Hari ini Ibu meracau dengan seisi rumah lagi. Seakan
tembok, koleksi piring tua dalam lemari-lemari kecil disetiap sudut rumah
miliknya, kursi dari kayu jati, dan semua isi rumah ini harus tahu apa yang dia
rasakan.
“Oh, dia adalah Drama King untuk memilih masa
lalunya dibanding aku.”
Tidak, Ibu tidak gila. Separuh jiwanya hanya belum
bisa menerima perpisahan itu. Bahkan setiap detak jantungnya selalu memanggil
nama Ayah untuk kembali, jika bisa.
Aku sendiri hanya bisa menahan senyum. Bagiku itu
lucu, bagaimana wanita 39 tahun bisa begitu kekanakan sepertinya. Bahkan,
terkadang Ibu merajuk kepadaku, menceritakan keluh kesahnya yang terpendam.
Kebiasaannya meracau muncul ketika mimpi buruk itu
nyata untuk kami—aku dan Ibuku. Suatu sore di bulan
Desember, Ayah pulang dengan wajah muram lalu berbicara serius dengan Ibu. Dia
menggenggam tangan Ibu yang lemas. Badan Ibu sudah limbung sejak Ayah berkata
yang aku tidak tahu, aku hanya mengintip dari lubang kunci pintu dan suara
mereka terlalu kecil untuk kudengar.
Aku tahu Ayah mencintai Ibuku dengan segala jiwa raganya.
Aku mengerti dari cara Ayah menatap, mengusap ujung kepala Ibu, mencium
keningnya, menggoda Ibu saat dia sedang berpura-pura marah. Tapi, sore ini Ayah
seperti kehilangan cintanya, entah tertinggal atau jatuh dimana cinta itu
kepada Ibu. Aku menatap mata Ayah dalam, dan binar itu sudah tidak ada. Sudah
terganti. Terganti oleh entah siapa. Binar untuk Ibu sudah hilang entah kemana.
Dan sejak itu, Ayah pergi dan tidak pernah pulang. Aku
benci mengakui ini, tapi aku selalu rindu ketukan pintu yang merdu dari tangan
Ayah, pelukan hangat yang dia berikan untukku. Ayah meninggalkan beberapa tanya
yang aku tidak tahu jawabannya; Apakah rumah baginya bukan aku dan Ibu lagi?
Apakah cinta itu sekarang memiliki rumah yang baru?
Suatu pagi, Ibu bercerita panjang lebar dengan mata
pandanya yang tak kunjung hilang dan pipi yang basah dengan air mata. Bahwa
Ayah pergi dengan sebuah alasan. Aku tidak berhak membenci Ayah, bahkan untuk
bertanya ‘Kenapa?’ aku tidak boleh. Dia sudah memilih dan memutuskan. Bahwa
Ayah hanya pulang ke tempat dimana cintanya berada. Cinta yang tertinggal di
masa lalu. Aku dan Ibu hanya tempatnya berteduh dari luka. Luka yang sengaja
dia tekan agar tidak terlihat. Dan, sore di bulan Desember itu, Ayah menemukan
kembali cintanya. Cinta yang belum sempat Ayah selesaikan.
Jangan tanya kenapa aku dan Ibuku tidak membenci
Ayah. Karena, cinta yang tertinggal di masa lalunya lebih menderita dari kami,
lebih nelangsa daripada rajukan Ibu setiap mengingat Ayah, dan lebih miris dari
goresan luka di hati Ibu. Tetapi jangan bilang kami menerima itu semua, karena dalam
relung jiwa kami yang paling dalam, kami sangat butuh Ayah.
Ayah mengajarkan aku kepada negeri antah berantah.
Negeri yang memberinya teori betapa masa lalu dapat membutakannya dari dunia
nyata menjadi persinggahan paling sempurna untuk pulang. Dimana senyum akan
selalu tertoreh, dan kenangan sebagai lagu pengantarnya.
Ibu mengajarkan aku untuk tidak pernah menyerah,
tidak pernah merasa kehilangan, karena Ayah selalu tetap ada disana. Di sudut dalam
hatinya.
Aku pernah marah kepada Ibu dan berkata padanya
kenapa membiarkan Ayah pergi. Dan dia menjawab, “Kamu tahu enggak, kenapa ada
novel tunjuk satu bintang?” aku menggeleng dan Ibu meneruskan, “Karena enggak
mungkin ada dua bintang di hati seseorang. Dan Ibu tahu, bintang di hati Ayah
bukan Ibu.”
Di umur 13 tahun, orangtuaku sudah memaksaku
mengerti konflik antara hati mereka. Tetapi, aku mengerti. Bahkan aku selalu
memeluk Ibu ketika dia tidak berhenti menangis hingga larut malam. Aku sedih,
tetapi tidak mungkin ada dua wanita lemah, maka aku yang harus menghentikan
tangisku dan berdiri kembali dari jatuhku, menyediakan bahu yang nyaman untuk
Ibu.
Tahu kenapa aku tidak menangis? Karena saat aku
kecil, ketika lututku berdarah Ayah mengusap air mataku, memelukku dan berkata,
“Jangan menangis lagi. Perempuan lahir untuk bahagia, bukan untuk menangis. Menangis
jika kamu adalah satu-satunya orang yang sakit, ketika yang lain juga merasakan
apa yang kamu rasakan bahkan lebih parah, maka hentikan tangismu, sakitmu tidak
sebesar sakit yang lain.”
Tetapi, aku tetap saja aku. Aku pernah menangis
ketika aku sangat merindukan Ayah. Ibuku datang dengan senyum, duduk
disebelahku. Mengusap-ngusap punggungku selama 2 jam lebih hingga aku berhenti
menangis. Dia diam. Sunyi merayapi setiap detik di antara kami. Lalu, dia malah
tertawa. Keras sekali. Lalu saat dia berhenti, aku merasa Ibuku sudah gila,
tetapi setelah itu dia berkata, “Mau Ibu ajari cara tersenyum saat ingin
menangis?” aku semakin tidak mengerti. Aku hanya mendengarkannya saja.
“Kamu harus tarik napas dalam dan pikirkan semua
kebahagiaan yang kamu rasakan. Ketika air mata itu sudah ingin jatuh, kamu
harus mendongak sedikit dan bilang pada dirimu sendiri ‘kebahagiaanku lebih
banyak daripada sakitku’ lalu lepaskan saja senyuman itu. Tetapi, kalau kamu
malah menangis lebih keras, maka menangis saja, itu menandakan sakitmu lebih
kamu pelihara daripada kebahagiaanmu. Jadi, rileks saja. Toh, Ibu juga lebih
sering gagal.”
“Tetapi..” kali ini suara Ibuku merendah, “ketika
kamu melihat orang lain menangis, atau mengingat betapa masih banyak orang yang
lebih sakit daripada yang kamu rasakan, tangis itu akan berhenti dengan
sendirinya, atau kebahagiaan itu sudah kembali mengendalikanmu. Itu tentang
pengendalian diri saja, antara mana yang kamu pilih, terus sakit atau bahagia.”
Aku mengangkat satu alisku, “Tapi Ibu bilang, Ibu
lebih sering gagal, tadi kenapa ketawa?”
“Rasanya tidak pantas ikut menangis ketika seseorang
butuh kehangatan, bukannya tangisan yang lain.”
Aku tahu kalimat itu sudah menghangatkan jiwaku,
rasanya aku seperti mendapat kebahagiaan baru, ternyata Ibu lebih dewasa
daripada perkiraanku. Walaupun aku tahu Ibu seperti awan yang kehilangan
pelanginya, tetapi sungguh, awan bisa mengendalikan dirinya tanpa pelangi kan?
Walau terkadang dia terlalu tidak biasa tanpa pelangi.
***
Kenyataan indah lainnya adalah aku masih punya Dio
yang orangtuanya utuh dan menyayangiku seperti mereka menyayangi Dio. Dan Dio
sendiri yang kalian bisa tebak, menyayangiku dengan sangat, sangat, sangat.
Kami bersahabat? Lebih dari itu, tapi juga bukan
sepasang kekasih. Aku butuh Dio dan Dio butuh aku. Just as simple as that.
Aroma blue
emotion Dio yang samar tetapi mampu membuat hatiku menghangat. Aroma strawberry-ku yang Dio bilang norak
karena bau permen karet tapi selalu berhasil buat dia kangen dan tidak tahan
jika sehari saja tidak ada aroma strawberry.
Kami berteman bahkan sejak kami sama-sama menangis
ketika dilahirkan, tentu saja kami sudah mengenal masing-masing dari kami.
Bahkan aku dan Dio sudah tahu berapa jumlah kedipan mata yang kami lakukan
dalam 1 menit. Jangan kaget, kami memang menghitungnya.
Dan sekarang saat kami baru saja merayakan kelulusan
SMP, Dio akan pergi meninggalkan aku sendiri disini. Menorehkan satu lagi
‘goodbye’ dalam hatiku yang terucap dari orang yang paling aku sayang. Sekarang
tidak ada lagi, “Yaya, manjat pohon jambunya Pak Toto yuk!” atau “Yaya ayuk ke
warung roti bareng Yoyo, kita naik sepeda baru Yoyo yang ada boncengannya!”
Warung Roti adalah kedai kecil milik Ibuku di
persimpangan ujung jalan rumah kami. Aku dan Dio setiap hari pergi kesana,
mengendap-ngendap di dapur hanya untuk mencium aroma roti yang baru keluar dari
panggangan. Lalu salah satu pegawai Ibu akan tertawa-tawa kecil ketika
menyadari ada kami, setelah itu kami akan diberi roti gratis berisi keju, roti
favorit kami.
Kebiasaan kami selalu diketahui Ibu, tapi dia
pura-pura tutup mata.
“Jadi mulai hari ini Keira bakal nyumput di dapur
warung sendirian? Dionya kan mau pergi..” kataku nelangsa akan ditinggal pergi
Dio.
“Enggak! Yoyo selalu temenin Yaya dimanapun Yaya
pergi. Yoyo kan selalu di hati Yaya, Yaya inget itu kan?”
Aku mengangguk lemas. Menunduk. Aku selalu menjadi
anak kecil jika dengan Dio. Berbeda ketika aku harus berhadapan dengan Ibu. Yoyo
selalu memberiku tempat untuk menjadi aku yang sebenarnya, membuatku merasa
menjadi diriku adalah yang terbaik. Bukan berarti Ibu tidak memberikanku tempat
untuk menjadi kekanakan, tetapi aku yang refleks merubah sikap dan sifatku
ketika bersama Ibu. Senyum lembut Ibu selalu membuatku berusaha mengikuti arus
dirinya yang sebenarnya lemah seperti kertas yang rentan akan robekan namun
berpura-pura setegar karang.
Anak rambutku tertiup angin. Hening. Sekarang aku
merasa seperti akan kehilangan sebagian jiwaku, terbawa angin yang akan membawa
Dio pergi dari sini. Aku benci perasaan kehilangan. Aku ingin Dio tetap disini.
Kerumahku setiap hari, dan selalu ada yang memanggilku ‘Yaya’ dan ada yang
selalu kupanggil ‘Yoyo’.
Dio akan pindah ke Malang. Tuntutan pekerjaan
Ayahnya memaksanya untuk menurut saja, karena tidak ada pilihan lain.
Sebenarnya, Dio bisa saja dititipkan bersama aku dan Ibuku, namun melihat
kondisi keluargaku yang, yah begitulah, mereka jadi segan dan enggan menitipkan
Dio, walaupun Ibuku sudah menawarkan diri untuk menjaga Dio. Aku tahu walau Ibu
terlihat ikhlas, Ibu sebenarnya takut keteteran juga, mengurusku saja sudah
bikin dia sering terkena migraine—pusing
kepala sebelah, karena ulahku. Belum lagi Warung Roti, lalu ada satu tuyul
kecil macam Dio ingin menumpang sampai entah kapan. Bisa-bisa Ibuku vertigo. Jadi, dengan sopan keluarga Dio
menolak tawaran Ibu. Ada tatapan yang seperti berkata ‘oh sudahlah, kami tahu
kau banyak masalah, dan kalau kami menitipkan Dio mungkin masalah itu akan
bertambah runyam’ diantara mereka. Aku mengerti tatapan itu.
Hari ini Dio sudah dipastikan akan pergi sampai
entah kapan. Dan apa yang harus kulakukan setelah ini? Mengendap di dapur
warung ibu sendirian? Bersepeda sendirian? Atau memanjat pohon jambu Pak Toto
sendirian? Semua-muanya tanpa Dio adalah kesendirian bagiku.
Yang sudah dipastikan adalah, setelah hari ini tidak
akan sama tanpa Dio.
Dio membuatku kaget, “Tunggu Yoyo ya, Yaya. Nanti
Yoyo bakal balik lagi, kesini, buat Yaya.” Dio tersenyum. Lalu memelukku erat. Aku
tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Aku hanya harus menunggunya kan?
Beberapa saat setelah dia balik badan, dia kembali lagi dan…
Cup!
Dio mencium keningku selama sedetik. Aku nyaris
teriak ingin marah tapi sedetik kemudian Dio hanya nyengir kuda dan berlari
kecil. Aku hanya bisa tersenyum.
***
Aku baru saja membaca email yang mengabarkan bahwa
Dio masuk SMA favorit di Malang, dan aku turut bahagia. Walau terasa hampa jika
hanya berbahagia melalui internet, namun aku terharu, Dio berhasil. Aku sendiri
disini masih merasa sendiri seperti biasanya. Aku tahu aku harus membiasakan
diri tanpa Dio, tetapi ini sungguh begitu sulit. Setiap menit kurasa jarum jam
seperti merangkak lambat sekali.
Omong-omong, aku masuk SMA swasta bernama SMA Tunas
Bangsa. Sekolahnya tidak terlalu elite
namun anak-anaknya lumayan. Ibuku bilang aku tidak perlu mendaftar di SMA
negeri. Walaupun biaya sekolahku sangat luar biasa dari jangkauan Ibuku, Ibu
tetap memaksaku masuk STB. Entah apa yang memotivasi Ibuku hingga aku
dipaksanya masuk kesini, yang pasti dia bilang, Ayah ingin aku bersekolah
disini dan ketika aku tahu Ayah ingin aku bersekolah disini aku langsung menyukai
sekolah ini.
Aku tahu selera Ayah dalam memilih sekolah selalu
bagus, entah dari segi mana dia melihat, dia pasti memilih sekolah yang cocok
untukku, karena akulah satu-satunya keturunan Ibu dan Ayahku. Ibu bilang, sejak
aku berusia 3 tahun, Ayah sudah merencanakan dimana aku akan bersekolah, dan
Ibuku hanya terlihat sangat senang. Bahkan biaya untukku sudah ditabungnya,
agar aku bisa bersekolah di sekolah pilihannya. Karena semua pilihannya pasti
bagus. Ibu dan aku sudah tahu itu.
***
Hari ini aku MOS, tetapi isi kepalaku hanya ada Dio
yang membuatku semakin lesu. Biasanya, aku akan bersemangat setiap akan
menghadapi tahun ajaran baru. Apalagi sekarang aku sudah SMA. Dulu, ketika Dio
masih ada disini kami selalu bermimpi ingin menjadi anak SMA. Tetapi, kali ini
perasaanku hambar. Biasa saja. Tidak seperti saat pertama kali aku menginginkan
ini semua. Karena tidak ada Dio.
Biasanya aku dengan senang hati diperintah senior
untuk memakai perlengkapan aneh-aneh saat MOS, tapi kali ini tidak. Aku
kehilangan seleraku untuk menjalani hari-hari normal anak remaja.
Aku hampir saja terlambat jika Ibu tidak menghenti-paksa-kan
tukang ojek yang sedang ingin pergi untuk mencari sarapan, tetapi akhirnya
tukang ojek itu mau juga dirayu Ibu tanpa tambahan bayaran. Mataku berbinar
saat tahu Ibu hanya memberi uang pas, entah jurus apa yang dia pakai, aku hanya
manut saja. Masih tidak bersemangat. Aku tidak peduli lagi jika aku akan
dihukum karena telat atau apapun.
Saat aku baru sampai, lapangan dalam STB sudah penuh
seperti lautan manusia. Aku akui, SMA baruku ini memiliki tingkat kedisiplinan
dilevel teratas.
Mereka berbaris rapi kecuali aku yang hanya terpana
karena bingung harus berbuat apa.
“Lewat sini. Barisan ke-3! Hurry up!” seseorang seperti memberiku aba-aba. Aku yang seperti
disambar petir langsung lari kalang kabut. Pagi-pagi aku sudah dibentak-bentak,
telat, bingung, dan entah masuk kelas mana. What
a perfect match, batinku.
Seorang perempuan berwajah manis dan beralis lebih
tebal daripada milikku tersenyum ramah kepadaku saat aku sampai di barisan ke-3.
Untuk pertama kalinya sejak aku menginjakkan kaki di STB, aku merasa bersyukur
ada orang yang tersenyum untukku.
Selanjutnya adalah acara MOS sungguhan. Kukira ini
akan berjalan baik-baik saja, dan saat kusadari semuanya berjalan begitu kaku
dan hambar, aku semakin rindu bagaimana cerewetnya Dio yang tidak akan membuat
suasana sedingin ini.
Aku butuh Dio. Kalau saja di kantin sekolah bisa
pesan sepiring orang yang kusayang, sekarang pasti aku sudah pesan Dio dibungkus
untuk kubawa pulang. Sayangnya ini kantin, bukan tempat memohon lalu akan diberikan.
Biasanya setiap istirahat seperti ini Dio yang akan
memesankanku somay sepiring penuh dengan tambahan kecap yang banyak dengan es
jeruk, tapi kantin di STB tidak ada yang jual somay. Aku mengeluh dalam hati,
bagaimana bisa sekolah sebagus ini tidak menjual somay didalamnya. Jadi, aku memesan
soto dan es jeruk.
Perempuan yang tersenyum padaku tadi—yang
sekarang kuketahui namanya Riska—malu-malu mendekati
mejaku. “Aku boleh duduk bareng kamu, Keira?”
“Silahkan.” jawabku sambil tersenyum.
“Kamu termasuk cewek paling beruntung yang pernah
aku temuin, Kei!”
“Kenapa?” kataku terkejut.
“Jarang-jarang kak Awan mau ngomong sama junior
kayak kita. Tadi, untuk pertama kalinya aku liat dia ngomong.” katanya
berapi-api, sangking semangatnya.
“Tadi kan dia ngebentak bukan ngomong?” aku tahu
siapa yang dimaksudkan Riska. Senior jutek yang memberi perintah untuk cepat
baris di barisan ke-3. Ternyata namanya kak Awan.
“Sama aja, Kei. Tumbenan lho, biasanya dia cuek-cuek
ajatuh. Malah seneng kalo ada junior yang bakal disiksa.” katanya lagi, masih
bersemangat sambil melahap tekwan model miliknya. “Atau mungkin karena kamu
lagi hoki aja, soalnya tadi dia juga hampir telat sih.” tambahnya.
“Oh..” imbuhku singkat. Tidak terlalu tertarik
dengan apa yang dibicarakan Riska. Sekarang, aku hanya rindu Dio aku tidak
peduli dengan kak Awan atau siapapun atau apapun. Aku hanya ingin bertemu Dio
SEKARANG JUGA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
***
Aku baru saja sampai di depan rumah dan Ibu muncul
dari balik pintu. Nyaris saja aku kaget kalau Ibu tidak tersenyum sangat hangat.
“Ayah telepon. Dia mau ngomong, he said..” katanya dengan gembira, seperti anak umur 5 tahun yang
dibelikan sepeda baru.
“Okay. Kenapa,
Yah?” kataku mengambil gagang telepon dan menaruhnya lekat-lekat ditelinga.
“Suaramu seperti sedang tidak baik, honey! Please, Dio kan cuma sebentar di Malang.”
“Apa?” jawabku hampir berteriak.
“Jangan kira Ayah enggak tahu, kamu tahu kan Ibumu
tukang ngadu. Well, lupakan tentang
Dio. Jadi, gimana STB?”
Aku melirik Ibuku dan memberi tatapan
jadi-Ibu-beritahu-Ayah-tentang-Dio-dan-segala-kegalauanku-selama-Dio-tidak-ada?
seperti ingin memakannya, tapi dia membalasnya dengan wajah tidak berdosa sama
sekali. Untung saja dia adalah Ibuku. “Oh iya, umm.. STB lumayan.”
“Sudah berapa banyak cowok yang mencoba menggodamu?”
“Tidak ada, Ayah!”
“Oke, jangan pasang muka datar hanya karena tidak
ada Dio di sekolah barumu! I love you,
honey. Berikan teleponnya pada Ibu.”
Aku berbalik badan dan menemukan Ibu sudah merebut
gagang telepon. Sebenarnya aku rindu pada Ayah, namun rinduku pada Dio sudah
terlanjur menumpuk lebih banyak, jadi aku tidak peduli jika Ibu yang mencuri
semua waktu telepon dengan Ayah yang hanya terjadi 1 tahun 2 kali.
Aku pergi ke kamarku. Aku tahu Ibuku tidak ingin
percakapan yang jarang terjadi itu harus dikuping oleh anak tunggalnya. Jadi,
aku lebih baik tahu diri saja.
***
“Kei, dipanggil kak Rere di luar!”
Aku santai saja keluar kantin walaupun sebenarnya
sedikit bingung. Mungkin ini panggilan keberuntungan untukku karena dipanggil
oleh salah satu kakak kelas terbeken se-STB.
“Oh, lo Keira?”
Aku mengangguk tenang. Kukira ini awal yang baik,
sampai sesuatu mendarat dengan tiba-tiba di pipi kiriku.
Plak!
Pipiku terasa panas.
Plak!
Pipi kiri Rere memanas. “What the fuck do you think you are doing, bitch!?” katanya sontak
marah level ‘bakal-perang’.
Aku seketika marah dan kesal. Siapa yang mengasuh
perempuan wild kayak kakak kelasku
ini? Aku rasanya ingin membacakan beberapa tata kerama yang sejak kecil Ayah
ajarkan padaku tentang bertemu seseorang yang baru dikenal. “Harusnya saya yang
nanya gitu ke kakak, kakak pikir apa yang kakak lakuin ke saya dateng tiba-tiba
nampar? Saya pernah salah apa sama kakak? Saya rasa ini pertama kalinya kita
ketemu.”
Tangan kanan kak Rere sudah di udara menandakan ada
perlawanan fisik yang akan dia lakukan kepadaku, tapi aku hanya diam, pasrah.
“Lo pikir apa yang lo lakuin disini? Udah hebat?”
tiba-tiba saja dadaku bergetar hebat. Kak Awan! Tangan kanan kak Rere yang
tadinya udah di udara sekarang terhempas lemas.
“Oh God, my dearest, Awan! Thanks for coming here. Tapi aku lagi
ada urusan sama anak yang berani-beraninya ngegoda kamu!”
Aku sontak kaget. Apa-apaan ini? Lelucon? Sama
sekali tidak lucu! Bahkan aku tidak pernah bicara satu patah katapun dengan kak
Awan, dan dia bilang aku menggodanya? HA-HA! “Maaf kak, tapi
saya..mmmmfffftttttt..” kak Awan membekapku!
Sepersekian detik berikutnya, kak Awan sudah melepas
bekapannya. “Dia cewek gue. Jangan ganggu dia! Pergi cari cowok lain atau gue
bakal bongkar di depan semua orang tentang apa yang ada dibalik kancing baju
lo!” kak Awan terlihat mendekati kak Rere dengan tatapan hewan buas, aku
sedikit jijik melihat tatapan itu,
tapi membuatku cukup tegang. “Bahkan, gue punya informasi ada berapa tato yang
tergambar disana.”
Kak Rere pucat pasi. Menjauh, lalu pergi bersama
teman se-genk-nya.
“Kak, tapi..” hatiku bergejolak aneh. Aku bisa saja
marah karena dilibatkan dalam masalah yang sama sekali aku tidak tahu. Tapi,
aku malah merasa seperti… senang?
“Udah, terima aja. Gue emang suka sama lo kok, jadi
lo harus jadi pacar gue. Selamanya! Titik. Pulangnya gue anter.”
Aku terpaku. Dadaku berdesir. Bahkan Riska pun speechless. Terpana. Tidak menyangka
kejadian barusan akan terjadi. Begitu cepat, tidak terduga, dan… begitu tidak
romantis.
“Jadi????” aku bertanya pada angin. Bahkan, aku
belum bisa mencerna semua kejadian barusan. Ditampar kak Rere, menampar kak
Rere, kak Awan bilang aku adalah pacarnya, dan semuanya? Ini terlalu sinetron!
Tidak, ini tidak bisa terjadi di hidupku, tidak sekarang, tidak nanti, dan
tidak selamanya!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
“KEIRAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!” Riska menjerit. “Kamu
tau apa artinya ini? Kamu PA-CAR-NYA-KAK-A-WAN! That’s too fast, but okay, sekarang cerita!”
“Apa Ris? Cerita apa?” aku memasang muka kagetku. Aku
benar-benar tidak tahu apa-apa. I swear!
Ini adalah hari kedua MOS-ku dan sudah terjadi mimpi
buruk. Ini pertanda tidak baik. Ini pertanda STB tidak cocok untukku. Benar!
Aku harus segera pindah dari sini!
Okay.
Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, walaupun aku benci mengakui ini tapi aku
bersumpah kak Awan baik sekali!
Dia menepati janjinya untuk pulang bersamaku. Dan dihari
kedua MOS-ku aku sudah menjadi sorotan setiap pasang mata yang melihatku
dirangkul kak Awan sampai gerbang sekolah. Setelah itu kukira dia akan bilang
padaku bahwa ini hanya permainan dan jangan GR atau apa, tapi dia malah mengajakku
makan. Dan kalian tahu apa? Dia asik dan tidak membosankan. Aku mulai menyukai
ini dan menikmatinya. Kepalaku tidak menjerit-jeritkan nama Dio lagi, tapi
sepertinya kepalaku mulai menyukai nama Awan hingga meneriakkan namanya
berulang-ulang tanpa bisa kucegah dan anehnya aku tidak marah. Jangan tanya aku
kenapa.
Besoknya begitu lagi. Besoknya lagi begitu lagi.
Hingga besok-besoknya begitu terus. Hingga aku merasa nyaman.
***
“STB asik Bu!”
“Kamu bilang apa?” Ibu duduk di pinggir ranjangku.
“Ayah enggak salah pilihin Yaya sekolah.”
“Loh, Yaya enggak sakit kan?”
“Siapa yang bilang aku sakit?” aku mengerutkan
kening.
“Enggak, maksud Ibu, kirain Yaya udah hilang ingatan
tentang Dio, sampe lupa 2 bulan yang lalu pengen pindah sekolah bareng Dio di
Malang. Baru juga 2 hari di STB kan waktu itu, udah enggak betah aja cuma
karena enggak ditemenin Dio? Anak Ibu manja ah. Keturunan Ayah nih, pasti!”
Aku tertawa. Di saat-saat seperti ini, Ibuku memang
paling bisa. Sungguh, aku tidak pernah merasa memiliki sifat manja, dan
kalaupun ada, itu pasti dari Ibu bukan Ayah. Aku memeluk Ibuku. “Aku dapet
masalah.”
“Ada apa? Katanya asik?” katanya, melepas pelukanku.
Lalu, aku menceritakan semuanya dari awal, dari aku
terlambat di hari pertama MOS hingga semua tentang kak Awan. Aku menceritakan
setiap detail tentangnya kepada Ibu, dan Ibu hanya tersenyum dan memberi
tanggapan sekenanya.
“Dia beneran suka kamu? Dio gimana?”
“Kok pertanyaan Ibu kayak ABG jaman sekarang?” aku
menahan tawa.
“Ibu emang masih ABG, enggak beda jauh lah sama
kamu. Ah, kamu! Tapi, serius..Yaya kan disuruh nungguin dia?” ibu memegang
kedua pipiku, menghadapkan wajahku kedepan wajahnya. Ingin melihat mataku.
Mencari kejujuran disana. Tetapi aku malah membuang mukaku. Sebenarnya itu
tidak sopan, tetapi kali ini aku memang bingung apa yang harus aku katakan. Aku
hanya… tidak mengerti.
“Kamu suka Awan?”
Aku diam.
“Kamu suka dia?”
Hening.
“Yaya, lihat Ibu!” Ibu lagi-lagi menghadapkan
wajahku kedepan wajahnya.
“Aku enggak tahu, Bu! Yaya enggak tahu..” aku
menunduk lesu.
“Tapi, Ibu tahu.” katanya sambil tersenyum. “Kamu
suka dia.”
Aku mendongak. Aku tahu ini konyol, tapi aku yakin
Ibu tidak bohong. Lalu, aku memeluk Ibuku. Lagi. Lebih erat.
“Cinta emang bisa cepet banget dateng, kaya yang
kamu alamin. Tapi, semoga dia bukan cuma pelarian Dio yang enggak ada disini.
Terus pas Dio balik lagi, kamu malah bingung harus gimana.”
“Males mikirin Dio! Dia udah jarang kirim email, hampir
enggak pernah nelepon aku lagi. Lusa kemarin, aku telepon dia nomornya udah
enggak aktif. Palingan juga dia udah lupa sama aku. Udah ngegebet cewek Malang
yang cakep sama mulus-mulus!”
“Setau Ibu, kadang.. kenangan itu lebih kuat, Ya..
daripada kenyataan.”
“Maksud Ibu?”
“Iya, bisa sekarang kita bilang kita males nginget
karena yang lama udah jauh sama kita, jadi kita anggep dia udah lupa sama kita
dan kita udah ada yang baru, tapi kenangan dan janji itu enggak akan pernah
hilang. Tetep ada dan bikin gelisah kalo engga diselesain dan ditepatin.”
Aku diam. Ibu seperti mengetuk pintu lukanya. Aku
tahu kemana arah pembicaraan ini.
“Maaf Ibu, aku enggak bermaksud..”
“Enggak apa-apa, Ibu cuma enggak mau Yaya pusing
nantinya. Memilih dan memutuskan itu sulit, lho Ya. Enggak segampang kayak Yaya
mikir Ayah cepet banget ambil keputusan, pasti sebelum itu dia sempet stress
dulu. Ibu takut Yaya kayak gitu juga, dan malah nyakitin salah satu diantara
mereka berdua. Karena, enggak pernah ada dua bintang yang bersinar di hati
seseorang, kan? Jadi kamu harus pilih satu dan relain yang satu lagi pergi..”
Aku diam. Hening menerpa. Sunyi merayap.
“Yaudah. Jangan terlalu dipikirin. Sekarang,
seneng-seneng dulu. Ibu ikut seneng. Lagian, Awan lumayan kok, kan Ibu liat
kalian lewat warung setiap hari. Tapi kalo nantinya sedih-bingung-kesel-nya Ibu
enggak ikut-ikutan yah. Sekarang, tidur! Inget mata panda, okay!”
Aku hanya membalas Ibu dengan seulas senyum kaku. Kata-katanya
begitu menusuk ulu hatiku. Kalimat yang Ibu katakan itu benar. Memang ada
masanya ini akan jadi boomerang yang
akan kembali pada diriku sendiri yang harus memutuskan. Tapi, toh Dio tidak
akan kembali? Ah, terserah! Kepalaku terus meneriakkan nama kak Awan.
***
Semua ini berjalan sempurna. Tidak menyangka Keira
yang sekarang milik kak Awan adalah seseorang yang paling bahagia di seisi STB.
Riska ikut bahagia walaupun dia mengarang cerita bahwa dia patah hati karena
kak Awan lebih memilih aku dibanding dirinya. Tapi, aku tahu dia berbohong.
Riska kan drama queen, tapi dia
sahabatku.
Ini semua berjalan baik-baik saja. Pelajaran di
sekolah tidak terlalu buruk dan Ibu selalu mendukungku seperti yang selalu dia
lakukan.
Aku menikmati ini semua tetapi ada sesuatu di hatiku
yang berbisik bahwa ini hanya akan sementara. Aku tidak tahu lagi, perasaan ini
semakin mengganggu setiap malam. Diiringi wajah Dio dan kak Awan bergantian. Aku
tidak tahu maksud dari semua ini, tapi yang kutahu pasti, Dio tidak sepenuhnya
pergi.. baik di dunia nyata maupun dalam hatiku.
Kedengarannya begitu cepat, tapi siapa yang bisa
menyangka sekarang aku sudah kelas 2 SMA. Menjadi murid di posisi paling
nyaman. Bisa dibilang senior bisa dibilang junior. Tentu saja sekarang kak Awan
sudah kelas 3. Dan aku tidak bisa menyangkal bahwa aku menyayanginya.
Besoknya, aku mendapat kejutan kecil dari bunyi
denting kecil di ponselku. Aku membukanya dengan santai, tapi ternyata efek kerja
pada jantungku tidak seperti yang diharapkan. Aku was-was. Dengan slow motion dan harap-harap cemas, aku
buka isinya…
dan benar!
Dari Dio.
Sebuah pesan singkat yang menyuruhku untuk segera
keluar. Jantungku melorot. Darahku berdesir hebat. Aku rindu laki-laki ini! Tapi,
kenapa aku malah takut untuk bertemu dengannya? AKU INI KENAPAAAA??????????????
Aku memaki diriku sendiri dalam hati.
Akhirnya dengan segala kekuatan terakhir yang
kumiliki, aku menyeret kakiku untuk membuka pintu rumahku. Ini jam 15.25 dan
benar sekali, tentu saja aku di rumah sendirian karena jam pulang Ibuku adalah
jam 8 malam.
Untuk menarik gagang pintu dan membukanya seperti
beban berat yang akan menimpa diriku. Tidak tahu kenapa, aku takut sekali, tapi
aku akhirnya membuka pintu dan menemukan punggung tegap laki-laki yang memakai
baju warna cokelat polos dengan jins selutut.
Dia balik badan. Tersenyum. Manis sekali. Binar pada
matanya tidak berubah. 2 tahun tidak bertemu memaksaku untuk mengakui bahwa aku
merindukan sosok di hadapanku sekarang. Aroma blue emotion menguar samar di hidungku. Kuakui lagi, aku rindu
aromanya.
“Tetep aja bau permen karet!” katanya sedikit
terlihat kesal, “Tapi di Malang, Yoyo tiap hari kangen wangi strawberry Yaya.” tambahnya dengan
manja, lalu memelukku lama sekali.
Dia melepaskan pelukannya. Lalu menatapku dalam
sekali. Aku seperti lupa segalanya, aku rindu laki-laki ini dan dia tidak
pernah benar-benar pergi dari hatiku walau kak Awan bisa menyamarkan sosoknya
selama hampir 2 tahun. Ibu benar, kenangan memang lebih kuat daripada kenyataan.
“Aku enggak disuruh masuk?”
Aku mengangguk-angguk gelagapan. Memberinya jalan
untuk masuk ke rumah.
Semuanya seperti berat sekali. Mengakui bahwa Dio
tidak pernah tergantikan dan kak Awan yang selalu ada dan mengisi hari-hariku
tanpa Dio membuatku limbung. Apa sekarang sudah waktunya?
“Boleh minta roti keju sama es jeruk? Yoyo laper,
Ya..” katanya dengan begitu manjanya. Aku jadi ingin merebahkan kepalaku di
bahunya seperti yang biasa kami lakukan. Tapi sepertinya, urusan perut memang
tidak seharusnya ditunda.
“Dengan senang hati.” jawabku sambil tersenyum, lalu
berjalan menuju dapur. Aku lupa dengan kak Awan dan aku juga tiba-tiba
melupakan bahwa Dio sudah menelantarkan aku selama 2 tahun dengan tidak memberi
kabar lagi.
Aku kembali membawa dua tangkup roti yang walaupun
tidak hangat lagi, tetapi aku yakin roti itu masih enak. Dan segelas besar—gelas
minum kesayanganku yang ukurannya giant—es
jeruk.
“Heaven!”
kata Dio hampir menjerit saat semua pesanannya tiba.
Aku duduk di sampingnya, menunggunya hingga selesai
makan.
“Jadi?” Dio mencoba membuka pembicaraan setelah
berhasil menghabiskan semua jatah roti kejuku untuk malam ini.
“Apa?” jawabku mendongak padanya.
“Say
something, please. I miss you so badly!”
“Apa?”
“Cuma apa nih?” katanya sarkas. “Aku udah
capek-capek ke Jogja kamu malah nyambut aku cuma dengan ‘apa?’ gitu?” tambahnya
dengan raut muka yang tidak dibuat-buat, dia sedih. Aku jadi tidak tega. “Aku
udah balik kesini, cuma untuk kamu dan nepatin janji aku. Aku cuma seminggu
disini, izin sakit parah ke sekolah, karena kangen enggak ketahan. Kalo mau
tau, harusnya aku baru kesini lagi pas kita udah sama-sama lulus. Tapi, aku punya
perasaan enggak enak dari pas kita pertama masuk SMA. Jauh sama kamu bikin aku
gelisah dan enggak bisa fokus. Aku takut kamu kenapa-napa mangkanya aku
maksa-maksa Ayah sama Ibu buat ngizinin.”
Aku merasa bersalah. Sungguh, aku tidak
tahu apakah ini yang Ibu bilang dengan perasaan sedih-bingung-kesel. Tapi,
sekarang perasaan ini udah campur aduk.
“Kamu kenapa, Ya? Kamu enggak kangen
aku?”
Aku tetap diam.
“Kamu sakit yah? Kamu pucet banget!” Dio
panik.
“Yo..” akhirnya aku bersuara. Ya Tuhan, apa
yang harus aku bilang???????????????????? Rasanya aku ingin mati saja. Aku tidak
bisa kehilangan dua-duanya. Aku sayang mereka. Aku……
“Kenapa? Yaya kenapa? Ada apa?” kata Dio
lagi, “Ada yang berubah ya, Ya?” katanya tersenyum pahit.
Aku menutup mukaku dengan kedua tangan. Aku
tidak bisa tahan lagi. Aku egois karena tidak percaya dengan Dio akan kembali
lagi dan bersenang-senang dengan kak Awan sedangkan Dio setengah mati berjuang
menahan rindunya untukku? Aku tidak adil. Aku bodoh! Aku jahat!
Tiba-tiba aku merasa seperti sedang di
posisi Ayah. Aku merasa aku ingin sekali mengembalikan waktu dan tidak pernah
kenal dengan kak Awan apalagi sampai mencintainya, sedangkan aku setengah mati
cinta dengan laki-laki bernama Dio!
Oh Tuhan, aku harus
apa????????!!!!!!!!!!!!!! Aku berpikir keras. Tapi tidak satu sarafpun dalam
otakku yang memberiku perintah untuk melakukan apa. Aku tidak tahu harus
melakukan apa…
“Yaya..” kata Dio lirih. “Ada yang lain
ya? Ada yang ngegantiin posisi aku selama aku enggak ada? Apa semuanya udah
berubah? Apa aku terlalu terlambat untuk balik lagi?”
“Aku kira kamu enggak bakal balik lagi… Soalnya kamu berhenti hubungin aku.”
aku buka suara untuk kedua kalinya.
“Kamu seharusnya tau, aku enggak akan
mungkin lupain kamu..” katanya murung.
Hatiku rasanya sakit sekali. Aku butuh
Ibu!
“Kamu seharusnya tau, aku sayang banget
sama kamu dan enggak akan ada yang bisa ngegantiin pelangi kaya kamu di hati
aku..” Dio menunduk. “Siapa namanya, Ya? Dia manggil kamu apa?”
“Kak Awan. Dia manggil aku Key..” aku
menunduk semakin dalam.
Aku harus memilih dan aku harus
memutuskan. Aku sudah dewasa! Aku bukan perempuan yang bisa dikalahkan dengan
masalah serumit apapun. Aku memang mirip Ibu, lemah seperti kertas yang rentan
akan robekan, tetapi aku juga tahu aku adalah keturunan Ayah yang paling kuat
seperti batu karang diterpa ombak.
Tapi, aku tidak ingin aku menyakiti satu
diantaranya. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan yang satu tersenyum sedangkan
satu lainnya pergi penuh luka. Aku jadi ingat Ibu. Aku ingat bagaimana Ibu
meracau dan menangis. Aku tidak bisa.
***
SEMUANYA SELESAI.
Aku masih mencoba tersenyum walau
sebenarnya sekarang aku ingin sekali menangis, seperti yang pernah diajarkan
Ibu. Hari ini Dio memilih langsung kembali ke Malang, dan kak Awan? Dia
terlihat sedih sekali. Tidak, Dio lebih sedih. Oh, TIDAK! Aku yang paling sedih
disini!
Aku membiarkan mereka pergi. Aku tidak
memposisikan Dio sebagai masa laluku, aku mencintainya bahkan hingga sekarang,
tapi Ibu benar, kenangan itu lebih kuat. Dan aku tidak membiarkan kak Awan
menyandang posisi seperti Ibuku, tapi sungguh aku menyayanginya dengan segenap
hatiku.
Aku menyayangi meraka dengan seluruh
jiwa ragaku. Tapi, Ibu benar. Jika aku memilih satu diantara dua, maka aku
harus membiarkan yang satu sakit dan pergi. Jika aku ingin keduanya, aku akan
kehilangan mereka.
Jadi, aku memutuskan untuk meminta
mereka meninggalkan aku. sendiri, disini.
Aku tahu aku egois dan mementingkan
kenyamananku, tapi kalian tidak tahu bagaimana perasaanku.
Posisi Ayah bukanlah posisiku sekarang.
Aku mengudara. Tidak memilih siapa-siapa
tapi membiarkan mereka pergi dengan penuh luka lebam. Tapi, aku sudah meminta
maaf dan berterimakasih walaupun itu tidak akan pernah cukup.
Saat hujan pergi, awan selalu memberikan
tempat untuk pelangi. Dan ketika hujan datang lagi, pelangi juga tidak bisa
memiliki keduanya. Sekarang, aku tahu, bahwa pelangi tidak pernah bisa bersatu
dengan hujan, dan walaupun pelangi bisa bersatu dengan awan, pelangi
menolaknya.
Aku harus mengakui ini, bahwa yang aku
yakin, pelangi mencintai awan dan hujan.
***
Cerpen ini untuk ‘awan’ yang kehilangan ‘pelangi’-nya
Dan untuk seseorang lagi, disana, yang sudah dianggap
pelangi sebagai ‘hujan’ yang merasa ‘pelangi’-nya diambil ‘awan’
Sekarang, ‘pelangi’ itu harus kalian lupakan :)
Sangat menyentuh sekali , cerpen yang bagus buat aku dan serasa aku adalah inti dar kisahku karena dari sebagian cerita itu sperti hidupku...kebahagiaan , kesepian , air mata , kesendirian , rindu juga cinta ..terimakasih tetaplah berkarya untuk cerpen yang indah
ReplyDeletehalo! thank you for reading and comment :) you just made my day! :)) hihihi aamiin terimakasih banyak sekali lagi, komentarnya membangun sekali^^
DeleteAku terenyuh sekali :(
ReplyDelete