Lalu, aku mencoba berpikir kembali, mengobrak-abrik
memori otakku dan terus mencari ingatan yang sepertinya telah hilang.
Aku terbengong beberapa saat, hingga waiter
mengagetkanku dengan sebuah bill di tangannya. Aku lantas membayar dan pergi
dari tempat itu, meninggalkan segala pikiran meracauku yang entah sudah sampai
mana kucoba pikirkan. Tidak tunggu lama, aku langsung menuju parkiran menjemput
mobilku untuk pulang.
Aku membiarkan tubuhku telentang di atas kasur empuk
nan lebar, yang sama saja membiarkan pikiranku mengingat-ngingat kembali
kejadian hari ini. Memoriku berhenti pada suatu peristiwa; perempuan di kafe
tadi.
Penasaranku begitu besar hingga aku berpikir keras
dan terbayang oleh wajahnya, perempuan tadi bergelayut hebat di setiap ruang
dalam pikiranku, sekarang. Entah dari memori mana di bagian otakku yang
menyimpan banyak sekali gambaran perempuan tersebut, hingga aku selalu
mengingatnya.
“Kau masih suka bermimpi tentang perempuan itu?”
Aku mengangguk pelan. Kalau saja dia bukan Tiffany—tunanganku,
aku pasti sudah marah karena dia telah lancang masuk ke kamarku tanpa permisi.
“Sebaiknya kau ikut terapi yang kuanjurkan.”
Aku hanya diam. Selalu itu yang dikatakannya. Ia
selalu menganggap kecelakaan bus yang ku tumpangi 2 tahun lalu adalah penyebab
perempuan itu terus saja datang dalam mimpi-mimpiku. Aku tidak pernah peduli
tentang terapi ingatan yang dianjurkannya.
Tidak pernah ada satupun orang yang mengakatannya
padaku, bahwa aku hilang ingatan ketika kecelakaan tersebut, itu menandakan
ingatanku baik-baik saja. Lalu, tunanganku yang baru kukenal 6 bulan
menganjurkanku untuk terapi ingatan, aku sama sekali tidak tertarik.
***
Senja ini aku duduk termangu di halte bus, entah apa
yang merasukiku hingga aku ingin sekali naik bus untuk pulang. Keadaannya cukup
lengang untuk jam pulang kerja seperti sekarang.
“Kau masih belum mengingatku?” Perempuan itu menghembuskan
asap rokok yang menyembul dari bibir merahnya. Aku bahkan sempat berpikir darimana
dia dapatkan bibir merah itu sedangkan dia seorang perokok. Aku sangat familiar dengan perempuan ini, perempuan
dalam mimpiku.
“Kau mengenalku? Lalu mengapa saat di kafe kau
seperti melihat orang asing?”
“Kau tahu, ada beberapa ingatan yang sangat ingin
kita lupakan, aku sedang berusaha untuk itu.” Perempuan itu mematikan rokoknya,
lalu membuangnya. Matanya menerawang.
“Sorry?”
“Aku sedang berusaha untuk melupakanmu, Alfa. Tetapi,
aku selalu gagal. Untuk apa mengingat orang yang tidak mengingatku? Kau selalu
menunggu di halte bus ini. Kau akan datang setiap senja. Kau akan melambaikan
tanganmu saat melihat bus yang menampungku datang. Lalu kita akan pulang
bersama, kau harus naik bus 2 kali hanya untuk memastikan aku sampai di rumah.”
Keran air matanya seperti dibuka, hingga bulir-bulir air matanya deras sekali
turun.
“Kita?”
“Sepasang tunangan yang kala itu sangat mendambakan
pernikahan. Kau tahu bagaimana rasanya dilupakan? Itu menyakitkan. Kalau saja
aku bernasip sama sepertimu saat kecelakaan 2 tahun lalu itu terjadi. Kau hanya
lupa padaku, dokter memastikan itu, dan orang tuamu kusuruh merahasiakannya.
Hingga kusuruh Tifanny mendekatimu, dia adalah sepupuku.”
Tiba-tiba saja aku mengalami sakit kepala yang
begitu hebat, hingga tidak mampu sadarkan diri.
Aku membuka mataku yang agak berat perlahan.
“Crista?”
“Apa?” Dia kaget.
“Crista?”
“Kau sudah kembali ingat?”
“Memang sejak kapan aku lupa?”
Perempuan itu memelukku dengan erat. Air matanya
membahasi tengkukku. Aku membalas pelukannya.
Ini lanjutan #FlashFictionBersambung Perempuan Dalam Mimpi Eps. 1 kak @benzbara_ (bisa dibuka di sini)
Tapi, yang menghancurkan hati banget itu bukan karena gak menang, karena belum ikut berpatisipasi dalam lombanya karena telat ngirim post ini:') please bang @benzbara_ baca post-an aku ini kek :")
0 comments:
Post a Comment