. Ia tidak ingin digandeng atau dipeluk. Ia hanya ingin
sama-sama terdiam dalam hening dan mendekap tubuh masing-masing saat hujan.
Tidak ada ritual pria yang memakaikan jaketnya saat hujan kepada si wanita.
Lari setiap sabtu malam membuatnya harus beristirahat total di kamarnya dengan
tisu bekas dipenuhi lendir dari hidungnya. Panggilan Ole di telinga Dino sangat
aneh dan tidak enak, maka ia tetap memanggil Violetta dengan Vio.
Itu semua memotivasinya untuk terus membuat Violetta
bangun dari kasur empuknya dan segera mencuci wajahnya. Agar ia tahu dan sadar,
bahwa Violetta dan Aga sudah tidak tinggal di dunia yang sama.
Hingga senja kali ini, Dino dan Violetta
menghabiskan waktu di tengah danau memakai perahu. Bukan jam 20.30 pada tanggal
8, tetapi tanggal… ah sudahlah, tidak perlu mengingat jam berapa hal ini
terjadi.
Mereka mengobrol dengan tenang, Dino sambil mengayuh
perahu, dan Violetta dengan pikirannya yang Dino tau pasti banyak sekali
menyimpan pertanyaan. Dino tau Violetta melakukan ini hanya untuk mencoba
berhenti bermimpi dengan bayangan Aga.
Hanya Dino yang tau, bagaimana gemetar tangan
Violetta saat Dino mencoba menggandengnya. Saat tahu Violetta ketakukan, ia
melepaskannya lalu bilang, “Aku hanya bercanda.”
Lalu dengan segala keterbalikan pribadi Dino dengan
sesosok Aga yang Violetta anggap sempurna, Violetta merasa baru. Merasa
dilahirkan kembali, menjadi wanita periang dan pemberani. Mendapat pengganti
sosok pria yang sebelumnya telah Tuhan hapus dalam lukisan takdirnya. Akhirnya,
Tuhan memberinya waktu yang indah dan kembali meneruskan melukis takdir
Violetta di lembaran baru berwarna putih polos, bukan Violetta yang memakai
gaun ungu setiap tanggal 8 atau Violetta yang selalu lari di sabtu malam
bersama Aga. Tetapi, Violetta yang selalu mengenakan pakaian dengan warna yang
berbeda setiap ada kesempatan bertemu dengan Dino, Violetta yang selalu
berkeliling ke tempat-tempat baru—bukan hanya di lapangan
bola, Violetta yang tangannya selalu digandeng saat berjalan beriringan. Tentu
saja dengan Dino.
“Kau tidak perlu takut, kau tidak sendiri, dan aku
akan selalu berada di setiap gerak bayangan tubuhmu. Aku akan disitu. Kau tidak
perlu melihatku, kau hanya perlu menutup matamu dan bayangkan bahwa aku ada,
maka aku ada di setiap bayangan tubuhmu. Kau harus ingat itu.” Dino tersenyum
saat mengatakan kata-katanya.
Violetta mengeratkan genggaman tangan kanannya di
tangan kiri Dino. Jantungnya berdebar. Kali ini bukan karena Aga atau
firasatnya yang jitu, tetapi karena ucapan Dino.
THE
END
1Siapa nak?
Created by Fara
Dwitya
0 comments:
Post a Comment