Dec 12, 2013

Awan, Pelangi dan Hujan


Hari ini Ibu meracau dengan seisi rumah lagi. Seakan tembok, koleksi piring tua dalam lemari-lemari kecil disetiap sudut rumah miliknya, kursi dari kayu jati, dan semua isi rumah ini harus tahu apa yang dia rasakan.
“Oh, dia adalah Drama King untuk memilih masa lalunya dibanding aku.”
Tidak, Ibu tidak gila. Separuh jiwanya hanya belum bisa menerima perpisahan itu. Bahkan setiap detak jantungnya selalu memanggil nama Ayah untuk kembali, jika bisa.
Aku sendiri hanya bisa menahan senyum. Bagiku itu lucu, bagaimana wanita 39 tahun bisa begitu kekanakan sepertinya. Bahkan, terkadang Ibu merajuk kepadaku, menceritakan keluh kesahnya yang terpendam.

Kebiasaannya meracau muncul ketika mimpi buruk itu nyata untuk kamiaku dan Ibuku. Suatu sore di bulan Desember, Ayah pulang dengan wajah muram lalu berbicara serius dengan Ibu. Dia menggenggam tangan Ibu yang lemas. Badan Ibu sudah limbung sejak Ayah berkata yang aku tidak tahu, aku hanya mengintip dari lubang kunci pintu dan suara mereka terlalu kecil untuk kudengar.

Aku tahu Ayah mencintai Ibuku dengan segala jiwa raganya. Aku mengerti dari cara Ayah menatap, mengusap ujung kepala Ibu, mencium keningnya, menggoda Ibu saat dia sedang berpura-pura marah. Tapi, sore ini Ayah seperti kehilangan cintanya, entah tertinggal atau jatuh dimana cinta itu kepada Ibu. Aku menatap mata Ayah dalam, dan binar itu sudah tidak ada. Sudah terganti. Terganti oleh entah siapa. Binar untuk Ibu sudah hilang entah kemana.

Dan sejak itu, Ayah pergi dan tidak pernah pulang. Aku benci mengakui ini, tapi aku selalu rindu ketukan pintu yang merdu dari tangan Ayah, pelukan hangat yang dia berikan untukku. Ayah meninggalkan beberapa tanya yang aku tidak tahu jawabannya; Apakah rumah baginya bukan aku dan Ibu lagi? Apakah cinta itu sekarang memiliki rumah yang baru?

Suatu pagi, Ibu bercerita panjang lebar dengan mata pandanya yang tak kunjung hilang dan pipi yang basah dengan air mata. Bahwa Ayah pergi dengan sebuah alasan. Aku tidak berhak membenci Ayah, bahkan untuk bertanya ‘Kenapa?’ aku tidak boleh. Dia sudah memilih dan memutuskan. Bahwa Ayah hanya pulang ke tempat dimana cintanya berada. Cinta yang tertinggal di masa lalu. Aku dan Ibu hanya tempatnya berteduh dari luka. Luka yang sengaja dia tekan agar tidak terlihat. Dan, sore di bulan Desember itu, Ayah menemukan kembali cintanya. Cinta yang belum sempat Ayah selesaikan.

Jangan tanya kenapa aku dan Ibuku tidak membenci Ayah. Karena, cinta yang tertinggal di masa lalunya lebih menderita dari kami, lebih nelangsa daripada rajukan Ibu setiap mengingat Ayah, dan lebih miris dari goresan luka di hati Ibu. Tetapi jangan bilang kami menerima itu semua, karena dalam relung jiwa kami yang paling dalam, kami sangat butuh Ayah.

Ayah mengajarkan aku kepada negeri antah berantah. Negeri yang memberinya teori betapa masa lalu dapat membutakannya dari dunia nyata menjadi persinggahan paling sempurna untuk pulang. Dimana senyum akan selalu tertoreh, dan kenangan sebagai lagu pengantarnya.

Ibu mengajarkan aku untuk tidak pernah menyerah, tidak pernah merasa kehilangan, karena Ayah selalu tetap ada disana. Di sudut dalam hatinya.

Aku pernah marah kepada Ibu dan berkata padanya kenapa membiarkan Ayah pergi. Dan dia menjawab, “Kamu tahu enggak, kenapa ada novel tunjuk satu bintang?” aku menggeleng dan Ibu meneruskan, “Karena enggak mungkin ada dua bintang di hati seseorang. Dan Ibu tahu, bintang di hati Ayah bukan Ibu.”

Di umur 13 tahun, orangtuaku sudah memaksaku mengerti konflik antara hati mereka. Tetapi, aku mengerti. Bahkan aku selalu memeluk Ibu ketika dia tidak berhenti menangis hingga larut malam. Aku sedih, tetapi tidak mungkin ada dua wanita lemah, maka aku yang harus menghentikan tangisku dan berdiri kembali dari jatuhku, menyediakan bahu yang nyaman untuk Ibu.

Tahu kenapa aku tidak menangis? Karena saat aku kecil, ketika lututku berdarah Ayah mengusap air mataku, memelukku dan berkata, “Jangan menangis lagi. Perempuan lahir untuk bahagia, bukan untuk menangis. Menangis jika kamu adalah satu-satunya orang yang sakit, ketika yang lain juga merasakan apa yang kamu rasakan bahkan lebih parah, maka hentikan tangismu, sakitmu tidak sebesar sakit yang lain.”

Tetapi, aku tetap saja aku. Aku pernah menangis ketika aku sangat merindukan Ayah. Ibuku datang dengan senyum, duduk disebelahku. Mengusap-ngusap punggungku selama 2 jam lebih hingga aku berhenti menangis. Dia diam. Sunyi merayapi setiap detik di antara kami. Lalu, dia malah tertawa. Keras sekali. Lalu saat dia berhenti, aku merasa Ibuku sudah gila, tetapi setelah itu dia berkata, “Mau Ibu ajari cara tersenyum saat ingin menangis?” aku semakin tidak mengerti. Aku hanya mendengarkannya saja.

“Kamu harus tarik napas dalam dan pikirkan semua kebahagiaan yang kamu rasakan. Ketika air mata itu sudah ingin jatuh, kamu harus mendongak sedikit dan bilang pada dirimu sendiri ‘kebahagiaanku lebih banyak daripada sakitku’ lalu lepaskan saja senyuman itu. Tetapi, kalau kamu malah menangis lebih keras, maka menangis saja, itu menandakan sakitmu lebih kamu pelihara daripada kebahagiaanmu. Jadi, rileks saja. Toh, Ibu juga lebih sering gagal.”

“Tetapi..” kali ini suara Ibuku merendah, “ketika kamu melihat orang lain menangis, atau mengingat betapa masih banyak orang yang lebih sakit daripada yang kamu rasakan, tangis itu akan berhenti dengan sendirinya, atau kebahagiaan itu sudah kembali mengendalikanmu. Itu tentang pengendalian diri saja, antara mana yang kamu pilih, terus sakit atau bahagia.”

Aku mengangkat satu alisku, “Tapi Ibu bilang, Ibu lebih sering gagal, tadi kenapa ketawa?”
“Rasanya tidak pantas ikut menangis ketika seseorang butuh kehangatan, bukannya tangisan yang lain.”

Aku tahu kalimat itu sudah menghangatkan jiwaku, rasanya aku seperti mendapat kebahagiaan baru, ternyata Ibu lebih dewasa daripada perkiraanku. Walaupun aku tahu Ibu seperti awan yang kehilangan pelanginya, tetapi sungguh, awan bisa mengendalikan dirinya tanpa pelangi kan? Walau terkadang dia terlalu tidak biasa tanpa pelangi.
***



Kenyataan indah lainnya adalah aku masih punya Dio yang orangtuanya utuh dan menyayangiku seperti mereka menyayangi Dio. Dan Dio sendiri yang kalian bisa tebak, menyayangiku dengan sangat, sangat, sangat.

Kami bersahabat? Lebih dari itu, tapi juga bukan sepasang kekasih. Aku butuh Dio dan Dio butuh aku. Just as simple as that.

Aroma blue emotion Dio yang samar tetapi mampu membuat hatiku menghangat. Aroma strawberry-ku yang Dio bilang norak karena bau permen karet tapi selalu berhasil buat dia kangen dan tidak tahan jika sehari saja tidak ada aroma strawberry.

Kami berteman bahkan sejak kami sama-sama menangis ketika dilahirkan, tentu saja kami sudah mengenal masing-masing dari kami. Bahkan aku dan Dio sudah tahu berapa jumlah kedipan mata yang kami lakukan dalam 1 menit. Jangan kaget, kami memang menghitungnya.

Dan sekarang saat kami baru saja merayakan kelulusan SMP, Dio akan pergi meninggalkan aku sendiri disini. Menorehkan satu lagi ‘goodbye’ dalam hatiku yang terucap dari orang yang paling aku sayang. Sekarang tidak ada lagi, “Yaya, manjat pohon jambunya Pak Toto yuk!” atau “Yaya ayuk ke warung roti bareng Yoyo, kita naik sepeda baru Yoyo yang ada boncengannya!”

Warung Roti adalah kedai kecil milik Ibuku di persimpangan ujung jalan rumah kami. Aku dan Dio setiap hari pergi kesana, mengendap-ngendap di dapur hanya untuk mencium aroma roti yang baru keluar dari panggangan. Lalu salah satu pegawai Ibu akan tertawa-tawa kecil ketika menyadari ada kami, setelah itu kami akan diberi roti gratis berisi keju, roti favorit kami.

Kebiasaan kami selalu diketahui Ibu, tapi dia pura-pura tutup mata.
“Jadi mulai hari ini Keira bakal nyumput di dapur warung sendirian? Dionya kan mau pergi..” kataku nelangsa akan ditinggal pergi Dio.

“Enggak! Yoyo selalu temenin Yaya dimanapun Yaya pergi. Yoyo kan selalu di hati Yaya, Yaya inget itu kan?”

Aku mengangguk lemas. Menunduk. Aku selalu menjadi anak kecil jika dengan Dio. Berbeda ketika aku harus berhadapan dengan Ibu. Yoyo selalu memberiku tempat untuk menjadi aku yang sebenarnya, membuatku merasa menjadi diriku adalah yang terbaik. Bukan berarti Ibu tidak memberikanku tempat untuk menjadi kekanakan, tetapi aku yang refleks merubah sikap dan sifatku ketika bersama Ibu. Senyum lembut Ibu selalu membuatku berusaha mengikuti arus dirinya yang sebenarnya lemah seperti kertas yang rentan akan robekan namun berpura-pura setegar karang.

Anak rambutku tertiup angin. Hening. Sekarang aku merasa seperti akan kehilangan sebagian jiwaku, terbawa angin yang akan membawa Dio pergi dari sini. Aku benci perasaan kehilangan. Aku ingin Dio tetap disini. Kerumahku setiap hari, dan selalu ada yang memanggilku ‘Yaya’ dan ada yang selalu kupanggil ‘Yoyo’.

Dio akan pindah ke Malang. Tuntutan pekerjaan Ayahnya memaksanya untuk menurut saja, karena tidak ada pilihan lain. Sebenarnya, Dio bisa saja dititipkan bersama aku dan Ibuku, namun melihat kondisi keluargaku yang, yah begitulah, mereka jadi segan dan enggan menitipkan Dio, walaupun Ibuku sudah menawarkan diri untuk menjaga Dio. Aku tahu walau Ibu terlihat ikhlas, Ibu sebenarnya takut keteteran juga, mengurusku saja sudah bikin dia sering terkena migrainepusing kepala sebelah, karena ulahku. Belum lagi Warung Roti, lalu ada satu tuyul kecil macam Dio ingin menumpang sampai entah kapan. Bisa-bisa Ibuku vertigo. Jadi, dengan sopan keluarga Dio menolak tawaran Ibu. Ada tatapan yang seperti berkata ‘oh sudahlah, kami tahu kau banyak masalah, dan kalau kami menitipkan Dio mungkin masalah itu akan bertambah runyam’ diantara mereka. Aku mengerti tatapan itu.
Hari ini Dio sudah dipastikan akan pergi sampai entah kapan. Dan apa yang harus kulakukan setelah ini? Mengendap di dapur warung ibu sendirian? Bersepeda sendirian? Atau memanjat pohon jambu Pak Toto sendirian? Semua-muanya tanpa Dio adalah kesendirian bagiku.
Yang sudah dipastikan adalah, setelah hari ini tidak akan sama tanpa Dio.

Dio membuatku kaget, “Tunggu Yoyo ya, Yaya. Nanti Yoyo bakal balik lagi, kesini, buat Yaya.” Dio tersenyum. Lalu memelukku erat. Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Aku hanya harus menunggunya kan? Beberapa saat setelah dia balik badan, dia kembali lagi dan…
Cup!
Dio mencium keningku selama sedetik. Aku nyaris teriak ingin marah tapi sedetik kemudian Dio hanya nyengir kuda dan berlari kecil. Aku hanya bisa tersenyum.
***

Aku baru saja membaca email yang mengabarkan bahwa Dio masuk SMA favorit di Malang, dan aku turut bahagia. Walau terasa hampa jika hanya berbahagia melalui internet, namun aku terharu, Dio berhasil. Aku sendiri disini masih merasa sendiri seperti biasanya. Aku tahu aku harus membiasakan diri tanpa Dio, tetapi ini sungguh begitu sulit. Setiap menit kurasa jarum jam seperti merangkak lambat sekali.

Omong-omong, aku masuk SMA swasta bernama SMA Tunas Bangsa. Sekolahnya tidak terlalu elite namun anak-anaknya lumayan. Ibuku bilang aku tidak perlu mendaftar di SMA negeri. Walaupun biaya sekolahku sangat luar biasa dari jangkauan Ibuku, Ibu tetap memaksaku masuk STB. Entah apa yang memotivasi Ibuku hingga aku dipaksanya masuk kesini, yang pasti dia bilang, Ayah ingin aku bersekolah disini dan ketika aku tahu Ayah ingin aku bersekolah disini aku langsung menyukai sekolah ini.

Aku tahu selera Ayah dalam memilih sekolah selalu bagus, entah dari segi mana dia melihat, dia pasti memilih sekolah yang cocok untukku, karena akulah satu-satunya keturunan Ibu dan Ayahku. Ibu bilang, sejak aku berusia 3 tahun, Ayah sudah merencanakan dimana aku akan bersekolah, dan Ibuku hanya terlihat sangat senang. Bahkan biaya untukku sudah ditabungnya, agar aku bisa bersekolah di sekolah pilihannya. Karena semua pilihannya pasti bagus. Ibu dan aku sudah tahu itu.
***

Hari ini aku MOS, tetapi isi kepalaku hanya ada Dio yang membuatku semakin lesu. Biasanya, aku akan bersemangat setiap akan menghadapi tahun ajaran baru. Apalagi sekarang aku sudah SMA. Dulu, ketika Dio masih ada disini kami selalu bermimpi ingin menjadi anak SMA. Tetapi, kali ini perasaanku hambar. Biasa saja. Tidak seperti saat pertama kali aku menginginkan ini semua. Karena tidak ada Dio.

Biasanya aku dengan senang hati diperintah senior untuk memakai perlengkapan aneh-aneh saat MOS, tapi kali ini tidak. Aku kehilangan seleraku untuk menjalani hari-hari normal anak remaja.

Aku hampir saja terlambat jika Ibu tidak menghenti-paksa-kan tukang ojek yang sedang ingin pergi untuk mencari sarapan, tetapi akhirnya tukang ojek itu mau juga dirayu Ibu tanpa tambahan bayaran. Mataku berbinar saat tahu Ibu hanya memberi uang pas, entah jurus apa yang dia pakai, aku hanya manut saja. Masih tidak bersemangat. Aku tidak peduli lagi jika aku akan dihukum karena telat atau apapun.

Saat aku baru sampai, lapangan dalam STB sudah penuh seperti lautan manusia. Aku akui, SMA baruku ini memiliki tingkat kedisiplinan dilevel teratas.

Mereka berbaris rapi kecuali aku yang hanya terpana karena bingung harus berbuat apa.
“Lewat sini. Barisan ke-3! Hurry up!” seseorang seperti memberiku aba-aba. Aku yang seperti disambar petir langsung lari kalang kabut. Pagi-pagi aku sudah dibentak-bentak, telat, bingung, dan entah masuk kelas mana. What a perfect match, batinku.

Seorang perempuan berwajah manis dan beralis lebih tebal daripada milikku tersenyum ramah kepadaku saat aku sampai di barisan ke-3. Untuk pertama kalinya sejak aku menginjakkan kaki di STB, aku merasa bersyukur ada orang yang tersenyum untukku.

Selanjutnya adalah acara MOS sungguhan. Kukira ini akan berjalan baik-baik saja, dan saat kusadari semuanya berjalan begitu kaku dan hambar, aku semakin rindu bagaimana cerewetnya Dio yang tidak akan membuat suasana sedingin ini.

Aku butuh Dio. Kalau saja di kantin sekolah bisa pesan sepiring orang yang kusayang, sekarang pasti aku sudah pesan Dio dibungkus untuk kubawa pulang. Sayangnya ini kantin, bukan tempat memohon lalu akan diberikan.

Biasanya setiap istirahat seperti ini Dio yang akan memesankanku somay sepiring penuh dengan tambahan kecap yang banyak dengan es jeruk, tapi kantin di STB tidak ada yang jual somay. Aku mengeluh dalam hati, bagaimana bisa sekolah sebagus ini tidak menjual somay didalamnya. Jadi, aku memesan soto dan es jeruk.

Perempuan yang tersenyum padaku tadiyang sekarang kuketahui namanya Riskamalu-malu mendekati mejaku. “Aku boleh duduk bareng kamu, Keira?”

“Silahkan.” jawabku sambil tersenyum.

“Kamu termasuk cewek paling beruntung yang pernah aku temuin, Kei!”

“Kenapa?” kataku terkejut.

“Jarang-jarang kak Awan mau ngomong sama junior kayak kita. Tadi, untuk pertama kalinya aku liat dia ngomong.” katanya berapi-api, sangking semangatnya.

“Tadi kan dia ngebentak bukan ngomong?” aku tahu siapa yang dimaksudkan Riska. Senior jutek yang memberi perintah untuk cepat baris di barisan ke-3. Ternyata namanya kak Awan.

“Sama aja, Kei. Tumbenan lho, biasanya dia cuek-cuek ajatuh. Malah seneng kalo ada junior yang bakal disiksa.” katanya lagi, masih bersemangat sambil melahap tekwan model miliknya. “Atau mungkin karena kamu lagi hoki aja, soalnya tadi dia juga hampir telat sih.” tambahnya.

“Oh..” imbuhku singkat. Tidak terlalu tertarik dengan apa yang dibicarakan Riska. Sekarang, aku hanya rindu Dio aku tidak peduli dengan kak Awan atau siapapun atau apapun. Aku hanya ingin bertemu Dio SEKARANG JUGA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
***

Aku baru saja sampai di depan rumah dan Ibu muncul dari balik pintu. Nyaris saja aku kaget kalau Ibu tidak tersenyum sangat hangat.

“Ayah telepon. Dia mau ngomong, he said..” katanya dengan gembira, seperti anak umur 5 tahun yang dibelikan sepeda baru.

Okay. Kenapa, Yah?” kataku mengambil gagang telepon dan menaruhnya lekat-lekat ditelinga.

“Suaramu seperti sedang tidak baik, honey! Please, Dio kan cuma sebentar di Malang.”

“Apa?” jawabku hampir berteriak.

“Jangan kira Ayah enggak tahu, kamu tahu kan Ibumu tukang ngadu. Well, lupakan tentang Dio. Jadi, gimana STB?”

Aku melirik Ibuku dan memberi tatapan jadi-Ibu-beritahu-Ayah-tentang-Dio-dan-segala-kegalauanku-selama-Dio-tidak-ada? seperti ingin memakannya, tapi dia membalasnya dengan wajah tidak berdosa sama sekali. Untung saja dia adalah Ibuku. “Oh iya, umm.. STB lumayan.”

“Sudah berapa banyak cowok yang mencoba menggodamu?”

“Tidak ada, Ayah!”

“Oke, jangan pasang muka datar hanya karena tidak ada Dio di sekolah barumu! I love you, honey. Berikan teleponnya pada Ibu.”

Aku berbalik badan dan menemukan Ibu sudah merebut gagang telepon. Sebenarnya aku rindu pada Ayah, namun rinduku pada Dio sudah terlanjur menumpuk lebih banyak, jadi aku tidak peduli jika Ibu yang mencuri semua waktu telepon dengan Ayah yang hanya terjadi 1 tahun 2 kali.

Aku pergi ke kamarku. Aku tahu Ibuku tidak ingin percakapan yang jarang terjadi itu harus dikuping oleh anak tunggalnya. Jadi, aku lebih baik tahu diri saja.
***

“Kei, dipanggil kak Rere di luar!”

Aku santai saja keluar kantin walaupun sebenarnya sedikit bingung. Mungkin ini panggilan keberuntungan untukku karena dipanggil oleh salah satu kakak kelas terbeken se-STB.

“Oh, lo Keira?”

Aku mengangguk tenang. Kukira ini awal yang baik, sampai sesuatu mendarat dengan tiba-tiba di pipi kiriku.

Plak!

Pipiku terasa panas.

Plak!

Pipi kiri Rere memanas. “What the fuck do you think you are doing, bitch!?” katanya sontak marah level ‘bakal-perang’.

Aku seketika marah dan kesal. Siapa yang mengasuh perempuan wild kayak kakak kelasku ini? Aku rasanya ingin membacakan beberapa tata kerama yang sejak kecil Ayah ajarkan padaku tentang bertemu seseorang yang baru dikenal. “Harusnya saya yang nanya gitu ke kakak, kakak pikir apa yang kakak lakuin ke saya dateng tiba-tiba nampar? Saya pernah salah apa sama kakak? Saya rasa ini pertama kalinya kita ketemu.”

Tangan kanan kak Rere sudah di udara menandakan ada perlawanan fisik yang akan dia lakukan kepadaku, tapi aku hanya diam, pasrah.

“Lo pikir apa yang lo lakuin disini? Udah hebat?” tiba-tiba saja dadaku bergetar hebat. Kak Awan! Tangan kanan kak Rere yang tadinya udah di udara sekarang terhempas lemas.

Oh God, my dearest, Awan! Thanks for coming here. Tapi aku lagi ada urusan sama anak yang berani-beraninya ngegoda kamu!”

Aku sontak kaget. Apa-apaan ini? Lelucon? Sama sekali tidak lucu! Bahkan aku tidak pernah bicara satu patah katapun dengan kak Awan, dan dia bilang aku menggodanya? HA-HA! “Maaf kak, tapi saya..mmmmfffftttttt..” kak Awan membekapku!

Sepersekian detik berikutnya, kak Awan sudah melepas bekapannya. “Dia cewek gue. Jangan ganggu dia! Pergi cari cowok lain atau gue bakal bongkar di depan semua orang tentang apa yang ada dibalik kancing baju lo!” kak Awan terlihat mendekati kak Rere dengan tatapan hewan buas, aku sedikit jijik melihat tatapan itu, tapi membuatku cukup tegang. “Bahkan, gue punya informasi ada berapa tato yang tergambar disana.”

Kak Rere pucat pasi. Menjauh, lalu pergi bersama teman se-genk-nya.

“Kak, tapi..” hatiku bergejolak aneh. Aku bisa saja marah karena dilibatkan dalam masalah yang sama sekali aku tidak tahu. Tapi, aku malah merasa seperti… senang?

“Udah, terima aja. Gue emang suka sama lo kok, jadi lo harus jadi pacar gue. Selamanya! Titik. Pulangnya gue anter.”

Aku terpaku. Dadaku berdesir. Bahkan Riska pun speechless. Terpana. Tidak menyangka kejadian barusan akan terjadi. Begitu cepat, tidak terduga, dan… begitu tidak romantis.

“Jadi????” aku bertanya pada angin. Bahkan, aku belum bisa mencerna semua kejadian barusan. Ditampar kak Rere, menampar kak Rere, kak Awan bilang aku adalah pacarnya, dan semuanya? Ini terlalu sinetron! Tidak, ini tidak bisa terjadi di hidupku, tidak sekarang, tidak nanti, dan tidak selamanya!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

“KEIRAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!” Riska menjerit. “Kamu tau apa artinya ini? Kamu PA-CAR-NYA-KAK-A-WAN! That’s too fast, but okay, sekarang cerita!”

“Apa Ris? Cerita apa?” aku memasang muka kagetku. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. I swear!

Ini adalah hari kedua MOS-ku dan sudah terjadi mimpi buruk. Ini pertanda tidak baik. Ini pertanda STB tidak cocok untukku. Benar! Aku harus segera pindah dari sini!

Okay. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, walaupun aku benci mengakui ini tapi aku bersumpah kak Awan baik sekali!

Dia menepati janjinya untuk pulang bersamaku. Dan dihari kedua MOS-ku aku sudah menjadi sorotan setiap pasang mata yang melihatku dirangkul kak Awan sampai gerbang sekolah. Setelah itu kukira dia akan bilang padaku bahwa ini hanya permainan dan jangan GR atau apa, tapi dia malah mengajakku makan. Dan kalian tahu apa? Dia asik dan tidak membosankan. Aku mulai menyukai ini dan menikmatinya. Kepalaku tidak menjerit-jeritkan nama Dio lagi, tapi sepertinya kepalaku mulai menyukai nama Awan hingga meneriakkan namanya berulang-ulang tanpa bisa kucegah dan anehnya aku tidak marah. Jangan tanya aku kenapa.

Besoknya begitu lagi. Besoknya lagi begitu lagi. Hingga besok-besoknya begitu terus. Hingga aku merasa nyaman.
***

“STB asik Bu!”

“Kamu bilang apa?” Ibu duduk di pinggir ranjangku.

“Ayah enggak salah pilihin Yaya sekolah.”

“Loh, Yaya enggak sakit kan?”

“Siapa yang bilang aku sakit?” aku mengerutkan kening.

“Enggak, maksud Ibu, kirain Yaya udah hilang ingatan tentang Dio, sampe lupa 2 bulan yang lalu pengen pindah sekolah bareng Dio di Malang. Baru juga 2 hari di STB kan waktu itu, udah enggak betah aja cuma karena enggak ditemenin Dio? Anak Ibu manja ah. Keturunan Ayah nih, pasti!”

Aku tertawa. Di saat-saat seperti ini, Ibuku memang paling bisa. Sungguh, aku tidak pernah merasa memiliki sifat manja, dan kalaupun ada, itu pasti dari Ibu bukan Ayah. Aku memeluk Ibuku. “Aku dapet masalah.”

“Ada apa? Katanya asik?” katanya, melepas pelukanku.

Lalu, aku menceritakan semuanya dari awal, dari aku terlambat di hari pertama MOS hingga semua tentang kak Awan. Aku menceritakan setiap detail tentangnya kepada Ibu, dan Ibu hanya tersenyum dan memberi tanggapan sekenanya.

“Dia beneran suka kamu? Dio gimana?”

“Kok pertanyaan Ibu kayak ABG jaman sekarang?” aku menahan tawa.

“Ibu emang masih ABG, enggak beda jauh lah sama kamu. Ah, kamu! Tapi, serius..Yaya kan disuruh nungguin dia?” ibu memegang kedua pipiku, menghadapkan wajahku kedepan wajahnya. Ingin melihat mataku. Mencari kejujuran disana. Tetapi aku malah membuang mukaku. Sebenarnya itu tidak sopan, tetapi kali ini aku memang bingung apa yang harus aku katakan. Aku hanya… tidak mengerti.

“Kamu suka Awan?”

Aku diam.

“Kamu suka dia?”

Hening.

“Yaya, lihat Ibu!” Ibu lagi-lagi menghadapkan wajahku kedepan wajahnya.

“Aku enggak tahu, Bu! Yaya enggak tahu..” aku menunduk lesu.

“Tapi, Ibu tahu.” katanya sambil tersenyum. “Kamu suka dia.”

Aku mendongak. Aku tahu ini konyol, tapi aku yakin Ibu tidak bohong. Lalu, aku memeluk Ibuku. Lagi. Lebih erat.

“Cinta emang bisa cepet banget dateng, kaya yang kamu alamin. Tapi, semoga dia bukan cuma pelarian Dio yang enggak ada disini. Terus pas Dio balik lagi, kamu malah bingung harus gimana.”

“Males mikirin Dio! Dia udah jarang kirim email, hampir enggak pernah nelepon aku lagi. Lusa kemarin, aku telepon dia nomornya udah enggak aktif. Palingan juga dia udah lupa sama aku. Udah ngegebet cewek Malang yang cakep sama mulus-mulus!”

“Setau Ibu, kadang.. kenangan itu lebih kuat, Ya.. daripada kenyataan.”

“Maksud Ibu?”

“Iya, bisa sekarang kita bilang kita males nginget karena yang lama udah jauh sama kita, jadi kita anggep dia udah lupa sama kita dan kita udah ada yang baru, tapi kenangan dan janji itu enggak akan pernah hilang. Tetep ada dan bikin gelisah kalo engga diselesain dan ditepatin.”

Aku diam. Ibu seperti mengetuk pintu lukanya. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini. 
“Maaf Ibu, aku enggak bermaksud..”

“Enggak apa-apa, Ibu cuma enggak mau Yaya pusing nantinya. Memilih dan memutuskan itu sulit, lho Ya. Enggak segampang kayak Yaya mikir Ayah cepet banget ambil keputusan, pasti sebelum itu dia sempet stress dulu. Ibu takut Yaya kayak gitu juga, dan malah nyakitin salah satu diantara mereka berdua. Karena, enggak pernah ada dua bintang yang bersinar di hati seseorang, kan? Jadi kamu harus pilih satu dan relain yang satu lagi pergi..”

Aku diam. Hening menerpa. Sunyi merayap.

“Yaudah. Jangan terlalu dipikirin. Sekarang, seneng-seneng dulu. Ibu ikut seneng. Lagian, Awan lumayan kok, kan Ibu liat kalian lewat warung setiap hari. Tapi kalo nantinya sedih-bingung-kesel-nya Ibu enggak ikut-ikutan yah. Sekarang, tidur! Inget mata panda, okay!”
Aku hanya membalas Ibu dengan seulas senyum kaku. Kata-katanya begitu menusuk ulu hatiku. Kalimat yang Ibu katakan itu benar. Memang ada masanya ini akan jadi boomerang yang akan kembali pada diriku sendiri yang harus memutuskan. Tapi, toh Dio tidak akan kembali? Ah, terserah! Kepalaku terus meneriakkan nama kak Awan.
***

Semua ini berjalan sempurna. Tidak menyangka Keira yang sekarang milik kak Awan adalah seseorang yang paling bahagia di seisi STB. Riska ikut bahagia walaupun dia mengarang cerita bahwa dia patah hati karena kak Awan lebih memilih aku dibanding dirinya. Tapi, aku tahu dia berbohong. Riska kan drama queen, tapi dia sahabatku.

Ini semua berjalan baik-baik saja. Pelajaran di sekolah tidak terlalu buruk dan Ibu selalu mendukungku seperti yang selalu dia lakukan.

Aku menikmati ini semua tetapi ada sesuatu di hatiku yang berbisik bahwa ini hanya akan sementara. Aku tidak tahu lagi, perasaan ini semakin mengganggu setiap malam. Diiringi wajah Dio dan kak Awan bergantian. Aku tidak tahu maksud dari semua ini, tapi yang kutahu pasti, Dio tidak sepenuhnya pergi.. baik di dunia nyata maupun dalam hatiku.
Kedengarannya begitu cepat, tapi siapa yang bisa menyangka sekarang aku sudah kelas 2 SMA. Menjadi murid di posisi paling nyaman. Bisa dibilang senior bisa dibilang junior. Tentu saja sekarang kak Awan sudah kelas 3. Dan aku tidak bisa menyangkal bahwa aku menyayanginya.


Besoknya, aku mendapat kejutan kecil dari bunyi denting kecil di ponselku. Aku membukanya dengan santai, tapi ternyata efek kerja pada jantungku tidak seperti yang diharapkan. Aku was-was. Dengan slow motion dan harap-harap cemas, aku buka isinya… 
dan benar!

Dari Dio.

Sebuah pesan singkat yang menyuruhku untuk segera keluar. Jantungku melorot. Darahku berdesir hebat. Aku rindu laki-laki ini! Tapi, kenapa aku malah takut untuk bertemu dengannya? AKU INI KENAPAAAA?????????????? Aku memaki diriku sendiri dalam hati.
Akhirnya dengan segala kekuatan terakhir yang kumiliki, aku menyeret kakiku untuk membuka pintu rumahku. Ini jam 15.25 dan benar sekali, tentu saja aku di rumah sendirian karena jam pulang Ibuku adalah jam 8 malam.

Untuk menarik gagang pintu dan membukanya seperti beban berat yang akan menimpa diriku. Tidak tahu kenapa, aku takut sekali, tapi aku akhirnya membuka pintu dan menemukan punggung tegap laki-laki yang memakai baju warna cokelat polos dengan jins selutut.

Dia balik badan. Tersenyum. Manis sekali. Binar pada matanya tidak berubah. 2 tahun tidak bertemu memaksaku untuk mengakui bahwa aku merindukan sosok di hadapanku sekarang. Aroma blue emotion menguar samar di hidungku. Kuakui lagi, aku rindu aromanya.
“Tetep aja bau permen karet!” katanya sedikit terlihat kesal, “Tapi di Malang, Yoyo tiap hari kangen wangi strawberry Yaya.” tambahnya dengan manja, lalu memelukku lama sekali.

Dia melepaskan pelukannya. Lalu menatapku dalam sekali. Aku seperti lupa segalanya, aku rindu laki-laki ini dan dia tidak pernah benar-benar pergi dari hatiku walau kak Awan bisa menyamarkan sosoknya selama hampir 2 tahun. Ibu benar, kenangan memang lebih kuat daripada kenyataan.

“Aku enggak disuruh masuk?”

Aku mengangguk-angguk gelagapan. Memberinya jalan untuk masuk ke rumah.
Semuanya seperti berat sekali. Mengakui bahwa Dio tidak pernah tergantikan dan kak Awan yang selalu ada dan mengisi hari-hariku tanpa Dio membuatku limbung. Apa sekarang sudah waktunya?

“Boleh minta roti keju sama es jeruk? Yoyo laper, Ya..” katanya dengan begitu manjanya. Aku jadi ingin merebahkan kepalaku di bahunya seperti yang biasa kami lakukan. Tapi sepertinya, urusan perut memang tidak seharusnya ditunda.

“Dengan senang hati.” jawabku sambil tersenyum, lalu berjalan menuju dapur. Aku lupa dengan kak Awan dan aku juga tiba-tiba melupakan bahwa Dio sudah menelantarkan aku selama 2 tahun dengan tidak memberi kabar lagi.

Aku kembali membawa dua tangkup roti yang walaupun tidak hangat lagi, tetapi aku yakin roti itu masih enak. Dan segelas besargelas minum kesayanganku yang ukurannya giantes jeruk.

Heaven!” kata Dio hampir menjerit saat semua pesanannya tiba.

Aku duduk di sampingnya, menunggunya hingga selesai makan.

“Jadi?” Dio mencoba membuka pembicaraan setelah berhasil menghabiskan semua jatah roti kejuku untuk malam ini.

“Apa?” jawabku mendongak padanya.

Say something, please. I miss you so badly!

“Apa?”

“Cuma apa nih?” katanya sarkas. “Aku udah capek-capek ke Jogja kamu malah nyambut aku cuma dengan ‘apa?’ gitu?” tambahnya dengan raut muka yang tidak dibuat-buat, dia sedih. Aku jadi tidak tega. “Aku udah balik kesini, cuma untuk kamu dan nepatin janji aku. Aku cuma seminggu disini, izin sakit parah ke sekolah, karena kangen enggak ketahan. Kalo mau tau, harusnya aku baru kesini lagi pas kita udah sama-sama lulus. Tapi, aku punya perasaan enggak enak dari pas kita pertama masuk SMA. Jauh sama kamu bikin aku gelisah dan enggak bisa fokus. Aku takut kamu kenapa-napa mangkanya aku maksa-maksa Ayah sama Ibu buat ngizinin.”

Aku merasa bersalah. Sungguh, aku tidak tahu apakah ini yang Ibu bilang dengan perasaan sedih-bingung-kesel. Tapi, sekarang perasaan ini udah campur aduk.

“Kamu kenapa, Ya? Kamu enggak kangen aku?”

Aku tetap diam.

“Kamu sakit yah? Kamu pucet banget!” Dio panik.

“Yo..” akhirnya aku bersuara. Ya Tuhan, apa yang harus aku bilang???????????????????? Rasanya aku ingin mati saja. Aku tidak bisa kehilangan dua-duanya. Aku sayang mereka. Aku……

“Kenapa? Yaya kenapa? Ada apa?” kata Dio lagi, “Ada yang berubah ya, Ya?” katanya tersenyum pahit.

Aku menutup mukaku dengan kedua tangan. Aku tidak bisa tahan lagi. Aku egois karena tidak percaya dengan Dio akan kembali lagi dan bersenang-senang dengan kak Awan sedangkan Dio setengah mati berjuang menahan rindunya untukku? Aku tidak adil. Aku bodoh! Aku jahat!

Tiba-tiba aku merasa seperti sedang di posisi Ayah. Aku merasa aku ingin sekali mengembalikan waktu dan tidak pernah kenal dengan kak Awan apalagi sampai mencintainya, sedangkan aku setengah mati cinta dengan laki-laki bernama Dio!
Oh Tuhan, aku harus apa????????!!!!!!!!!!!!!! Aku berpikir keras. Tapi tidak satu sarafpun dalam otakku yang memberiku perintah untuk melakukan apa. Aku tidak tahu harus melakukan apa…

“Yaya..” kata Dio lirih. “Ada yang lain ya? Ada yang ngegantiin posisi aku selama aku enggak ada? Apa semuanya udah berubah? Apa aku terlalu terlambat untuk balik lagi?”

“Aku kira kamu enggak bakal balik lagi… Soalnya kamu berhenti hubungin aku.” aku buka suara untuk kedua kalinya.

“Kamu seharusnya tau, aku enggak akan mungkin lupain kamu..” katanya murung.
Hatiku rasanya sakit sekali. Aku butuh Ibu!

“Kamu seharusnya tau, aku sayang banget sama kamu dan enggak akan ada yang bisa ngegantiin pelangi kaya kamu di hati aku..” Dio menunduk. “Siapa namanya, Ya? Dia manggil kamu apa?”

“Kak Awan. Dia manggil aku Key..” aku menunduk semakin dalam.

Aku harus memilih dan aku harus memutuskan. Aku sudah dewasa! Aku bukan perempuan yang bisa dikalahkan dengan masalah serumit apapun. Aku memang mirip Ibu, lemah seperti kertas yang rentan akan robekan, tetapi aku juga tahu aku adalah keturunan Ayah yang paling kuat seperti batu karang diterpa ombak.

Tapi, aku tidak ingin aku menyakiti satu diantaranya. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan yang satu tersenyum sedangkan satu lainnya pergi penuh luka. Aku jadi ingat Ibu. Aku ingat bagaimana Ibu meracau dan menangis. Aku tidak bisa.
***

SEMUANYA SELESAI.

Aku masih mencoba tersenyum walau sebenarnya sekarang aku ingin sekali menangis, seperti yang pernah diajarkan Ibu. Hari ini Dio memilih langsung kembali ke Malang, dan kak Awan? Dia terlihat sedih sekali. Tidak, Dio lebih sedih. Oh, TIDAK! Aku yang paling sedih disini!

Aku membiarkan mereka pergi. Aku tidak memposisikan Dio sebagai masa laluku, aku mencintainya bahkan hingga sekarang, tapi Ibu benar, kenangan itu lebih kuat. Dan aku tidak membiarkan kak Awan menyandang posisi seperti Ibuku, tapi sungguh aku menyayanginya dengan segenap hatiku.

Aku menyayangi meraka dengan seluruh jiwa ragaku. Tapi, Ibu benar. Jika aku memilih satu diantara dua, maka aku harus membiarkan yang satu sakit dan pergi. Jika aku ingin keduanya, aku akan kehilangan mereka.

Jadi, aku memutuskan untuk meminta mereka meninggalkan aku. sendiri, disini.
Aku tahu aku egois dan mementingkan kenyamananku, tapi kalian tidak tahu bagaimana perasaanku.

Posisi Ayah bukanlah posisiku sekarang.
Aku mengudara. Tidak memilih siapa-siapa tapi membiarkan mereka pergi dengan penuh luka lebam. Tapi, aku sudah meminta maaf dan berterimakasih walaupun itu tidak akan pernah cukup.



Saat hujan pergi, awan selalu memberikan tempat untuk pelangi. Dan ketika hujan datang lagi, pelangi juga tidak bisa memiliki keduanya. Sekarang, aku tahu, bahwa pelangi tidak pernah bisa bersatu dengan hujan, dan walaupun pelangi bisa bersatu dengan awan, pelangi menolaknya.

Aku harus mengakui ini, bahwa yang aku yakin, pelangi mencintai awan dan hujan.
***

Cerpen ini untuk ‘awan’ yang kehilangan ‘pelangi’-nya
Dan untuk seseorang lagi, disana, yang sudah dianggap pelangi sebagai ‘hujan’ yang merasa ‘pelangi’-nya diambil ‘awan’
Sekarang, ‘pelangi’ itu harus kalian lupakan :)

3 comments:

  1. Sangat menyentuh sekali , cerpen yang bagus buat aku dan serasa aku adalah inti dar kisahku karena dari sebagian cerita itu sperti hidupku...kebahagiaan , kesepian , air mata , kesendirian , rindu juga cinta ..terimakasih tetaplah berkarya untuk cerpen yang indah

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo! thank you for reading and comment :) you just made my day! :)) hihihi aamiin terimakasih banyak sekali lagi, komentarnya membangun sekali^^

      Delete

Dec 12, 2013

Awan, Pelangi dan Hujan


Hari ini Ibu meracau dengan seisi rumah lagi. Seakan tembok, koleksi piring tua dalam lemari-lemari kecil disetiap sudut rumah miliknya, kursi dari kayu jati, dan semua isi rumah ini harus tahu apa yang dia rasakan.
“Oh, dia adalah Drama King untuk memilih masa lalunya dibanding aku.”
Tidak, Ibu tidak gila. Separuh jiwanya hanya belum bisa menerima perpisahan itu. Bahkan setiap detak jantungnya selalu memanggil nama Ayah untuk kembali, jika bisa.
Aku sendiri hanya bisa menahan senyum. Bagiku itu lucu, bagaimana wanita 39 tahun bisa begitu kekanakan sepertinya. Bahkan, terkadang Ibu merajuk kepadaku, menceritakan keluh kesahnya yang terpendam.

Kebiasaannya meracau muncul ketika mimpi buruk itu nyata untuk kamiaku dan Ibuku. Suatu sore di bulan Desember, Ayah pulang dengan wajah muram lalu berbicara serius dengan Ibu. Dia menggenggam tangan Ibu yang lemas. Badan Ibu sudah limbung sejak Ayah berkata yang aku tidak tahu, aku hanya mengintip dari lubang kunci pintu dan suara mereka terlalu kecil untuk kudengar.

Aku tahu Ayah mencintai Ibuku dengan segala jiwa raganya. Aku mengerti dari cara Ayah menatap, mengusap ujung kepala Ibu, mencium keningnya, menggoda Ibu saat dia sedang berpura-pura marah. Tapi, sore ini Ayah seperti kehilangan cintanya, entah tertinggal atau jatuh dimana cinta itu kepada Ibu. Aku menatap mata Ayah dalam, dan binar itu sudah tidak ada. Sudah terganti. Terganti oleh entah siapa. Binar untuk Ibu sudah hilang entah kemana.

Dan sejak itu, Ayah pergi dan tidak pernah pulang. Aku benci mengakui ini, tapi aku selalu rindu ketukan pintu yang merdu dari tangan Ayah, pelukan hangat yang dia berikan untukku. Ayah meninggalkan beberapa tanya yang aku tidak tahu jawabannya; Apakah rumah baginya bukan aku dan Ibu lagi? Apakah cinta itu sekarang memiliki rumah yang baru?

Suatu pagi, Ibu bercerita panjang lebar dengan mata pandanya yang tak kunjung hilang dan pipi yang basah dengan air mata. Bahwa Ayah pergi dengan sebuah alasan. Aku tidak berhak membenci Ayah, bahkan untuk bertanya ‘Kenapa?’ aku tidak boleh. Dia sudah memilih dan memutuskan. Bahwa Ayah hanya pulang ke tempat dimana cintanya berada. Cinta yang tertinggal di masa lalu. Aku dan Ibu hanya tempatnya berteduh dari luka. Luka yang sengaja dia tekan agar tidak terlihat. Dan, sore di bulan Desember itu, Ayah menemukan kembali cintanya. Cinta yang belum sempat Ayah selesaikan.

Jangan tanya kenapa aku dan Ibuku tidak membenci Ayah. Karena, cinta yang tertinggal di masa lalunya lebih menderita dari kami, lebih nelangsa daripada rajukan Ibu setiap mengingat Ayah, dan lebih miris dari goresan luka di hati Ibu. Tetapi jangan bilang kami menerima itu semua, karena dalam relung jiwa kami yang paling dalam, kami sangat butuh Ayah.

Ayah mengajarkan aku kepada negeri antah berantah. Negeri yang memberinya teori betapa masa lalu dapat membutakannya dari dunia nyata menjadi persinggahan paling sempurna untuk pulang. Dimana senyum akan selalu tertoreh, dan kenangan sebagai lagu pengantarnya.

Ibu mengajarkan aku untuk tidak pernah menyerah, tidak pernah merasa kehilangan, karena Ayah selalu tetap ada disana. Di sudut dalam hatinya.

Aku pernah marah kepada Ibu dan berkata padanya kenapa membiarkan Ayah pergi. Dan dia menjawab, “Kamu tahu enggak, kenapa ada novel tunjuk satu bintang?” aku menggeleng dan Ibu meneruskan, “Karena enggak mungkin ada dua bintang di hati seseorang. Dan Ibu tahu, bintang di hati Ayah bukan Ibu.”

Di umur 13 tahun, orangtuaku sudah memaksaku mengerti konflik antara hati mereka. Tetapi, aku mengerti. Bahkan aku selalu memeluk Ibu ketika dia tidak berhenti menangis hingga larut malam. Aku sedih, tetapi tidak mungkin ada dua wanita lemah, maka aku yang harus menghentikan tangisku dan berdiri kembali dari jatuhku, menyediakan bahu yang nyaman untuk Ibu.

Tahu kenapa aku tidak menangis? Karena saat aku kecil, ketika lututku berdarah Ayah mengusap air mataku, memelukku dan berkata, “Jangan menangis lagi. Perempuan lahir untuk bahagia, bukan untuk menangis. Menangis jika kamu adalah satu-satunya orang yang sakit, ketika yang lain juga merasakan apa yang kamu rasakan bahkan lebih parah, maka hentikan tangismu, sakitmu tidak sebesar sakit yang lain.”

Tetapi, aku tetap saja aku. Aku pernah menangis ketika aku sangat merindukan Ayah. Ibuku datang dengan senyum, duduk disebelahku. Mengusap-ngusap punggungku selama 2 jam lebih hingga aku berhenti menangis. Dia diam. Sunyi merayapi setiap detik di antara kami. Lalu, dia malah tertawa. Keras sekali. Lalu saat dia berhenti, aku merasa Ibuku sudah gila, tetapi setelah itu dia berkata, “Mau Ibu ajari cara tersenyum saat ingin menangis?” aku semakin tidak mengerti. Aku hanya mendengarkannya saja.

“Kamu harus tarik napas dalam dan pikirkan semua kebahagiaan yang kamu rasakan. Ketika air mata itu sudah ingin jatuh, kamu harus mendongak sedikit dan bilang pada dirimu sendiri ‘kebahagiaanku lebih banyak daripada sakitku’ lalu lepaskan saja senyuman itu. Tetapi, kalau kamu malah menangis lebih keras, maka menangis saja, itu menandakan sakitmu lebih kamu pelihara daripada kebahagiaanmu. Jadi, rileks saja. Toh, Ibu juga lebih sering gagal.”

“Tetapi..” kali ini suara Ibuku merendah, “ketika kamu melihat orang lain menangis, atau mengingat betapa masih banyak orang yang lebih sakit daripada yang kamu rasakan, tangis itu akan berhenti dengan sendirinya, atau kebahagiaan itu sudah kembali mengendalikanmu. Itu tentang pengendalian diri saja, antara mana yang kamu pilih, terus sakit atau bahagia.”

Aku mengangkat satu alisku, “Tapi Ibu bilang, Ibu lebih sering gagal, tadi kenapa ketawa?”
“Rasanya tidak pantas ikut menangis ketika seseorang butuh kehangatan, bukannya tangisan yang lain.”

Aku tahu kalimat itu sudah menghangatkan jiwaku, rasanya aku seperti mendapat kebahagiaan baru, ternyata Ibu lebih dewasa daripada perkiraanku. Walaupun aku tahu Ibu seperti awan yang kehilangan pelanginya, tetapi sungguh, awan bisa mengendalikan dirinya tanpa pelangi kan? Walau terkadang dia terlalu tidak biasa tanpa pelangi.
***



Kenyataan indah lainnya adalah aku masih punya Dio yang orangtuanya utuh dan menyayangiku seperti mereka menyayangi Dio. Dan Dio sendiri yang kalian bisa tebak, menyayangiku dengan sangat, sangat, sangat.

Kami bersahabat? Lebih dari itu, tapi juga bukan sepasang kekasih. Aku butuh Dio dan Dio butuh aku. Just as simple as that.

Aroma blue emotion Dio yang samar tetapi mampu membuat hatiku menghangat. Aroma strawberry-ku yang Dio bilang norak karena bau permen karet tapi selalu berhasil buat dia kangen dan tidak tahan jika sehari saja tidak ada aroma strawberry.

Kami berteman bahkan sejak kami sama-sama menangis ketika dilahirkan, tentu saja kami sudah mengenal masing-masing dari kami. Bahkan aku dan Dio sudah tahu berapa jumlah kedipan mata yang kami lakukan dalam 1 menit. Jangan kaget, kami memang menghitungnya.

Dan sekarang saat kami baru saja merayakan kelulusan SMP, Dio akan pergi meninggalkan aku sendiri disini. Menorehkan satu lagi ‘goodbye’ dalam hatiku yang terucap dari orang yang paling aku sayang. Sekarang tidak ada lagi, “Yaya, manjat pohon jambunya Pak Toto yuk!” atau “Yaya ayuk ke warung roti bareng Yoyo, kita naik sepeda baru Yoyo yang ada boncengannya!”

Warung Roti adalah kedai kecil milik Ibuku di persimpangan ujung jalan rumah kami. Aku dan Dio setiap hari pergi kesana, mengendap-ngendap di dapur hanya untuk mencium aroma roti yang baru keluar dari panggangan. Lalu salah satu pegawai Ibu akan tertawa-tawa kecil ketika menyadari ada kami, setelah itu kami akan diberi roti gratis berisi keju, roti favorit kami.

Kebiasaan kami selalu diketahui Ibu, tapi dia pura-pura tutup mata.
“Jadi mulai hari ini Keira bakal nyumput di dapur warung sendirian? Dionya kan mau pergi..” kataku nelangsa akan ditinggal pergi Dio.

“Enggak! Yoyo selalu temenin Yaya dimanapun Yaya pergi. Yoyo kan selalu di hati Yaya, Yaya inget itu kan?”

Aku mengangguk lemas. Menunduk. Aku selalu menjadi anak kecil jika dengan Dio. Berbeda ketika aku harus berhadapan dengan Ibu. Yoyo selalu memberiku tempat untuk menjadi aku yang sebenarnya, membuatku merasa menjadi diriku adalah yang terbaik. Bukan berarti Ibu tidak memberikanku tempat untuk menjadi kekanakan, tetapi aku yang refleks merubah sikap dan sifatku ketika bersama Ibu. Senyum lembut Ibu selalu membuatku berusaha mengikuti arus dirinya yang sebenarnya lemah seperti kertas yang rentan akan robekan namun berpura-pura setegar karang.

Anak rambutku tertiup angin. Hening. Sekarang aku merasa seperti akan kehilangan sebagian jiwaku, terbawa angin yang akan membawa Dio pergi dari sini. Aku benci perasaan kehilangan. Aku ingin Dio tetap disini. Kerumahku setiap hari, dan selalu ada yang memanggilku ‘Yaya’ dan ada yang selalu kupanggil ‘Yoyo’.

Dio akan pindah ke Malang. Tuntutan pekerjaan Ayahnya memaksanya untuk menurut saja, karena tidak ada pilihan lain. Sebenarnya, Dio bisa saja dititipkan bersama aku dan Ibuku, namun melihat kondisi keluargaku yang, yah begitulah, mereka jadi segan dan enggan menitipkan Dio, walaupun Ibuku sudah menawarkan diri untuk menjaga Dio. Aku tahu walau Ibu terlihat ikhlas, Ibu sebenarnya takut keteteran juga, mengurusku saja sudah bikin dia sering terkena migrainepusing kepala sebelah, karena ulahku. Belum lagi Warung Roti, lalu ada satu tuyul kecil macam Dio ingin menumpang sampai entah kapan. Bisa-bisa Ibuku vertigo. Jadi, dengan sopan keluarga Dio menolak tawaran Ibu. Ada tatapan yang seperti berkata ‘oh sudahlah, kami tahu kau banyak masalah, dan kalau kami menitipkan Dio mungkin masalah itu akan bertambah runyam’ diantara mereka. Aku mengerti tatapan itu.
Hari ini Dio sudah dipastikan akan pergi sampai entah kapan. Dan apa yang harus kulakukan setelah ini? Mengendap di dapur warung ibu sendirian? Bersepeda sendirian? Atau memanjat pohon jambu Pak Toto sendirian? Semua-muanya tanpa Dio adalah kesendirian bagiku.
Yang sudah dipastikan adalah, setelah hari ini tidak akan sama tanpa Dio.

Dio membuatku kaget, “Tunggu Yoyo ya, Yaya. Nanti Yoyo bakal balik lagi, kesini, buat Yaya.” Dio tersenyum. Lalu memelukku erat. Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Aku hanya harus menunggunya kan? Beberapa saat setelah dia balik badan, dia kembali lagi dan…
Cup!
Dio mencium keningku selama sedetik. Aku nyaris teriak ingin marah tapi sedetik kemudian Dio hanya nyengir kuda dan berlari kecil. Aku hanya bisa tersenyum.
***

Aku baru saja membaca email yang mengabarkan bahwa Dio masuk SMA favorit di Malang, dan aku turut bahagia. Walau terasa hampa jika hanya berbahagia melalui internet, namun aku terharu, Dio berhasil. Aku sendiri disini masih merasa sendiri seperti biasanya. Aku tahu aku harus membiasakan diri tanpa Dio, tetapi ini sungguh begitu sulit. Setiap menit kurasa jarum jam seperti merangkak lambat sekali.

Omong-omong, aku masuk SMA swasta bernama SMA Tunas Bangsa. Sekolahnya tidak terlalu elite namun anak-anaknya lumayan. Ibuku bilang aku tidak perlu mendaftar di SMA negeri. Walaupun biaya sekolahku sangat luar biasa dari jangkauan Ibuku, Ibu tetap memaksaku masuk STB. Entah apa yang memotivasi Ibuku hingga aku dipaksanya masuk kesini, yang pasti dia bilang, Ayah ingin aku bersekolah disini dan ketika aku tahu Ayah ingin aku bersekolah disini aku langsung menyukai sekolah ini.

Aku tahu selera Ayah dalam memilih sekolah selalu bagus, entah dari segi mana dia melihat, dia pasti memilih sekolah yang cocok untukku, karena akulah satu-satunya keturunan Ibu dan Ayahku. Ibu bilang, sejak aku berusia 3 tahun, Ayah sudah merencanakan dimana aku akan bersekolah, dan Ibuku hanya terlihat sangat senang. Bahkan biaya untukku sudah ditabungnya, agar aku bisa bersekolah di sekolah pilihannya. Karena semua pilihannya pasti bagus. Ibu dan aku sudah tahu itu.
***

Hari ini aku MOS, tetapi isi kepalaku hanya ada Dio yang membuatku semakin lesu. Biasanya, aku akan bersemangat setiap akan menghadapi tahun ajaran baru. Apalagi sekarang aku sudah SMA. Dulu, ketika Dio masih ada disini kami selalu bermimpi ingin menjadi anak SMA. Tetapi, kali ini perasaanku hambar. Biasa saja. Tidak seperti saat pertama kali aku menginginkan ini semua. Karena tidak ada Dio.

Biasanya aku dengan senang hati diperintah senior untuk memakai perlengkapan aneh-aneh saat MOS, tapi kali ini tidak. Aku kehilangan seleraku untuk menjalani hari-hari normal anak remaja.

Aku hampir saja terlambat jika Ibu tidak menghenti-paksa-kan tukang ojek yang sedang ingin pergi untuk mencari sarapan, tetapi akhirnya tukang ojek itu mau juga dirayu Ibu tanpa tambahan bayaran. Mataku berbinar saat tahu Ibu hanya memberi uang pas, entah jurus apa yang dia pakai, aku hanya manut saja. Masih tidak bersemangat. Aku tidak peduli lagi jika aku akan dihukum karena telat atau apapun.

Saat aku baru sampai, lapangan dalam STB sudah penuh seperti lautan manusia. Aku akui, SMA baruku ini memiliki tingkat kedisiplinan dilevel teratas.

Mereka berbaris rapi kecuali aku yang hanya terpana karena bingung harus berbuat apa.
“Lewat sini. Barisan ke-3! Hurry up!” seseorang seperti memberiku aba-aba. Aku yang seperti disambar petir langsung lari kalang kabut. Pagi-pagi aku sudah dibentak-bentak, telat, bingung, dan entah masuk kelas mana. What a perfect match, batinku.

Seorang perempuan berwajah manis dan beralis lebih tebal daripada milikku tersenyum ramah kepadaku saat aku sampai di barisan ke-3. Untuk pertama kalinya sejak aku menginjakkan kaki di STB, aku merasa bersyukur ada orang yang tersenyum untukku.

Selanjutnya adalah acara MOS sungguhan. Kukira ini akan berjalan baik-baik saja, dan saat kusadari semuanya berjalan begitu kaku dan hambar, aku semakin rindu bagaimana cerewetnya Dio yang tidak akan membuat suasana sedingin ini.

Aku butuh Dio. Kalau saja di kantin sekolah bisa pesan sepiring orang yang kusayang, sekarang pasti aku sudah pesan Dio dibungkus untuk kubawa pulang. Sayangnya ini kantin, bukan tempat memohon lalu akan diberikan.

Biasanya setiap istirahat seperti ini Dio yang akan memesankanku somay sepiring penuh dengan tambahan kecap yang banyak dengan es jeruk, tapi kantin di STB tidak ada yang jual somay. Aku mengeluh dalam hati, bagaimana bisa sekolah sebagus ini tidak menjual somay didalamnya. Jadi, aku memesan soto dan es jeruk.

Perempuan yang tersenyum padaku tadiyang sekarang kuketahui namanya Riskamalu-malu mendekati mejaku. “Aku boleh duduk bareng kamu, Keira?”

“Silahkan.” jawabku sambil tersenyum.

“Kamu termasuk cewek paling beruntung yang pernah aku temuin, Kei!”

“Kenapa?” kataku terkejut.

“Jarang-jarang kak Awan mau ngomong sama junior kayak kita. Tadi, untuk pertama kalinya aku liat dia ngomong.” katanya berapi-api, sangking semangatnya.

“Tadi kan dia ngebentak bukan ngomong?” aku tahu siapa yang dimaksudkan Riska. Senior jutek yang memberi perintah untuk cepat baris di barisan ke-3. Ternyata namanya kak Awan.

“Sama aja, Kei. Tumbenan lho, biasanya dia cuek-cuek ajatuh. Malah seneng kalo ada junior yang bakal disiksa.” katanya lagi, masih bersemangat sambil melahap tekwan model miliknya. “Atau mungkin karena kamu lagi hoki aja, soalnya tadi dia juga hampir telat sih.” tambahnya.

“Oh..” imbuhku singkat. Tidak terlalu tertarik dengan apa yang dibicarakan Riska. Sekarang, aku hanya rindu Dio aku tidak peduli dengan kak Awan atau siapapun atau apapun. Aku hanya ingin bertemu Dio SEKARANG JUGA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
***

Aku baru saja sampai di depan rumah dan Ibu muncul dari balik pintu. Nyaris saja aku kaget kalau Ibu tidak tersenyum sangat hangat.

“Ayah telepon. Dia mau ngomong, he said..” katanya dengan gembira, seperti anak umur 5 tahun yang dibelikan sepeda baru.

Okay. Kenapa, Yah?” kataku mengambil gagang telepon dan menaruhnya lekat-lekat ditelinga.

“Suaramu seperti sedang tidak baik, honey! Please, Dio kan cuma sebentar di Malang.”

“Apa?” jawabku hampir berteriak.

“Jangan kira Ayah enggak tahu, kamu tahu kan Ibumu tukang ngadu. Well, lupakan tentang Dio. Jadi, gimana STB?”

Aku melirik Ibuku dan memberi tatapan jadi-Ibu-beritahu-Ayah-tentang-Dio-dan-segala-kegalauanku-selama-Dio-tidak-ada? seperti ingin memakannya, tapi dia membalasnya dengan wajah tidak berdosa sama sekali. Untung saja dia adalah Ibuku. “Oh iya, umm.. STB lumayan.”

“Sudah berapa banyak cowok yang mencoba menggodamu?”

“Tidak ada, Ayah!”

“Oke, jangan pasang muka datar hanya karena tidak ada Dio di sekolah barumu! I love you, honey. Berikan teleponnya pada Ibu.”

Aku berbalik badan dan menemukan Ibu sudah merebut gagang telepon. Sebenarnya aku rindu pada Ayah, namun rinduku pada Dio sudah terlanjur menumpuk lebih banyak, jadi aku tidak peduli jika Ibu yang mencuri semua waktu telepon dengan Ayah yang hanya terjadi 1 tahun 2 kali.

Aku pergi ke kamarku. Aku tahu Ibuku tidak ingin percakapan yang jarang terjadi itu harus dikuping oleh anak tunggalnya. Jadi, aku lebih baik tahu diri saja.
***

“Kei, dipanggil kak Rere di luar!”

Aku santai saja keluar kantin walaupun sebenarnya sedikit bingung. Mungkin ini panggilan keberuntungan untukku karena dipanggil oleh salah satu kakak kelas terbeken se-STB.

“Oh, lo Keira?”

Aku mengangguk tenang. Kukira ini awal yang baik, sampai sesuatu mendarat dengan tiba-tiba di pipi kiriku.

Plak!

Pipiku terasa panas.

Plak!

Pipi kiri Rere memanas. “What the fuck do you think you are doing, bitch!?” katanya sontak marah level ‘bakal-perang’.

Aku seketika marah dan kesal. Siapa yang mengasuh perempuan wild kayak kakak kelasku ini? Aku rasanya ingin membacakan beberapa tata kerama yang sejak kecil Ayah ajarkan padaku tentang bertemu seseorang yang baru dikenal. “Harusnya saya yang nanya gitu ke kakak, kakak pikir apa yang kakak lakuin ke saya dateng tiba-tiba nampar? Saya pernah salah apa sama kakak? Saya rasa ini pertama kalinya kita ketemu.”

Tangan kanan kak Rere sudah di udara menandakan ada perlawanan fisik yang akan dia lakukan kepadaku, tapi aku hanya diam, pasrah.

“Lo pikir apa yang lo lakuin disini? Udah hebat?” tiba-tiba saja dadaku bergetar hebat. Kak Awan! Tangan kanan kak Rere yang tadinya udah di udara sekarang terhempas lemas.

Oh God, my dearest, Awan! Thanks for coming here. Tapi aku lagi ada urusan sama anak yang berani-beraninya ngegoda kamu!”

Aku sontak kaget. Apa-apaan ini? Lelucon? Sama sekali tidak lucu! Bahkan aku tidak pernah bicara satu patah katapun dengan kak Awan, dan dia bilang aku menggodanya? HA-HA! “Maaf kak, tapi saya..mmmmfffftttttt..” kak Awan membekapku!

Sepersekian detik berikutnya, kak Awan sudah melepas bekapannya. “Dia cewek gue. Jangan ganggu dia! Pergi cari cowok lain atau gue bakal bongkar di depan semua orang tentang apa yang ada dibalik kancing baju lo!” kak Awan terlihat mendekati kak Rere dengan tatapan hewan buas, aku sedikit jijik melihat tatapan itu, tapi membuatku cukup tegang. “Bahkan, gue punya informasi ada berapa tato yang tergambar disana.”

Kak Rere pucat pasi. Menjauh, lalu pergi bersama teman se-genk-nya.

“Kak, tapi..” hatiku bergejolak aneh. Aku bisa saja marah karena dilibatkan dalam masalah yang sama sekali aku tidak tahu. Tapi, aku malah merasa seperti… senang?

“Udah, terima aja. Gue emang suka sama lo kok, jadi lo harus jadi pacar gue. Selamanya! Titik. Pulangnya gue anter.”

Aku terpaku. Dadaku berdesir. Bahkan Riska pun speechless. Terpana. Tidak menyangka kejadian barusan akan terjadi. Begitu cepat, tidak terduga, dan… begitu tidak romantis.

“Jadi????” aku bertanya pada angin. Bahkan, aku belum bisa mencerna semua kejadian barusan. Ditampar kak Rere, menampar kak Rere, kak Awan bilang aku adalah pacarnya, dan semuanya? Ini terlalu sinetron! Tidak, ini tidak bisa terjadi di hidupku, tidak sekarang, tidak nanti, dan tidak selamanya!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

“KEIRAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!” Riska menjerit. “Kamu tau apa artinya ini? Kamu PA-CAR-NYA-KAK-A-WAN! That’s too fast, but okay, sekarang cerita!”

“Apa Ris? Cerita apa?” aku memasang muka kagetku. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. I swear!

Ini adalah hari kedua MOS-ku dan sudah terjadi mimpi buruk. Ini pertanda tidak baik. Ini pertanda STB tidak cocok untukku. Benar! Aku harus segera pindah dari sini!

Okay. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan, walaupun aku benci mengakui ini tapi aku bersumpah kak Awan baik sekali!

Dia menepati janjinya untuk pulang bersamaku. Dan dihari kedua MOS-ku aku sudah menjadi sorotan setiap pasang mata yang melihatku dirangkul kak Awan sampai gerbang sekolah. Setelah itu kukira dia akan bilang padaku bahwa ini hanya permainan dan jangan GR atau apa, tapi dia malah mengajakku makan. Dan kalian tahu apa? Dia asik dan tidak membosankan. Aku mulai menyukai ini dan menikmatinya. Kepalaku tidak menjerit-jeritkan nama Dio lagi, tapi sepertinya kepalaku mulai menyukai nama Awan hingga meneriakkan namanya berulang-ulang tanpa bisa kucegah dan anehnya aku tidak marah. Jangan tanya aku kenapa.

Besoknya begitu lagi. Besoknya lagi begitu lagi. Hingga besok-besoknya begitu terus. Hingga aku merasa nyaman.
***

“STB asik Bu!”

“Kamu bilang apa?” Ibu duduk di pinggir ranjangku.

“Ayah enggak salah pilihin Yaya sekolah.”

“Loh, Yaya enggak sakit kan?”

“Siapa yang bilang aku sakit?” aku mengerutkan kening.

“Enggak, maksud Ibu, kirain Yaya udah hilang ingatan tentang Dio, sampe lupa 2 bulan yang lalu pengen pindah sekolah bareng Dio di Malang. Baru juga 2 hari di STB kan waktu itu, udah enggak betah aja cuma karena enggak ditemenin Dio? Anak Ibu manja ah. Keturunan Ayah nih, pasti!”

Aku tertawa. Di saat-saat seperti ini, Ibuku memang paling bisa. Sungguh, aku tidak pernah merasa memiliki sifat manja, dan kalaupun ada, itu pasti dari Ibu bukan Ayah. Aku memeluk Ibuku. “Aku dapet masalah.”

“Ada apa? Katanya asik?” katanya, melepas pelukanku.

Lalu, aku menceritakan semuanya dari awal, dari aku terlambat di hari pertama MOS hingga semua tentang kak Awan. Aku menceritakan setiap detail tentangnya kepada Ibu, dan Ibu hanya tersenyum dan memberi tanggapan sekenanya.

“Dia beneran suka kamu? Dio gimana?”

“Kok pertanyaan Ibu kayak ABG jaman sekarang?” aku menahan tawa.

“Ibu emang masih ABG, enggak beda jauh lah sama kamu. Ah, kamu! Tapi, serius..Yaya kan disuruh nungguin dia?” ibu memegang kedua pipiku, menghadapkan wajahku kedepan wajahnya. Ingin melihat mataku. Mencari kejujuran disana. Tetapi aku malah membuang mukaku. Sebenarnya itu tidak sopan, tetapi kali ini aku memang bingung apa yang harus aku katakan. Aku hanya… tidak mengerti.

“Kamu suka Awan?”

Aku diam.

“Kamu suka dia?”

Hening.

“Yaya, lihat Ibu!” Ibu lagi-lagi menghadapkan wajahku kedepan wajahnya.

“Aku enggak tahu, Bu! Yaya enggak tahu..” aku menunduk lesu.

“Tapi, Ibu tahu.” katanya sambil tersenyum. “Kamu suka dia.”

Aku mendongak. Aku tahu ini konyol, tapi aku yakin Ibu tidak bohong. Lalu, aku memeluk Ibuku. Lagi. Lebih erat.

“Cinta emang bisa cepet banget dateng, kaya yang kamu alamin. Tapi, semoga dia bukan cuma pelarian Dio yang enggak ada disini. Terus pas Dio balik lagi, kamu malah bingung harus gimana.”

“Males mikirin Dio! Dia udah jarang kirim email, hampir enggak pernah nelepon aku lagi. Lusa kemarin, aku telepon dia nomornya udah enggak aktif. Palingan juga dia udah lupa sama aku. Udah ngegebet cewek Malang yang cakep sama mulus-mulus!”

“Setau Ibu, kadang.. kenangan itu lebih kuat, Ya.. daripada kenyataan.”

“Maksud Ibu?”

“Iya, bisa sekarang kita bilang kita males nginget karena yang lama udah jauh sama kita, jadi kita anggep dia udah lupa sama kita dan kita udah ada yang baru, tapi kenangan dan janji itu enggak akan pernah hilang. Tetep ada dan bikin gelisah kalo engga diselesain dan ditepatin.”

Aku diam. Ibu seperti mengetuk pintu lukanya. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini. 
“Maaf Ibu, aku enggak bermaksud..”

“Enggak apa-apa, Ibu cuma enggak mau Yaya pusing nantinya. Memilih dan memutuskan itu sulit, lho Ya. Enggak segampang kayak Yaya mikir Ayah cepet banget ambil keputusan, pasti sebelum itu dia sempet stress dulu. Ibu takut Yaya kayak gitu juga, dan malah nyakitin salah satu diantara mereka berdua. Karena, enggak pernah ada dua bintang yang bersinar di hati seseorang, kan? Jadi kamu harus pilih satu dan relain yang satu lagi pergi..”

Aku diam. Hening menerpa. Sunyi merayap.

“Yaudah. Jangan terlalu dipikirin. Sekarang, seneng-seneng dulu. Ibu ikut seneng. Lagian, Awan lumayan kok, kan Ibu liat kalian lewat warung setiap hari. Tapi kalo nantinya sedih-bingung-kesel-nya Ibu enggak ikut-ikutan yah. Sekarang, tidur! Inget mata panda, okay!”
Aku hanya membalas Ibu dengan seulas senyum kaku. Kata-katanya begitu menusuk ulu hatiku. Kalimat yang Ibu katakan itu benar. Memang ada masanya ini akan jadi boomerang yang akan kembali pada diriku sendiri yang harus memutuskan. Tapi, toh Dio tidak akan kembali? Ah, terserah! Kepalaku terus meneriakkan nama kak Awan.
***

Semua ini berjalan sempurna. Tidak menyangka Keira yang sekarang milik kak Awan adalah seseorang yang paling bahagia di seisi STB. Riska ikut bahagia walaupun dia mengarang cerita bahwa dia patah hati karena kak Awan lebih memilih aku dibanding dirinya. Tapi, aku tahu dia berbohong. Riska kan drama queen, tapi dia sahabatku.

Ini semua berjalan baik-baik saja. Pelajaran di sekolah tidak terlalu buruk dan Ibu selalu mendukungku seperti yang selalu dia lakukan.

Aku menikmati ini semua tetapi ada sesuatu di hatiku yang berbisik bahwa ini hanya akan sementara. Aku tidak tahu lagi, perasaan ini semakin mengganggu setiap malam. Diiringi wajah Dio dan kak Awan bergantian. Aku tidak tahu maksud dari semua ini, tapi yang kutahu pasti, Dio tidak sepenuhnya pergi.. baik di dunia nyata maupun dalam hatiku.
Kedengarannya begitu cepat, tapi siapa yang bisa menyangka sekarang aku sudah kelas 2 SMA. Menjadi murid di posisi paling nyaman. Bisa dibilang senior bisa dibilang junior. Tentu saja sekarang kak Awan sudah kelas 3. Dan aku tidak bisa menyangkal bahwa aku menyayanginya.


Besoknya, aku mendapat kejutan kecil dari bunyi denting kecil di ponselku. Aku membukanya dengan santai, tapi ternyata efek kerja pada jantungku tidak seperti yang diharapkan. Aku was-was. Dengan slow motion dan harap-harap cemas, aku buka isinya… 
dan benar!

Dari Dio.

Sebuah pesan singkat yang menyuruhku untuk segera keluar. Jantungku melorot. Darahku berdesir hebat. Aku rindu laki-laki ini! Tapi, kenapa aku malah takut untuk bertemu dengannya? AKU INI KENAPAAAA?????????????? Aku memaki diriku sendiri dalam hati.
Akhirnya dengan segala kekuatan terakhir yang kumiliki, aku menyeret kakiku untuk membuka pintu rumahku. Ini jam 15.25 dan benar sekali, tentu saja aku di rumah sendirian karena jam pulang Ibuku adalah jam 8 malam.

Untuk menarik gagang pintu dan membukanya seperti beban berat yang akan menimpa diriku. Tidak tahu kenapa, aku takut sekali, tapi aku akhirnya membuka pintu dan menemukan punggung tegap laki-laki yang memakai baju warna cokelat polos dengan jins selutut.

Dia balik badan. Tersenyum. Manis sekali. Binar pada matanya tidak berubah. 2 tahun tidak bertemu memaksaku untuk mengakui bahwa aku merindukan sosok di hadapanku sekarang. Aroma blue emotion menguar samar di hidungku. Kuakui lagi, aku rindu aromanya.
“Tetep aja bau permen karet!” katanya sedikit terlihat kesal, “Tapi di Malang, Yoyo tiap hari kangen wangi strawberry Yaya.” tambahnya dengan manja, lalu memelukku lama sekali.

Dia melepaskan pelukannya. Lalu menatapku dalam sekali. Aku seperti lupa segalanya, aku rindu laki-laki ini dan dia tidak pernah benar-benar pergi dari hatiku walau kak Awan bisa menyamarkan sosoknya selama hampir 2 tahun. Ibu benar, kenangan memang lebih kuat daripada kenyataan.

“Aku enggak disuruh masuk?”

Aku mengangguk-angguk gelagapan. Memberinya jalan untuk masuk ke rumah.
Semuanya seperti berat sekali. Mengakui bahwa Dio tidak pernah tergantikan dan kak Awan yang selalu ada dan mengisi hari-hariku tanpa Dio membuatku limbung. Apa sekarang sudah waktunya?

“Boleh minta roti keju sama es jeruk? Yoyo laper, Ya..” katanya dengan begitu manjanya. Aku jadi ingin merebahkan kepalaku di bahunya seperti yang biasa kami lakukan. Tapi sepertinya, urusan perut memang tidak seharusnya ditunda.

“Dengan senang hati.” jawabku sambil tersenyum, lalu berjalan menuju dapur. Aku lupa dengan kak Awan dan aku juga tiba-tiba melupakan bahwa Dio sudah menelantarkan aku selama 2 tahun dengan tidak memberi kabar lagi.

Aku kembali membawa dua tangkup roti yang walaupun tidak hangat lagi, tetapi aku yakin roti itu masih enak. Dan segelas besargelas minum kesayanganku yang ukurannya giantes jeruk.

Heaven!” kata Dio hampir menjerit saat semua pesanannya tiba.

Aku duduk di sampingnya, menunggunya hingga selesai makan.

“Jadi?” Dio mencoba membuka pembicaraan setelah berhasil menghabiskan semua jatah roti kejuku untuk malam ini.

“Apa?” jawabku mendongak padanya.

Say something, please. I miss you so badly!

“Apa?”

“Cuma apa nih?” katanya sarkas. “Aku udah capek-capek ke Jogja kamu malah nyambut aku cuma dengan ‘apa?’ gitu?” tambahnya dengan raut muka yang tidak dibuat-buat, dia sedih. Aku jadi tidak tega. “Aku udah balik kesini, cuma untuk kamu dan nepatin janji aku. Aku cuma seminggu disini, izin sakit parah ke sekolah, karena kangen enggak ketahan. Kalo mau tau, harusnya aku baru kesini lagi pas kita udah sama-sama lulus. Tapi, aku punya perasaan enggak enak dari pas kita pertama masuk SMA. Jauh sama kamu bikin aku gelisah dan enggak bisa fokus. Aku takut kamu kenapa-napa mangkanya aku maksa-maksa Ayah sama Ibu buat ngizinin.”

Aku merasa bersalah. Sungguh, aku tidak tahu apakah ini yang Ibu bilang dengan perasaan sedih-bingung-kesel. Tapi, sekarang perasaan ini udah campur aduk.

“Kamu kenapa, Ya? Kamu enggak kangen aku?”

Aku tetap diam.

“Kamu sakit yah? Kamu pucet banget!” Dio panik.

“Yo..” akhirnya aku bersuara. Ya Tuhan, apa yang harus aku bilang???????????????????? Rasanya aku ingin mati saja. Aku tidak bisa kehilangan dua-duanya. Aku sayang mereka. Aku……

“Kenapa? Yaya kenapa? Ada apa?” kata Dio lagi, “Ada yang berubah ya, Ya?” katanya tersenyum pahit.

Aku menutup mukaku dengan kedua tangan. Aku tidak bisa tahan lagi. Aku egois karena tidak percaya dengan Dio akan kembali lagi dan bersenang-senang dengan kak Awan sedangkan Dio setengah mati berjuang menahan rindunya untukku? Aku tidak adil. Aku bodoh! Aku jahat!

Tiba-tiba aku merasa seperti sedang di posisi Ayah. Aku merasa aku ingin sekali mengembalikan waktu dan tidak pernah kenal dengan kak Awan apalagi sampai mencintainya, sedangkan aku setengah mati cinta dengan laki-laki bernama Dio!
Oh Tuhan, aku harus apa????????!!!!!!!!!!!!!! Aku berpikir keras. Tapi tidak satu sarafpun dalam otakku yang memberiku perintah untuk melakukan apa. Aku tidak tahu harus melakukan apa…

“Yaya..” kata Dio lirih. “Ada yang lain ya? Ada yang ngegantiin posisi aku selama aku enggak ada? Apa semuanya udah berubah? Apa aku terlalu terlambat untuk balik lagi?”

“Aku kira kamu enggak bakal balik lagi… Soalnya kamu berhenti hubungin aku.” aku buka suara untuk kedua kalinya.

“Kamu seharusnya tau, aku enggak akan mungkin lupain kamu..” katanya murung.
Hatiku rasanya sakit sekali. Aku butuh Ibu!

“Kamu seharusnya tau, aku sayang banget sama kamu dan enggak akan ada yang bisa ngegantiin pelangi kaya kamu di hati aku..” Dio menunduk. “Siapa namanya, Ya? Dia manggil kamu apa?”

“Kak Awan. Dia manggil aku Key..” aku menunduk semakin dalam.

Aku harus memilih dan aku harus memutuskan. Aku sudah dewasa! Aku bukan perempuan yang bisa dikalahkan dengan masalah serumit apapun. Aku memang mirip Ibu, lemah seperti kertas yang rentan akan robekan, tetapi aku juga tahu aku adalah keturunan Ayah yang paling kuat seperti batu karang diterpa ombak.

Tapi, aku tidak ingin aku menyakiti satu diantaranya. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan yang satu tersenyum sedangkan satu lainnya pergi penuh luka. Aku jadi ingat Ibu. Aku ingat bagaimana Ibu meracau dan menangis. Aku tidak bisa.
***

SEMUANYA SELESAI.

Aku masih mencoba tersenyum walau sebenarnya sekarang aku ingin sekali menangis, seperti yang pernah diajarkan Ibu. Hari ini Dio memilih langsung kembali ke Malang, dan kak Awan? Dia terlihat sedih sekali. Tidak, Dio lebih sedih. Oh, TIDAK! Aku yang paling sedih disini!

Aku membiarkan mereka pergi. Aku tidak memposisikan Dio sebagai masa laluku, aku mencintainya bahkan hingga sekarang, tapi Ibu benar, kenangan itu lebih kuat. Dan aku tidak membiarkan kak Awan menyandang posisi seperti Ibuku, tapi sungguh aku menyayanginya dengan segenap hatiku.

Aku menyayangi meraka dengan seluruh jiwa ragaku. Tapi, Ibu benar. Jika aku memilih satu diantara dua, maka aku harus membiarkan yang satu sakit dan pergi. Jika aku ingin keduanya, aku akan kehilangan mereka.

Jadi, aku memutuskan untuk meminta mereka meninggalkan aku. sendiri, disini.
Aku tahu aku egois dan mementingkan kenyamananku, tapi kalian tidak tahu bagaimana perasaanku.

Posisi Ayah bukanlah posisiku sekarang.
Aku mengudara. Tidak memilih siapa-siapa tapi membiarkan mereka pergi dengan penuh luka lebam. Tapi, aku sudah meminta maaf dan berterimakasih walaupun itu tidak akan pernah cukup.



Saat hujan pergi, awan selalu memberikan tempat untuk pelangi. Dan ketika hujan datang lagi, pelangi juga tidak bisa memiliki keduanya. Sekarang, aku tahu, bahwa pelangi tidak pernah bisa bersatu dengan hujan, dan walaupun pelangi bisa bersatu dengan awan, pelangi menolaknya.

Aku harus mengakui ini, bahwa yang aku yakin, pelangi mencintai awan dan hujan.
***

Cerpen ini untuk ‘awan’ yang kehilangan ‘pelangi’-nya
Dan untuk seseorang lagi, disana, yang sudah dianggap pelangi sebagai ‘hujan’ yang merasa ‘pelangi’-nya diambil ‘awan’
Sekarang, ‘pelangi’ itu harus kalian lupakan :)

3 comments:

  1. Sangat menyentuh sekali , cerpen yang bagus buat aku dan serasa aku adalah inti dar kisahku karena dari sebagian cerita itu sperti hidupku...kebahagiaan , kesepian , air mata , kesendirian , rindu juga cinta ..terimakasih tetaplah berkarya untuk cerpen yang indah

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo! thank you for reading and comment :) you just made my day! :)) hihihi aamiin terimakasih banyak sekali lagi, komentarnya membangun sekali^^

      Delete

 

/ˈfeəriˌteɪl/ Template by Ipietoon Cute Blog Design